-->


GerPALA Desak Pemkab Aceh Selatan dan Pemerintah Aceh Evaluasi Izin PT PSU

29 Januari, 2025, 13.02 WIB Last Updated 2025-01-29T06:02:01Z
LINTAS ATJEH | ACEH SELATAN - Gerakan Pemuda Negeri Pala (GerPALA) mendesak Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Aceh Selatan melakukan evaluasi dan peninjauan kembali terhadap persetujuan/ rekomendasi yang diberikan terkait perizinan PT Pinang Sejati Utama (PSU) serta meminta Pemerintah Aceh untuk mengevaluasi dan meninjau kembali izin yang diberikan kepada perusahaan tambang tersebut. 

Hal itu tentunya bukan tanpa alasan, kehadiran perusahaan yang beroperasi di  Simpang Dua kecamatan Kluet Tengah kabupaten Aceh Selatan itu selain kurang bermanfaat bagi daerah dan masyarakat, juga disinyalir telah mengabaikan sejumlah peraturan perundang-undangan.

Penegasan itu disampaikan oleh Koordinator Gerpala, Fadhli Irman, Rabu, 29 Januari 2025, dalam siaran persnya kepada media ini.

Menurut Fadhli Irman, pihaknya tidak terlalu heran jika PT PSU berani mengangkut material bijih besi ke pelabuhan Tapaktuan tanpa adanya pengamanan dan pemenuhan standar lingkungan, hingga debu dan material yang dibawa perusahaan itu berceceran di jalan. Pasalnya, sebelum itu perusahaan tersebut bahkan berani beroperasi tanpa mengantongi dokumen asli analisis dampak lingkungan (AMDAL).

Lanjut Irman, jika kita lihat berdasarkan pengakuan PT Indotama Adya Consultan di media, ternyata hngga 27 Mei 2024 lalu PT PSU belum mengantongi dokumen asli AMDAL/RKL dan Rencana Pemantauan Lingkungan (RPL)  dikarenakan belum melunasi pembayaran kepada pihak konsultan AMDAL sehingga dokumen itu ditahan. Namun ironisnya, perusahaan tersebut tetap berani beroperasi dan terlihat pemerintah Aceh Selatan justru melakukan pembiaran.

"Berdasarkan Undang-Undang (UU) Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, pada pasal 22 secara jelas disebutkan bahwa setiap usaha dan / atau kegiatan yang berdampak penting terhadap lingkungan wajib memiliki Amdal, termasuk perusahaan pertambangan," ujarnya.

Kemudian, kata Irman, berdasarkan Peraturan Pemerintah nomor 22 tahun 2021 tentang Penyelenggaran Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, dalam Pasal 4 dinyatakan bahwa setiap rencana usaha dan/atau kegiatan yang berdampak terhadap Lingkungan Hidup wajib memiliki Amdal, UKL-UPL, atau SPPL. Dan dokumen tersebut menjadi salah satu syarat wajib dalam persetujuan pemberian rekomendasi dan perizinan terhadap sebuah perusahaan pertambangan.

"Jika perusahaan belum mengantongi dokumen asli AMDAL, sudah dapat mengantongi rekomendasi/persetujuan pemkab hingga Izin dari Pemerintah Aceh, bahkan telah berani beroperasi tanpa dokumen asli AMDAL tersebut, patut diduga ada pembiaran yang dilakukan pemerintah sejak lama," bebernya.

Irman menambahkan, pada BAB XVI bagian kedua pasal 73 ayat 1 Qanun Aceh nomor 15 tahun 2013 tentang Pengelolaan Tambang Mineral dan Batubara  juga ditegaskan bahwa Pemegang IUP dan IUPK wajib melaksanakan perlindungan terhadap masyarakat yang terkena dampak negatif langsung  dari kegiatan usaha pertambangan.

"Jika PT PSU justru mengabaikan hal ini dan melakukan kegiatan yang membuat masyarakat terkena dampak negatif dari kegiatannya tersebut, seperti membiarkan debu dan material angkutan berceceran di jalan yang dilintasi masyarakat, maka hal itu menunjukkan bahwa perusahaan tersebut telah mengabaikan amanah dari qanun pertambangan Aceh tersebut," katanya.

Fadhli Irman juga mensinyalir kehadiran PT PSU selama ini tidak memberikan dampak baik dan tidak berkontribusi terhadap daerah dan masyarakat, baik itu untuk pendapatan asli daerah (PAD) maupun berupa tanggung jawab sosial dan lingkungan perusahaan (CSR). 

TERIMA KASIH SUDAH MEMBACA LINTASATJEH.COM 

Berdasarkan surat pernyataan komisaris utama PT PSU yang ditandatangani Tommy Ciputro tanggal 3 Januari 2024 sudah jelas tertera bahwa PT PSU akan memberikan sebagian CSR kepada Pemda Aceh Selatan sebesar Rp 500.000.000,- /tahun dengan metode cicilan sebesar Rp. 50.000.000,- /bulan selama sepuluh bulan. Namun mirisnya, hingga saat ini hal tersebut juga tak kunjung dipenuhi, sehingga semakin jelas bahwa perusahaan tersebut telah mengabaikan pernyataan yang dibuat sendiri dan telah mengangkangi kewajibannya sebagaimana yang diatur dalam perundang-undangan.

Irman menjelaskan, kewajiban CSR perusahaan telah diatur  dalam UU Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas (UU PT) dan PP 47 tahun 2012 tentang Tanggung Jawab Sosial dan Lingkungan Perseroan Terbatas. Dimana, dalam Pasal 74 UU PT tersebut ditegaskan bahwa perusahaan yang menjalankan kegiatan usaha di bidang dan/atau berkaitan dengan sumber daya alam wajib melaksanakan tanggung jawab sosial dan lingkungan. Jika kewajiban ini tidak dijalankan, perusahaan akan dikenai sanksi sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Hal itu juga dipertegas dalam pasal 2 dan 3 PP nomor 46 tahun 2012 yang menyebutkan bahwa setiap perseroan selaku subjek hukum mempunyai tanggung jawab sosial dan lingkungan. Pada bagian penjelasan Pasal 2 PP 47/2012 itu juga telah diterangkan  bahwa pada dasarnya setiap perseroan sebagai wujud kegiatan manusia dalam bidang usaha, secara moral mempunyai komitmen untuk bertanggung jawab atas tetap terciptanya hubungan Perseroan yang serasi dan seimbang dengan lingkungan dan masyarakat setempat sesuai dengan nilai, norma, dan budaya masyarakat. 

"Kemudian, pada pasal 7 PP 47 tahun 2012 ditegaskan bahwa ketika sebuah perseroan (PT) yang bergerak di bidang dumber daya alam tidak melaksanakan tanggung jawab TJSL atau CSR dikenakan sanksi," sebutnya.

Tak hanya itu, kata Irman, berdasarkan informasi yang berkembang di masyarakat bahwa PT PSU tidak hanya melakukan penambangan bijih besi namun juga emas di kawasan tersebut. "Hal ini juga perlu dicek lebih lanjut, karena apabila benar IUP yang dipegang hanya bijih besi, sementara penambangan emas juga dilakukan maka daerah dan negara juga secara dirugikan," tambahnya.

Irman mengatakan, melihat kondisi dan fakta yang terjadi selama ini, maka Gubernur Aceh dan Bupati Aceh Selatan sebagai pihak yang bertanggung jawab melakukan pembinaan atas pelaksanaan kegiatan usaha pertambangan yang diatur langsung melalui pasal 68 dan 69 qanun Aceh nomor 15 tahun 2013, seyogyanya mengevaluasi dan melakukan peninjauan ulang terhadap izin yang dipegang oleh PT PSU.

"Seharusnya Pj Bupati dan Pj Gubernur melakukan peninjauan kembali terhadap izin usaha pertambangan yang dimiliki oleh perusahaan tersebut," katanya.

Tak hanya itu, Irman juga berharap agar Bupati dan Gubernur Aceh terpilih dapat melakukan evaluasi dan peninjauan kembali semua perusahaan pertambangan yang ada di Aceh Selatan, khususnya untuk perusahaan yang mengabaikan kewajibannya selama ini.

"Berdasarkan qanun nomor 15 tahun 2013, maka Bupati dan Gubernur  dapat mencabut IUP yang telah diterbitkan apalagi jika pemegang IUP tidak menjalankan kewajibannya sebagaimana amanah perundang-undangan," tegasnya.

Pihaknya juga akan mencoba melakukan advokasi lebih jauh terkait keberadaan perusahaan pertambangan di Aceh Selatan dan siap untuk turut menyurati Gubernur Aceh hingg Kementeria ESDM terkait indikasi pelanggaran peraturan yang dilakukan oleh perusahaan pertambangan.

"Bukan cuma PT PSU, tetapi perusahaan-perusahaan pertambangan lainnya yang selama ini beroperasi di Aceh Selatan juga harus taat kepada aturan. Jangan sampai kekayaan alam daerah kita diambil, namun manfaatnya tak ada buat daerah dan masyarakat, bahkan kontribusi untuk peningkatan PAD saja tak ada.  Apalagi, jika ada perusahaan pertambang yang justru mengabaikan amanah perundang-undangan, tentunya tidak bisa dibiarkan begitu saja oleh pemerintah. Jangan sampai kehadiran perusahaan pertambangan di daerah kita ini justru lebih besar mudharatnya ketimbang manfaatnya," pungkasnya.[*/Red]
Komentar

Tampilkan

Terkini