BIROKRASI di Aceh, seperti di banyak daerah lainnya, sering kali menjadi alat yang digunakan oleh pejabat untuk mempertahankan kekuasaan dan posisi mereka. Birokrasi sering kali tak ubahnya sebagai politik kekuasaan, di mana jabatan bukan sekadar amanah untuk melayani rakyat, tetapi menjadi sarana untuk mempertahankan status dan keuntungan pribadi. Fenomena ini kian tampak jelas dalam proses perebutan jabatan di lingkungan pemerintahan Aceh, yang tak jarang melibatkan permainan politik di balik layar. Kepala-kepala dinas, yang seharusnya berfokus pada pelayanan publik dan pembangunan daerah, diduga lebih sibuk untuk menyelinap masuk ke dalam tim yang memenangkan pemilihan.
Pada dasarnya, politik birokrasi di Aceh menyiratkan bahwa kekuatan tertinggi dalam struktur pemerintahan sering kali tidak ada pada Gubernur atau Wakil Gubernur terpilih, melainkan pada kepala-kepala dinas yang mengendalikan jalannya administrasi. Para birokrasi yang bermental oportunis lebih mementingkan kepentingan pribadi atau kelompok tertentu yang berusaha untuk mendapatkan kontrol politik dan memastikan posisi mereka tetap aman.
Mualem, sebagai gubernur yang baru terpilih, harus menunjukkan kepemimpinan yang lebih agresif dalam menjalankan pemerintahan, dengan fokus pada reformasi birokrasi yang lebih transparan dan akuntabel. Hal ini bukan hanya untuk memastikan bahwa birokrasi berfungsi sesuai dengan visi dan misi yang telah dijanjikan, tetapi juga untuk menciptakan stabilitas politik yang memungkinkan terwujudnya program-program pembangunan yang berkelanjutan.
TERIMA KASIH SUDAH MEMBACA LINTASATJEH.COM
Mualem harus mampu menyaring dan mengganti kepala-kepala dinas yang tidak memiliki komitmen terhadap kepentingan daerah dan rakyat Aceh, sekaligus menguatkan struktur birokrasi yang lebih profesional dan bebas dari politik transaksional. Sebab, hanya dengan kepemimpinan yang tegas dan pengelolaan birokrasi yang bersih, Aceh dapat keluar dari jerat politik kekuasaan yang kejam dan benar-benar menuju pembangunan yang adil dan merata.
Mualem, sebagai gubernur yang baru terpilih, dihadapkan pada tantangan berat untuk menyeimbangkan antara komitmen politik dan profesionalisme birokrasi. Meskipun memberikan posisi kepada mereka yang telah berjuang dalam politik untuk memenangkan pasangan terpilih dianggap sebagai balas jasa politik, namun Mualem harus mampu menjaga agar struktur birokrasi tetap berjalan sesuai dengan prinsip transparansi, akuntabilitas, dan kompetensi.
Untuk mencapai tujuan tersebut, diperlukan pendekatan yang hati-hati dan penuh pertimbangan. Mualem harus mengedepankan prinsip good governance di atas kepentingan politik pribadi atau kelompok, dan secara tegas menentang praktek politik transaksional yang hanya menguntungkan pihak-pihak tertentu.
Hanya dengan cara ini, stabilitas politik dapat terjaga dan visi dan misi yang telah dijanjikan kepada rakyat Aceh dapat dilaksanakan dengan baik. Dengan demikian, birokrasi yang ada akan lebih berorientasi pada kepentingan publik, bukan kepentingan politik sesaat yang merusak jalannya pemerintahan yang adil dan transparan.
Penulis: Della Puspita Rahayu (Mahasiswi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Syiah Kuala)