KENAIKAN PPN 12 persen picu gelombang penolakan yang besar dan menyeruak di mana-mana termasuk di Samarinda. Aliansi Masyarakat Sipil Kalimantan Timur menggelar aksi protes pada Minggu (29/12/2024) sore, menolak kenaikan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) menjadi 12 persen, yang dijadwalkan berlaku mulai 1 Januari 2025. (Beritasatu.com)
Di hari yang berbeda aksi yang sama juga dilakukan oleh Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) Cabang Samarinda dalam aksi kegiatan Refleksi Akhir Tahun dengan Tema "Kilas Balik 2024" di Taman Samarendah, Kota Samarinda, Provinsi Kalimantan Timur pada Senin (30/12/2024) petang.berlangsung di depan Gerbang Universitas Mulawarman (Unmul), Jalan M. Yamin, Samarinda, dengan puluhan mahasiswa ikut turun ke jalan. (kaltim.tribunnews.com)
Aksi protes yang dilakukan masyarakat dan mahasiswa adalah bentuk kekecewaan mereka terhadap kebijakan pemerintah terkait naiknya PPN 12 persen yang berlaku mulai awal Januari 2025 akan sangat berdampak bagi masyarakat, di tengah situasi ekonomi yang sulit hanya akan menambah beban masyarakat.
Meskipun gelombang penolakan besar dan dimana - mana, nyatanya tak membuat pemerintah bergeming. Meski mengklaim kenaikan pajak hanya diberlakukan untuk barang jasa mewah, tapi tidak menutup kemungkinan akan tetap saja mempengaruhi kebutuhan yang lain. Sungguh kebijakan yang tak bijak di tengah masyarakat yang semakin sulit.
Buah Kapitalisme
Dalam sistem Kapitalisme pajak merupakan sumber utama pendapatan negara. Sebagai sumber pendapatan negara maka penguasa akan terus memaksimalkan pendapatan dari pajak dengan berbagai macam jenis pungutan pajak.
Pendapatan negara lewat pajak mengalami peningkatan yang signifikan dari tahun ke tahun. BPS melaporkan bahwa penerimaan pajak mencapai 82,4% dari total penerimaan. Pada 2023, pendapatan negara sebesar Rp2.634 triliun. Tahun 2024 menjadi tahun dengan penerimaan negara paling tinggi sepanjang sejarah karena diperkirakan mencapai Rp2.802,3 triliun.
Mengutip laman Kemenkeu (9-11-2024), hingga 31 Oktober 2024 pendapatan negara tercatat Rp2.247,5 triliun atau 80,2% dari target APBN. Bisa dibayangkan nilai pendapatan negara jika kebijakan PPN 12% benar-benar terealisasi. Jelas meningkat tajam.
Ketika pajak dijadikan sumber pendapatan negara, maka sejatinya rakyatlah yang membiayai sendiri kebutuhannya untuk memperoleh berbagai layanan yang dibutuhkan. Artinya negara tidak berperan sebagai pengurus rakyat.
Negara hanya berperan sebagai fasilitator dan regulator, yang melayani kepentingan para pemilik modal. Banyak kebijakan pajak yang memberikan keringanan pada para pengusaha dengan alasan untuk meningkatkan investasi.
TERIMA KASIH SUDAH MEMBACA LINTASATJEH.COM
Sebaliknya rakyat biasa akan terabaikan dan menjadi sasaran berbagai pungutan negara yang bersifat wajib. Sejatinya pajak merupakan pemalakan kepada rakyat dengan dalih membangun negara secara gotong royong. Namun, kebijakan penguasa justru tidak berpihak pada kepentingan rakyat.
Pajak dalam Islam
Berbeda halnya dengan Kapitalisme, Islam tidak menjadikan pajak sebagai sumber pendapatan tetap negara. Islam memandang pajak (dharibah) sebagai alternatif terakhir sumber pendapatan negara, itu pun hanya dalam konsisi tertentu, dan hanya pada kalangan tertentu.
Pajak hanya di pungut dari kaum muslim yang kaya. Semuanya itu dipungut dari sisa nafkah setelah terpenuhi semua kebutuhan primer serta kebutuhan sekunder yang makruf. Pajak diambil hanya ketika kas negara (baitulmal) benar-benar kosong dan digunakan untuk pengeluaran wajib dari baitulmal. Penarikan pajak (dharibah) dalam Islam bersifat temporal, bukan menjadi agenda rutin seperti halnya pajak di sistem kapitalisme.
Sumber pendapatannya berasal dari baitulmal. Dalam kitab An-Nizham al-Iqtishady fi Al-Islam yang ditulis oleh Taqiyuddin an-Nabhani, dijelaskan bahwa sumber pendapatan tetap baitulmal adalah fai, ganimah, anfal, kharaj, jizyah, dan pemasukan dari hak milik umum dengan berbagai macam bentuknya, pemasukan dari hak milik negara, usyur, khumus, rikaz, tambang, dan harta zakat.
Belum lagi pemasukan dari harta milik umum (SDA). Apabila harta-harta ini cukup untuk memenuhi kebutuhan rakyat maka cukup dengan harta tersebut. Apabila tidak, negara harus mewajibkan pajak (dharibah) untuk menunaikan tuntutan dari pelayanan urusan umat.
Seorang pemimpin laksana penggembala. Dalam sebuah hadis, diriwayatkan bahwa Rasulullah ﷺ bersabda, “Imam itu adalah laksana penggembala dan dia akan dimintai pertanggungjawaban akan rakyatnya (yang digembalakannya).” (HR Bukhari dan Ahmad dari Abdullah bin Umar ra.).
Layaknya seorang penggembala (raa’in), pemimpin itu melayani, menuntun, mengarahkan, menjamin, dan membantu terpenuhinya kebutuhan gembalaannya agar dapat tumbuh dan berkembang dengan baik. Kiasan ini digambarkan Rasulullah ﷺ dalam makna bahwa pemimpin laksana penggembala yang bertanggung jawab atas rakyat yang percaya kepadanya untuk mengurus kebutuhan mereka.
Jadi penguasa hanya mengelola harta rakyat (SDA) untuk dikembalikan kepada rakyat dalam bentuk berbagai fasilitas umum dan layanan sehingga akan memudahkan hidup rakyat. Inilah tugas pokok negara, yakni ri’ayah asy-syu’un al-ummah (mengurus berbagai keperluan umat). Sangat jauh berbeda dengan kepemimpinan kapitalisme saat ini.
Demikianlah, Islam memberikan gambaran kepemimpinan yang amanah adalah mengurus dan menjamin terpenuhinya kebutuhan rakyat, meringankan beban mereka, dan membantu mereka jika mengalami kesulitan ekonomi. Islam memiliki skema pemasukan yang diambil dari banyak sektor.
Dalam sistem Islam kafah, pajak tidak menjadi sektor atau pilihan utama sebagai sumber pemasukan negara. Kepemimpinan dan sistem Islam kafah akan melahirkan kebijakan yang mengutamakan kepentingan dan kemaslahatan rakyat. Wallahu 'alam
Penulis: Guspiyanti (Aktivis Muslimah)