-->

Dongkrak Pajak PPN Jadi 12 Persen, Bukti Konkret Sistem Kapitalisme Kian Bobrok

22 September, 2024, 12.20 WIB Last Updated 2024-09-23T05:25:02Z
PAJAK PERTAMBAHAN NILAI (PPN) akan naik menjadi 12 persen pada tahun 2025. Ketentuan tersebut diatur dalam Undang-undang (UU) Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan. Lewat aturan tersebut, pemerintah telah melakukan penyesuaian tarif PPN menjadi 11 persen pada 2022. Dalam UU itu diamanatkan, tarif PPN dinaikan menjadi 12 persen selambat-lambatnya pada 1 Januari 2025.

Ini termasuk untuk pembelian rumah hingga membangun rumah sendiri tanpa kontraktor.

Sementara ketentuan terkait PPN membangun rumah sendiri termasuk besarannya telah ditetapkan dalam Peraturan Menteri Keuangan Nomor 61/PMK.30/2022 tentang PPN atas Kegiatan Membangun Sendiri. Tertulis dalam Pasal 2 Ayat (2) PMK tersebut, bahwa PPN terutang bagi orang pribadi atau badan yang melakukan kegiatan membangun sendiri. Kemudian dalam Pasal 3 Ayat (2) diatur, besaran pajak membangun rumah sendiri merupakan hasil perkalian 20 persen PPN.  "Besaran tertentu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan hasil perkalian 20% (dua puluh persen) dengan tarif Pajak Pertambahan Nilai sebagaimana diatur dalam Pasal 7 ayat (1) Undang-Undang Pajak Pertambahan Nilai dikalikan dengan dasar pengenaan pajak," bunyi Pasal 3 Ayat (2). Sehingga dapat disimpulkan, pajak membangun rumah sendiri saat PPN masih 11 persen yang berlaku saat ini adalah 2,2 persen dan saat PPN naik menjadi 12 persen mulai tahun depan adalah 2,4 persen. (Kompas.com 15/9/24)

Fakta ini sejatinya menunjukkan betapa sulitnya masyarakat untuk memiliki rumah.

Ada beberapa hal yang harus kita soroti kenaikan pajak yang berefek kepada pajak pembangunan rumah ini. Penetapan pajak adalah satu keniscayaan dalam sistem kehidupan kapitalisme. Karena pajak adalah sumber pendapatan bagi negara yang menerapkan ekonomi kapitalisme. Selama negara ini masih menerapkan sistem ekonomi kapitalisme, maka rakyat tidak akan lepas dari pajak, yang nyatanya itu membebani kehidupan mereka.

Kedua kenaikan pajak membangun rumah membuat rakyat sulit untuk memiliki rumah. Hal ini tentu disadari oleh penguasa/negara mengingat masih banyaknya rakyat yang homeless dan terancam homeless. Namun di saat yang sama, negara gagal menyediakan lapangan pekerjaan yang memadai bagi rakyatnya, yang memungkinkannya memiliki penghasilan untuk membangun rumah yang layak dan nyaman. Di sisi lain, rakyat yang bisa membangun rumah yang layak dan nyaman, malah dibebani pajak yang makin tinggi. Tampaklah tidak ada upaya negara untuk meringankan beban rakyat dalam memenuhi kebutuhan pokoknya dengan penetapan kenaikan pajak rumah ini.

Sungguh penerapan sistem ekonomi kapitalisme, telah menjadikan negara berlepas tanggung jawab terhadap pengurusan papan/perumahan bagi rakyatnya. Sistem ini hanya melahirkan pandangan menjadikan rakyat sebagai objek eksploitasi "sapi perah" untuk mendapatkan pemasukan negara. Paradigma raa'in (pengurus rakyat), tidak akan kita temukan dalam negara yang menerapkan sistem ekonomi kapitalisme berikut sistem politik demokrasi. Yang ada justru negara yang berpihak dan mengakomodir kepentingan pebisnis. Hal ini tampak dari negara yang seringkali memberikan hak istimewa kepada para pengusaha seperti pembebasan dari pajak.

Jaminan pemenuhan kebutuhan rakyat sesungguhnya hanya akan terealisasi dalam sebuah sistem yang menjadikan negara sebagai raa'in atau pengurus rakyat, yakni sistem kehidupan yang berlandaskan sistem islam kaffah sebagaimana Allah SWT perintahkan dalam al-qur'an "Wahai orang-orang yang beriman! Masuklah ke dalam islam secara keseluruhan (kaffah), dan janganlah kamu ikuti langkah-langkah syaithon. Sungguh ia musuh yang nyata bagimu (TQS al-Baqarah ayat 208). Dan sebagaimana sabda Nabi Muhammad SAW, "Imam (khalifah) adalah raa'in (pengurus rakyat), dan dia bertanggungjawab atas pengurusan rakyatnya" (HR. Bukhari).

TERIMA KASIH SUDAH MEMBACA LINTASATJEH.COM 

Penerapan sistem ekonomi islam menjamin kesejahteraan secara rakyat dalam negara, yakni kesejahteraan individu per individu. Kesejahteraan yang di maksud adalah terpenuhinya kebutuhan sandang, pangan, papan, pendidikan, kesehatan, dan keamanan rakyat.

Dalam memenuhi kebutuhan rakyat terkait papan/hunian, maka negara akan menempuh mekanisme tidak langsung yang telah diatur oleh syariat islam, yakni penyediaan lapangan pekerjaan yang layak serta gaji yang layak, bagi masyarakat terhutama laki-laki, sebagai tulang punggung keluarga. Ketersediaan lapangan pekerjaan akan terbuka lebar karena negara serius menciptakan iklim yang  kondusif untuk bekerja, yakni menghilangkan monopoli dan menegakkan sektor ekonomi riil. Negara juga melarang penguasaan sumber daya alam oleh segelintir orang (para kapital) yang sering berlaku sewenang-wenang dalam ketenagakerjaan.

Negara menjamin kebutuhan papan/perumahan masyarakat, melalui hukum-hukum pertanahan berdasarkan syariat islam. Hal ini memudahkan rakyat untuk memperoleh lahan. Pasalnya lahan mati, baik yang belum pernah dihidupkan ataupun yang sudah ditelantarkan lebih dari 3 tahun, kepemilikannya akan berpindah kepada siapa saja yang menghidupkan lahan tersebut, meskipun lahan itu adalah milik pengembang properti. Maksud menghidupkan tanah di sini adalah termasuk kegiatan membangun rumah di atas lahan tersebut. Negara juga bisa memberikan tanah (iqtho') kepada rakyat yang dipandang sebagai pihak yang membutuhkan.

Negara tidak akan menjadikan pajak sebagai sumber utama pendapatan negara. Karena hal ini diharomkan oleh Allah SWT (syariat). Negara akan menempuh 3 pos yang sudah ditentukan oleh syariat untuk mendapatkan pemasukan negara dalam Baitul Mal, yakni pos fai dan kharaj, pos kepemilikan umum, serta pos zakat.

Dari pos kepemilikan umum saja, semisal bahan tambang, negara akan mendapatkan pemasukan yang besar dan melimpah, yang memampukan negara untuk menyejahterakan rakyatnya. Alhasil, negara tidak membutuhkan pajak pada kehidupan yang berjalan normal.

Beda kondisi bila terjadi ketidaknormalan dalam Baitul Mal, semisal kas negara mengalami defisit, tapi ada pengeluaran wajib yang bersifat tetap/harus untuk dikeluarkan semisal membayar santunan kepada khalifah, qadhi, para wazir dan lain-lain, maka boleh bagi negara untuk memungut pajak. Tapi hanya dibebankan kepada warga yang aghni (kaya) saja, dan bersifat temporal tidak terus menerus. Dan semua hal ini adalah bukti islam sebagai aturan kehidupan, karena memuat solusi komperhensif dan solutif terhadap permasalahan manusia, yang bisa diterapkan di setiap zaman dan waktu. "Dan sekiranya penduduk negeri beriman dan bertakwa, pasti Kami akan melimpahkan kepada mereka berkah dari langit dan bumi, tetapi ternyata mereka mendustakan (ayat-ayat Kami), maka Kami siksa mereka sesuai dengan apa yang telah mereka kerjakan" (al-A'raf ayat 96).

Wallahu'alam bisshowwab.

PenulisLisa Oka Rina (Pemerhati Kebijakan Publik)
Komentar

Tampilkan

Terkini