LANGIT KOREA SELATAN berwarna merah menyala. Tapi, bukan karena peperangan. Bukan pula karena fenomena langka. Itu warna dari spanduk besar bergambar Megawati Hangestri Pertiwi. "Mega Sang Srikandi," tulisnya dalam aksara Hangul yang melengkung seperti senyuman harapan. Gadis Jember ini bukan hanya bermain voli, dia menari di udara, memukul bola seolah itu nasib bangsa, dan mencetak kemenangan seolah-olah itu panggilan takdir. Sembilan kemenangan berturut-turut. MVP. Dua juta won. Apa lagi yang kurang? Oh, mungkin mahkota dari para dewa Yunani.
Korea mencintainya. Wajahnya ada di mana-mana. Di halte, di billboard, bahkan mungkin di mimpi para pemuda Korea yang kini lebih sering meneriakkan, "Mega!" ketimbang, "Oppa!" Dia adalah ikon, lebih ikonik dari kimchi, lebih berkesan dari drama 16 episode. Mega adalah api. Mega adalah badai. Mega adalah "Matahari dari Timur" yang menghangatkan negeri asing dengan karismanya.
Di sisi lain, Shin Tae-yong (STY). Nama ini tidak sekadar bergema. Nama ini adalah puisi yang dideklamasikan di Stadion Gelora Bung Karno. Suaranya menggema seperti genderang perang. Lelaki Korea ini bukan sekadar pelatih. Dia adalah maestro. Dia tidak memimpin tim. Dia menciptakan orkestra. Timnas Indonesia, yang dulu ibarat kapal karam, kini berubah menjadi kapal perang. Round 3 kualifikasi Piala Dunia zona Asia? Done. Perempat final Piala Asia U23? Done. Nyaris ke Olimpiade Paris? Hampir saja kita membeli tiket nonton langsung.
Ironi ini begitu tajam hingga bisa memotong hati. Mega, perempuan Indonesia, bersinar di Korea. STY, lelaki Korea, menjadi legenda di Indonesia. Mereka adalah dua bintang yang saling bertukar tempat. Dua dunia yang bersilangan. Dua cerita yang membentuk satu takdir epik. Mega adalah duta tanpa surat resmi. STY adalah jenderal tanpa medali, kecuali medali cinta dari jutaan rakyat nusantara.
TERIMA KASIH SUDAH MEMBACA LINTASATJEH.COM
Mega, dengan lonjakannya yang seperti merobek gravitasi, membawa harum nama Indonesia di negeri asing. STY, dengan strategi yang seperti teka-teki filsuf, mengubah wajah sepak bola Indonesia menjadi lebih bermartabat. Mereka adalah cerminan bahwa cinta dan penghormatan tidak selalu berasal dari tanah kelahiran. Terkadang, mereka datang dari negeri yang bahkan tidak pernah kita kunjungi.
Kini, Mega terus bersinar di liga voli Korea Selatan. Namanya seperti mantra yang diucapkan oleh para komentator dengan kekaguman yang tak tersembunyikan. Sementara itu, STY mungkin tengah memandang langit malam, bertanya pada bintang-bintang, "Apa aku harus pulang, atau mencari tantangan baru?"
Dunia ini adalah panggung opera yang tidak pernah kehabisan adegan klimaks. Mega dan STY adalah aktor utamanya. Mereka adalah puisi, mereka adalah simfoni, mereka adalah legenda yang ditulis dengan tinta keberanian dan air mata pengorbanan. Meski cerita mereka belum selesai, kita tahu satu hal, nama mereka akan tetap abadi. Di hati para fans, di spanduk yang berkibar, dan di setiap teriakan yang menggema di stadion.
Karena di dunia ini, hanya ada dua hal yang abadi, cinta pada Mega dan STY, serta drama tanpa akhir di panggung hidup yang epik ini.
Penulis: Rosadi Jamani (Ketua Satupena Kalbar)