LINTAS ATJEH | BANDA ACEH - Langkah Penjabat (Pj) Gubernur Aceh Safrizal ZA mengevaluasi 20 pejabat eselon II melalui Uji Kompetensi (Ujikom) jelang akhir masa jabatannya semakin panas.
Publik tak hanya mempertanyakan urgensinya, tetapi juga menuding kebijakan ini sarat dengan unsur transaksional dan kepentingan rente.
Dilaksanakan pada 23-24 Januari 2025 di Gedung Serbaguna Kantor Gubernur Aceh, evaluasi tersebut melibatkan panitia seleksi (Pansel) yang diketuai Dr. Mirza Tabrani, SE, MBA.
Proses ini diklaim bertujuan untuk menentukan mutasi, rotasi, atau promosi pejabat berdasarkan hasil kinerja mereka.
Namun, waktu pelaksanaannya yang hanya dua pekan sebelum Safrizal meninggalkan kursi gubernur dianggap sebagai "operasi politik menit terakhir."
Langkah Safrizal mendapat kritik tajam dari berbagai kalangan. Selain dinilai tidak memiliki urgensi yang jelas, kebijakan ini justru memunculkan kecurigaan adanya "manuver transaksional" untuk mengamankan posisi tertentu di lingkup birokrasi Aceh.
“Jelas ini langkah kontroversial. Ujikom di akhir jabatan tanpa transparansi tujuan hanya menimbulkan persepsi negatif. Jangan-jangan ada transaksi politik atau janji kursi untuk mengamankan kepentingan tertentu,” ujar Ketua DPA Laskar Panglima Nanggroe, Sulaiman Manaf kepada awak media, Sabtu (25/01/2025).
Media partner LintasAtjeh.com mencoba meminta klarifikasi dari Safrizal ZA pada Jumat (23/01/2025). Namun hingga berita ini diterbitkan, tidak ada tanggapan yang diberikan.
Hal ini semakin memperkuat spekulasi publik bahwa kebijakan ini memiliki agenda terselubung.
Ironisnya, langkah Safrizal dilakukan di tengah pernyataan Menteri Dalam Negeri (Mendagri) Tito Karnavian yang memberikan lampu hijau bagi kepala daerah hasil Pilkada Serentak 2024 untuk mengganti pejabat segera setelah dilantik.
Dalam Rapat Dengar Pendapat (RDP) dengan DPR RI pada Selasa (21/1/2025), Tito menegaskan bahwa kepala daerah baru berhak membentuk tim kerja yang sesuai dengan visi dan gaya kepemimpinannya.
“Kalau nanti ada kepala daerah baru, otomatis mereka akan mengganti pejabat sesuai kebutuhan. Ini demi pemerintahan yang lebih sehat,” kata Tito.
Dengan kebijakan Mendagri ini, evaluasi Safrizal tampaknya hanya menjadi langkah simbolis tanpa manfaat strategis.
Justru muncul dugaan kuat bahwa ini adalah upaya memperkuat posisi pihak tertentu sebelum tongkat estafet kepemimpinan berpindah tangan.
TERIMA KASIH SUDAH MEMBACA LINTASATJEH.COM
Tidak sedikit pihak yang menyebut bahwa kebijakan mutasi Safrizal ini sarat dengan unsur transaksional dan upaya mengejar rente.
Evaluasi yang dilakukan di ujung masa jabatan dinilai tidak lebih dari langkah pragmatis yang mengorbankan integritas birokrasi Aceh.
“Ini bukan kebijakan administratif yang murni, tapi terlihat seperti transaksi politik. Bisa saja ada janji jabatan yang menjadi kompensasi bagi pihak tertentu. Apalagi Safrizal akan segera lengser, sehingga tidak ada risiko politik yang ia tanggung,” kata Sulaiman.
Surat resmi evaluasi bernomor 821.2/001/2025 yang diterima media ini menunjukkan bahwa Ujikom dilaksanakan selama dua hari.
Sebanyak delapan pejabat diuji pada 23 Januari, sementara 12 pejabat lainnya diuji keesokan harinya.
Beberapa nama besar seperti Dr. T. Aznal Zahri, Drs. Muhammad Diwarsyah, hingga Dr. H. Teuku Ahmad Dadek, SH, MH, termasuk dalam daftar.
Namun, publik bertanya-tanya, jika kebijakan ini benar-benar bertujuan memperkuat tata kelola pemerintahan, mengapa baru dilakukan di akhir masa jabatan? Bukankah lebih strategis jika dilakukan di awal atau pertengahan?
Dengan masa transisi yang semakin dekat, kebijakan Safrizal ini justru menciptakan ketidakpastian di kalangan birokrat.
Sebagian pejabat yang mengikuti Ujikom mengaku was-was dengan langkah yang terkesan mendadak ini.
Apakah evaluasi tersebut benar-benar demi kepentingan publik, atau hanya menjadi alat untuk “mengunci” kepentingan politik tertentu?
Kini, masyarakat Aceh menunggu jawaban atas kontroversi ini. Pergantian kepala daerah definitif tinggal hitungan hari.
Apakah para pejabat hasil evaluasi ini akan tetap bertahan, atau justru digantikan oleh figur baru pilihan kepala daerah terpilih?
Jika dugaan transaksional ini benar adanya, langkah Safrizal hanya akan mencoreng integritas pemerintahan Aceh dan memperdalam luka birokrasi yang sudah lama kehilangan kepercayaan publik.[*/Tim/Red]