-->

Ini Rekomendasi AWF Kepada Pemkab Bireuen Terkait Alih Fungsi Lahan

06 Januari, 2025, 19.39 WIB Last Updated 2025-01-06T12:39:33Z
LINTAS ATJEH | BIREUEN - Habitat rawa (paya) di Kabupaten Bireuen dalam 11 tahun terakhir mengalami penurunan luas yang signifikan. 

Dari 437, 93 hektar pada 2013 yang ditetapkan Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Bireuen, Berdasarkan Qanun Nomor 7 Tahun 2013 Tentang Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Kabupaten Bireuen tahun 2013-2032, hasil survey pada tahun 2024, ruas rawa yang berstatus kawasan perlindungan itu hanya tinggal 388,1 hektar, mengalami penyusutan 49,83 hektar atau rata-rata 4,53 hektar per tahun.

Aceh Wetland Foundation melakukan survey di kawasan rawa tersebut dengan menggunakan drone, Aplikasi Sistem Informasi Geografis atau Geographic Information System (GIS) dan mendatangi langsung lokasi rawa tersebut.

Hal tersebut di paparkan oleh Aceh Wetland Foundation pada komferensi pers pada Senin (06/01/2025), di ruang pertemuan salah satu kafe di sepeutaran Kota Bireuen.

Yusmadi Yusuf Selaku Direktur Eksekutif AWF atau lembaga konservasi lahan basah di Aceh menyampaikan telah menyelesaikan survei eksisting 10 habitat Paya (Rawa) yang berstatus fungsi lindung sesuai dengan Qanun Kabupaten Bireuen Nomor 7 Tahun 2013 Tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten Bireuen Tahun 2012–2032.

Dikatakannya sesuai dengan Pasal 27 Qanun RTRW Tahun 2012 – 2032, luas paya (rawa) yang memberikan perlindungan kawasan bawahan di Bireuen terdapat sekitar 437,93 hektar. 

Berdasarkan hasil data dan temuan ini, selama dekade terakhir kawasan paya di Bireuen mengalami penurunan luas yang signifikan, berdasarkan data tahun 2024 luas rawa yang berstatus kawasan perlindungan tersebut hanya tinggal 388,1 hectar yang mengalami Penyusutan sebesar 49,83 hektar atau rata-rata 4,53 hectar pertahun sejak 2013, Penyusutan sebagai besar di sebabkan oleh pengalihan fungsi lahan untuk kepentingan pertanian, pemukiman dan perkebunan hingga lahan rawa makin menyusut alias mengecil.

"Kami ingin menyampaikan hasil survei dan kajian ini kepada pemerintah Kabupaten Bireuen untuk dapat merespon dan menanggapi data dan fakta tersebut," ungkapnya.

Tim survei dan pemetaan AWF, Habib Dwi Siga juga menyampaikan 10 rawa di Bireuen yang sudah di Survei yaitu Rawa Paku dan Kolam Sapi Kecamatan Simpang Mamplam, rawa Paya Cut, rawa Geudeubang dan Paya Jagat  Kecamatan Jeumpa sedang Rawa Umpung  kecamatan Peusangan Selatan, Paya Kareung Kecamatan Kota Juang, Payanie kecamatan Kutablang, Paya Mesjid Paya Gub Kecamatan Makmur.

Habib menjelaskan akibat pengalihan fungsi rawa-rawa tersebut berdampak pada Kerusakan ekosistem Lahan basah memiliki fungsi ekologis yang penting untuk menjaga keseimbangan ekosistem juga perubahan kondisi lahan basah dapat berdampak pada keanekaragaman hayati yang hidup di dalamnya. 

TERIMA KASIH SUDAH MEMBACA LINTASATJEH.COM 

Dikhawatirkan dan nahas lahan basah yang menyimpan banyak manfaat berada di bibir jurang ancaman perubahan iklim ekstrem. Dampak perubahan iklim dirasakan oleh manusia yang tinggal di lahan basah seperti di kawasan sungai. Perubahan curah hujan dan cuaca memengaruhi sungai dan daerah sekitarnya seperti kekeringan dan juga berkurangnya ketersediaan air bersih. Padahal, lahan basah kerap kali dijadikan komponen untuk memutar roda perekonomian masyarakat.

Selain itu, katanya, adanya aktivitas Galian C dan perkebunan sawit, pengerukan tanah di sekitar kawasan rawa juga menjadi penyebab penyusutan luas rawa.

Seperti yang terjadi di sekitar Rawa Geudeubang di Gampong Blang Rheum, Kecamatan Jeumpa, Bireuen sekitar kawasan itu ada aktivitas Galian C.

“Karena itu , kita berharap Pemkab Bireuen tak mengeluarkan rekomendasi untuk Galian C di sekitar kawasan rawa yang ada di Bireuen,” harapnya.

Disebutksn juga Perubahan kondisi lahan basah juga akan berdampak besar bagi keanekaragaman hayati yang menggantungkan hidup di ekosistem tersebut. Pasalnya, sekitar 40% spesies tumbuhan dan hewan di dunia bergantung pada lahan basah. Indonesia sendiri menjadi salah satu area penting untuk burung air pendatang atau penetap. Hutan bakau atau mangrove menjadi salah satu lahan basah favorit burung-burung untuk bersarang, mencari makan, dan berlindung.

Berdasarkan temuan tersebut, Aceh Wetland Foundation merekomendasikan beberapa langkah yang harus segera diambil untuk melindungi dan melestariskan kawasan rawa di Kabupaten Bireuen.

1. Penegakan hukum yang lebih tegas, Pemkab Bireuen diminta untuk memperkuat penegakan hukum terhadap pihak-pihak yang terlibat dalam konservasi lahan yang melanggar peraturan tentang kawasan perlindungan rawa.

2. Restorasi ekonomi rawa, Kawasan Rawa yang telah telah terdegradasi perlu segera direhabilitasi untuk memulihkan fungsinya sebagai penyimpan air dan habitat margasatwa. Program restorasi ekosistem harus menjadi prioritas untuk menjaga keberlangsungan ekosistem paya.

3.Penyuluhan dan edukasi kepada masyarakat di sekitar kawasan rawa mengenai pentingnya menjaga ekosisten rawa dan fungsi ekologisnya. Kolaborasi dengan masyarakat lokal sangat penting untuk meningkatkan kesadaran dan mendukung pelestarian kawasan.

4. Kolaborasi untuk pengelolaan berkelanjutan. Aceh Wetland Foundation mendorong kerjasama antara pemerintah derah, sektor swasta, lembaga konservasi dan masyarakat untuk mengembangkan model pengelolaan lahan yang berkelanjutan. Pengelolaan kawasan rawa yang berbasis pada prinsip keberlanjutan akan memberikan manfaat ekonomi dan ekologis bagi semua pihak.

Menurut Yusmadi, selain harus diperkuat dengan sanksi hukum juga harus adanya revisi tentang qanun tersebut serta adanya Peraturan Bupati (Perbup).

“Kami percaya dengan kerjasama yang baik antara pemerintah, masyarakat dan sektor swasta, kita dapat menjaga dan melindungi kawasan rawa ini untuk generasi mendatang,” pungkasnya.[*/Red]
Komentar

Tampilkan

Terkini