LINTAS ATJEH | JAKARTA - Kasus dugaan pencemaran nama baik yang dilaporkan oleh Wasekjen Organisasi Masyarakat Nias (Ormas Onur), Ferlianus Gulo, terhadap Pemimpin Redaksi Jurnalpolisi.id, Leo Amaron, kembali menyoroti bagaimana institusi kepolisian menangani perkara yang melibatkan kebebasan pers. Kasus ini menimbulkan sejumlah pertanyaan mendasar tentang objektivitas dan profesionalisme aparat dalam menegakkan hukum, terutama dalam konteks pemberitaan yang berbasis fakta.
Berita yang menjadi dasar pelaporan ini bukanlah rekayasa atau berita bohong, melainkan berdasarkan fakta lapangan terkait dugaan perselingkuhan, pelecehan seksual, atau bahkan pemerkosaan yang diduga dilakukan oleh pelapor, Ferlianus Gulo, terhadap seorang wanita bermarga Harefa berinisial DP. Wanita tersebut dikabarkan hamil dan melahirkan anak akibat dugaan tindakan Gulo, yang seharusnya diproses sebagai tersangka dalam kasus kejahatan pidana.
Namun, alih-alih pelaku dugaan kejahatan yang diproses hukum, jurnalis yang mengangkat kasus ini justru dilaporkan atas dugaan pencemaran nama baik. Hal ini menimbulkan pertanyaan besar: apakah Polri benar-benar menegakkan hukum secara adil atau justru membiarkan kriminalisasi terhadap pers?
Ketidakadilan dalam Penanganan Kasus: Mengapa Hanya Satu Media yang Dikejar?
Berita terkait dugaan kejahatan Ferlianus Gulo tidak hanya ditayangkan di Jurnalpolisi.id, tetapi juga di berbagai media lain, termasuk:
Suara Sindo : https://www.suarasindo.com/read-11046-2023-06-04-penyerahan-fg--ke-penyidik-di-polresta-pekanbarusedang-mengikuti-rapat-yang-diadakan-oleh-dpp-onur.html
Suara Hebat : https://suarahebat.co.id/berita/7053/diduga-seorang-oknum-wakasek-onur-bernisial-fg-dikabarkan-di-serahkan-ke-polisi-di-polresta-pekanbar.html
Garda Metro : https://www.gardametro.com/read-501-12033-2023-06-04-diduga-seorang-oknum-wakasek-onur-bernisial-fg-dikabarkan-di-serahkan-ke-polisi-di-polresta-pekanbaru.html
Zoin News : https://zoinnews.com/m/read-1405-2023-07-29-diduga-korban--pemerkosaan-di-lahan-onur-melahirkan-bayi-perempuan.html
Jika benar tujuan pelapor adalah mencari keadilan, semestinya semua media yang menayangkan berita ini juga dilaporkan. Fakta bahwa hanya Leo Amaron yang diproses justru menimbulkan kecurigaan adanya motif lain di balik kasus ini.
Informasi yang beredar menyebutkan bahwa pelapor, Ferlianus Gulo, meminta uang damai sebesar Rp 50 juta kepada terlapor. Jika benar, maka tindakan ini dapat dikategorikan sebagai percobaan pemerasan, yang justru merupakan tindak pidana serius.
Sebagai institusi penegak hukum yang profesional, Polri seharusnya tidak hanya memproses laporan Ferlianus Gulo, tetapi juga menyelidiki dugaan pemerasan ini. Jika benar ada permintaan uang damai, maka pelaporlah yang semestinya diperiksa dan diproses hukum.
Dalam kasus keberatan atas pemberitaan, mekanisme penyelesaian seharusnya mengikuti ketentuan yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers, khususnya:
- Pasal 1 Ayat (11): Hak Jawab – Hak seseorang untuk memberikan tanggapan atau sanggahan terhadap pemberitaan yang dianggap merugikan.
- Pasal 1 Ayat (12): Hak Koreksi – Hak setiap orang untuk mengoreksi atau membetulkan kekeliruan informasi yang diberitakan oleh pers.
- Pasal 1 Ayat (13): Kewajiban Koreksi – Kewajiban media untuk melakukan ralat terhadap informasi yang tidak benar.
Dalam hal ini, jika Ferlianus Gulo merasa dirugikan oleh pemberitaan, ia seharusnya menggunakan hak jawab, bukan melaporkan jurnalis dengan tuduhan pencemaran nama baik.
Menariknya, berita yang dimuat di Jurnalpolisi.id telah dihapus atas permintaan Ferlianus Gulo dalam mediasi yang dilakukan di depan penyidik Polda Riau. Namun, meskipun berita sudah tidak ada, pelapor tetap bersikeras mengejar proses hukum terhadap Leo Amaron.
Hal ini menimbulkan pertanyaan besar: siapa sebenarnya yang memiliki kepentingan dalam kasus ini? Apakah murni keinginan pelapor, atau ada oknum tertentu di kepolisian yang bermain dalam kasus ini?
Kasus ini mencerminkan bagaimana penyalahgunaan kewenangan dapat terjadi dalam sistem hukum kita. Jika penyidik di Polda Riau terbukti bertindak di luar kewenangan dengan tujuan tertentu, maka mereka harus diperiksa dan diproses sesuai hukum yang berlaku.
TERIMA KASIH SUDAH MEMBACA LINTASATJEH.COM
Terkait dengan indikasi penyalahgunaan kewenangan tersebut, Ketua Umum Persatuan Pewarta Warga Indonesia (PPWI), Wilson Lalengke, S.Pd, M.Sc, MA, mendesak Wassidik Polri untuk turun tangan dalam kasus ini dan memastikan bahwa tidak ada penyalahgunaan wewenang dalam penanganannya. Jika ada indikasi keberpihakan atau motif tertentu dari aparat dalam mengusut kasus ini, maka oknum yang terlibat harus diberikan sanksi tegas.
Kasus ini bukan hanya tentang Leo Amaron, tetapi juga tentang kebebasan pers di Indonesia. Jika seorang jurnalis bisa diproses hukum hanya karena memberitakan fakta, maka ini menjadi ancaman serius bagi kebebasan pers dan hak masyarakat untuk mendapatkan informasi.
Institusi kepolisian harus membuktikan bahwa mereka bekerja secara profesional dan tidak terlibat dalam permainan hukum yang merugikan jurnalis. Jika Polri ingin menjaga kepercayaan publik, maka mereka harus membuktikan bahwa hukum benar-benar ditegakkan dengan adil, bukan berdasarkan kepentingan pihak tertentu.
Wilson Lalengke, yang merupakan alumni Program Pendidikan Reguler Angkatan (PPRA) Ke-48 Lemhannas RI tahun 2012, melakukan percakapan telepon dengan penyidik Polda Riau, Brigpol Yudha, pada Rabu malam, 19 Februari 2025. Percakapan ini membahas permasalahan hukum yang menimpa seorang jurnalis bernama Leo, yang diduga mendapat tekanan hukum akibat pemberitaannya.
Dalam percakapan tersebut, Wilson mengungkapkan keprihatinannya terhadap kasus ini. Ia menginginkan ada penyelesaian yang lebih adil dan tidak berlarut-larut.
Wilson membuka percakapan dengan menawarkan pertemuan untuk berdiskusi lebih lanjut. Ia menegaskan bahwa tujuannya adalah membantu mengkomunikasikan masalah yang dihadapi oleh kawan-kawan jurnalis, termasuk Leo.
Wilson memahami bahwa aparat kepolisian juga berada dalam tekanan dari pihak pelapor dan masyarakat yang menuntut penyelesaian kasus ini. Oleh karena itu, ia berharap agar kasus ini dapat diselesaikan secara kekeluargaan tanpa harus berlarut-larut.
"Saya sangat berharap ini bisa diselesaikan dengan baik, secara kekeluargaan, dan tidak berlarut-larut seperti sekarang. Ini juga menjadi beban bagi teman-teman penyidik," kata Wilson.
Pernyataan ini mendapat tanggapan dari Brigpol Yudha yang setuju bahwa penyelesaian damai adalah pilihan yang lebih baik. "Ya, Pak. Betul juga ini, Pak," jawab Yudha singkat.
Wilson kemudian menyoroti inti permasalahan, yaitu pemberitaan yang dibuat oleh Leo terkait seorang wanita yang mengaku diperkosa dan memiliki anak dari terduga pelaku. Wilson menegaskan bahwa berita tersebut tidak hanya dimuat di media Leo, tetapi juga di beberapa media lainnya. Oleh karena itu, jika hanya Leo yang menjadi sasaran hukum, maka ada ketidakadilan dalam penanganan kasus ini.
"Pemberitaan itu berdasarkan fakta. Yang bersangkutan memang didatangi oleh wanita yang mengaku diperkosa dan punya anak. Lalu, berita ini juga tidak hanya dimuat di media Pak Leo, tetapi di beberapa media lain. Kalau hanya Leo yang dikejar, ini tidak adil," tegas Wilson.
Wilson juga mengungkapkan adanya informasi bahwa si pelapor meminta uang sebesar Rp50 juta. Jika benar, maka ada indikasi pemerasan dalam kasus ini.
"Saya dapat informasi bahwa yang bersangkutan, si pelapor, minta Rp50 juta. Nah, ini kan sebenarnya sudah bertendensi pemerasan," ungkapnya.
Menurut Wilson, jika ada keberatan terhadap pemberitaan, maka mekanisme yang benar adalah menggunakan hak jawab. Pihak yang merasa dirugikan seharusnya memberikan klarifikasi resmi, bukan melakukan tekanan hukum terhadap jurnalis.
Selain itu, Wilson juga menyebutkan bahwa berita yang dipermasalahkan sudah dihapus dari media Leo sesuai permintaan pelapor. Namun, kasus ini tetap berlanjut, menimbulkan kecurigaan bahwa ada agenda tersembunyi di baliknya.
"Kalau berita itu sudah dihapus, kenapa masih dipersoalkan? Jadi wajar kalau kita berpikir ada sesuatu yang menjadi target. Apakah target itu si pelapor atau teman-teman polisi?" kata tokoh pers nasional yang dikenal gigih membela wartawan yang dikriminalisasi di berbagai tempat itu.
Wilson mengaku bingung mengapa kasus ini masih belum selesai, padahal sudah bergulir sejak 2023. Ia juga menekankan bahwa ia tetap membuka ruang komunikasi untuk mencari solusi terbaik.
"Ini kasus dari 2023 dan kita sudah komunikasi sebelumnya. Kalau masih belum selesai-selesai, masalah sepele seperti ini, tentu jadi tanda tanya," ujarnya.
Percakapan antara Wilson Lalengke dan Brigpol Yudha ini menggambarkan kompleksitas kasus yang melibatkan jurnalis dan aparat hukum. Wilson menyoroti pentingnya keadilan dan transparansi dalam penanganan perkara yang melibatkan pers.
Kasus ini masih menjadi sorotan, dan publik menunggu bagaimana kepolisian akan menyelesaikan permasalahan ini. Apakah keadilan akan ditegakkan secara objektif, atau ada kepentingan lain yang bermain di balik layar?[Tim/Red]