LINTAS ATJEH | LHOKSEUMAWE - Isu penggelapan besi pabrik PT Kertas Kraft Aceh (PT KKA) semakin menghangat setelah muncul berbagai pernyataan yang saling bertolak belakang dari pihak kepolisian, kurator, dan otoritas hukum.
Sementara pihak kurator berpegang pada legalitas berdasarkan putusan Pengadilan Niaga Medan, muncul indikasi adanya kejanggalan dalam proses likuidasi aset yang bernilai miliaran rupiah tersebut.
Kronologi dan Sikap Kepolisian
Kasat Reskrim Polres Lhokseumawe, IPTU Yudha Prasetya, mengakui bahwa pihaknya sempat mempertanyakan aktivitas likuidasi yang dilakukan di PT KKA.
Namun, setelah dilakukan pengecekan terhadap dokumen yang diajukan kurator, termasuk putusan Pengadilan Niaga Medan, aktivitas tersebut dinyatakan legal.
“Kami juga pada awalnya mempertanyakan perihal di atas oleh pihak kurator, dan kemudian pihak kurator membawa data pailit serta hasil penetapan dari Pengadilan Niaga. Setelah kami lakukan cross-check, dinyatakan legal oleh PN Niaga Medan,” jelas IPTU Yudha.
Pernyataan ini berbeda dengan sikap Kapolres Lhokseumawe, AKBP Henki Ismanto, S.I.K., yang mengaku tidak mengetahui perihal kejadian tersebut.
“Selama 2 tahun 8 bulan 14 hari saya menjabat sebagai Kapolres Lhokseumawe, saya tidak mengetahui hal itu dan saya juga tidak ada laporan. Saya rasa sudah cukup saya menyampaikan yang menjadi hak saya jawab. Selebihnya biar tim dari Polda yang usut terkait kebenarannya,” ujar AKBP Henki.
Sementara itu, Kanit Reskrim Polres Lhokseumawe, Reza, memberikan data berupa surat putusan dan penetapan dari Pengadilan Niaga Medan yang mengesahkan proses pailit PT KKA.
Putusan PN Niaga Medan: Antara Legalitas dan Polemik di Lapangan
Berdasarkan Putusan Pengadilan Niaga pada Pengadilan Negeri Medan Nomor: 1/Pdt.Sus-Pailit/2024/PN Niaga Mdn, PT Kertas Kraft Aceh resmi dinyatakan pailit dengan alasan utang yang jauh lebih besar dibandingkan aset yang dimiliki.
Dalam putusan itu disebutkan bahwa:
1. PT KKA memiliki total utang sebesar Rp2,19 triliun, terdiri dari:
Rp2,16 triliun merupakan tagihan dari kreditor pemegang jaminan kebendaan.
Rp32,75 miliar berasal dari kreditor yang tidak memiliki jaminan kebendaan.
2. Total aset yang telah dinilai oleh appraisal independen hanya mencapai Rp487,41 miliar, jauh dari nilai utang yang ditanggung.
3. Berdasarkan Pasal 149 ayat (2) Undang-Undang Perseroan Terbatas, jika utang perusahaan lebih besar dari asetnya, maka proses penyelesaian wajib dilakukan melalui kepailitan, bukan sekadar likuidasi.
Kejanggalan dalam Likuidasi dan Dugaan Penggelapan
Meskipun putusan ini secara hukum mengesahkan likuidasi aset PT KKA, muncul beberapa kejanggalan yang memicu dugaan adanya penggelapan aset:
1. Minimnya Transparansi
Proses pemberesan aset seharusnya melibatkan publikasi yang transparan kepada para kreditor dan pemangku kepentingan lainnya.
Namun, dalam kasus PT KKA, informasi mengenai penjualan besi pabrik dan aset lainnya terkesan tertutup.
Bahkan, pihak kepolisian daerah tidak mendapat laporan detail mengenai aktivitas tersebut.
2. Sikap Kapolres yang Kontradiktif
Kapolres Lhokseumawe menyatakan tidak mengetahui perihal likuidasi ini, padahal kurator telah menyerahkan dokumen resmi kepada penyidik.
Hal ini memunculkan pertanyaan: Apakah ada kemungkinan informasi ini sengaja tidak dipublikasikan atau ada pihak yang menutup-nutupi sesuatu?
3. Nilai Aset vs. Potensi Manipulasi
Berdasarkan appraisal, total aset PT KKA hanya bernilai Rp487,41 miliar.
Namun, jika ditelusuri lebih dalam, nilai pasar dari besi tua dan komponen mesin pabrik PT KKA seharusnya bernilai jauh lebih tinggi dari estimasi tersebut.
Apakah ada potensi manipulasi harga jual aset?
4. Pola Likuidasi yang Berulang di BUMN
Beberapa kasus kepailitan BUMN sebelumnya menunjukkan pola yang mirip, di mana aset yang masih bernilai tinggi seringkali dijual dengan harga lebih rendah dari pasaran.
Hal ini membuka peluang bagi oknum tertentu untuk mendapatkan keuntungan besar dari perbedaan nilai aset sesungguhnya dengan nilai yang dilaporkan dalam proses likuidasi.
Skandal atau Prosedur Hukum yang Sah?
Kasus ini masih menyisakan pertanyaan besar. Di satu sisi, putusan PN Niaga Medan memang memberikan legalitas bagi proses likuidasi PT KKA, termasuk penjualan aset seperti besi pabrik.
Namun, di sisi lain, minimnya transparansi, perbedaan informasi antara pejabat kepolisian, serta potensi undervaluation aset membuka celah bagi dugaan penggelapan.
Jika benar ada penggelapan aset dalam proses likuidasi ini, maka kasus ini bisa menjadi salah satu skandal besar terkait pengelolaan aset BUMN di Aceh.
Oleh karena itu, penting bagi aparat penegak hukum, khususnya Polda Aceh dan Kejaksaan, untuk melakukan investigasi menyeluruh guna memastikan bahwa tidak ada praktik korupsi atau penyelewengan dalam proses ini.
Seiring dengan perkembangan kasus ini, publik Aceh menanti langkah konkret dari pihak berwenang.
Akankah kasus ini mengungkap skandal besar, ataukah sekadar polemik administratif yang berakhir tanpa kejelasan?[Tim/Red]