-->

Perlindungan dan Keamanan Bagi Anak dan Perempuan Terjamin dengan Islam Politik

28 Juli, 2024, 13.03 WIB Last Updated 2024-07-28T06:03:44Z
TERCATAT pada awal tahun 2024, terdapat 240 kasus terlapor soal kasus kekerasan perempuan dan anak di Samarinda. Hal ini menyita perhatian Deni Hakim Anwar selaku anggota DPRD Samarinda. Dia juga menegaskan kurangnya inisiatif preventif (pencegahan) menjadi penyebab lonjakan kasus tersebut. Deni menekankan pentingnya sosialisasi yang efektif, termasuk penggunaan media sosial sebagai alat pencegahan. Deni juga menekankan peran vital edukasi keluarga dan pendidikan agama dalam membentuk landasan moral anak-anak. Dengan berbagai upaya ini, Deni berharap bisa membangun kesadaran dan memberikan perlindungan yang lebih baik terhadap perempuan dan anak-anak di  Samarinda. (suarakaltim.id 11/7/24).

Di kota kita yang tercinta ini, keadaan tersebut juga mengalami peningkatan signifikan dalam kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak. Berdasarkan data dari Dinas Pemberdayaan Perempuan Perlindungan Anak dan Keluarga Berencana (DP3AKB) Balikpapan, sepanjang tahun 2023 tercatat sebanyak 132 kasus. Hingga pertengahan tahun 2024, jumlah kasus sudah mencapai 116. Kepala DP3AKB Balikpapan, Heria Prisni, menyampaikan bahwa periode Januari hingga Juni 2024 telah mencatat 116 kasus kekerasan, dengan dominasi kasus kekerasan seksual. "Januari hingga Juni 2024 tercatat sebanyak 116 kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak. Dari sejumlah kasus yang terjadi, lebih banyak didominasi kasus kekerasan seksual," kata Heria Prisni Minggu (14/7/2024). Itu berarti setiap bulan ada laporan 20 kasus. 

Menanggapi situasi ini, Pemerintah Kota Balikpapan melalui DP3AKB gencar melakukan berbagai upaya sosialisasi dan pencegahan. Program-program yang telah dilaksanakan antara lain penyuluhan ke sekolah-sekolah, pelatihan bagi tenaga pendidik dan orang tua, serta kampanye publik melalui media sosial dan komunitas lokal. Pemkot Balikpapan juga menjalin kerjasama dengan aparat penegak hukum dan organisasi masyarakat untuk memperkuat penanganan dan perlindungan korban kekerasan. Langkah-langkah ini diharapkan dapat menekan angka kekerasan dan memberikan rasa aman bagi perempuan dan anak di Balikpapan. (rri.co.id 15/7/24).

Menurut World Health Organization (WHO, 2017), kekerasan seksual merupakan semua tindakan yang dilakukan dengan tujuan untuk memperoleh tindakan seksual atau tindakan lain yang diarahkan pada seksualitas seseorang dengan menggunakan paksaan tanpa memandang status hubungannya dengan korban.

Berikut bentuk kekerasan seksual yang diakui oleh Komisi Nasional (Komnas) Perempuan per 2013, meliputi perkosaan, intimidasi seksual termasuk ancaman atau percobaan perkosaan, pelecehan seksual, eksploitasi seksual, perdagangan perempuan untuk tujuan seksual, prostitusi paksa, perbudakan seksual. Syahputra (2018) menjelaskan beberapa faktor yang melatarbelakangi kekerasan seksual, yakni faktor internal dan faktor eksternal. Faktor internal adalah terkait apa yang terdiri dari faktor kejiwaan, faktor biologis, moral. Sedangkan faktor eksternal adalah faktor sosial budaya, faktor ekonomi, faktor media massa dan putusan hakim.

Kekerasan yang dialami oleh perempuan dan anak yang telah terdata tersebut, sejatinya belum menunjukkan keadaan yang sebenarnya. Karena masih banyak kasus kekerasan yang tidak dilaporkan oleh korban, dengan pertimbangan rasa takut, malu karena itu adalah aib, bahkan di dorong rasa apatis/putus asa karena tidak ada jaminan akan ada tindakan yang serius yang di ambil dan di tempuh aparat penegak hukum.

Solusi yang ditawarkan pun juga tidak menyentuh akar masalah. Solusi berupa penyediaan nomor telpon hotline, rumah singgah, pendampingan oleh pihak-pihak terkait sejatinya hanya solusi parsial, hanya memberikan solusi untuk bagian tertentu saja, tanpa bisa memberikan solusi mendasar dan solusi menyeluruh.

Standar yang digunakan untuk mengukur apakah itu termasuk kekerasan ataukah bukan kekerasan,  sejatinya juga itu adalah ukuran yang nisbi/bias/tidak akurat, bahkan berubah-ubah sesuai kondisi dan jaman. Karena akan dinilai sebagai kekerasan karena terdapat paksaan atau tekanan seperti definisi kekerasan dari komnas perempuan tersebut. Lantas bila tidak terjadi kekerasan/paksaan, yakni dilakukan karena kerelaan dirinya sendiri ataupun alasan suka sama suka, apakah itu tidak dinilai sebagai kekerasan?

Inilah akibat dari kehidupan sekuler yang masih kita jalani hingga detik ini. Kehidupan sekuler yang asasnya adalah menyingkirkan peran dan nilai-nilai agama dalam kehidupan pribadi, masyarakat bahkan negara, telah melahirkan terus menerus kerusakan, kekerasan dan malapetaka. Kehidupan sekuler yang ditegakkan oleh negara, telah nyata menunjukkan kegagalan negara memberikan rasa aman dan nyaman bagi perempuan dan anak.

TERIMA KASIH SUDAH MEMBACA LINTASATJEH.COM 

Allah Sang Pencipta manusia dan alam semesta, telah menurunkan islam kepada Rasulullah SAW sebagai pedoman dalam menjalani kehidupan. Islam yang sudah disampaikan dan disebarkan oleh Rasulullah SAW ini, adalah standar kehidupan yang tetap, tidak berubah-ubah sebagaimana Allah berfirman "Apakah hukum jahiliah yang mereka kehendaki? (Hukum) siapakah yang lebih baik daripada (hukum) Allah bagi orang-orang yang meyakini (agamanya)?"(QS. Al-Ma'idah 5: Ayat 50).

Definisi/standar kekerasan dalam islam adalah apa-apa yang melanggar larangan Allah, baik dilakukan oleh orang lain dengan sengaja, ataupun diri pribadi orang tersebut yang melakukannya. Dan inilah standar yang sesuai fitrah manusia. 

Dalam pandangan Islam, perempuan dan anak adalah sosok yang mulia dan wajib dilindungi oleh walinya dan  negara. Untuk itulah Allah Taala sudah memberikan aturan dan support sistem untuk menjaga mereka dari kekerasan.

Di mulai dari kewajiban bagi setiap muslim, untuk paham agamanya dengan cara belajar dan mengkaji islam, maka tumbuh dan kuatlah aqidah islam pada individu-individu muslim, yang ketika melakukan perbuatannya, pasti mempertimbangkan pahala dan dosa. Termasuk ketika dalam keluarga, akan mendidik anak-anak dengan pola pikir (aqliyah islamiyah) dan pola sikap islam (nafsiyah islamiyah), sehingga terbentuk kepribadian islam dalam jiwa mereka. Yakni memahami dan menyadari diri sebagai hamba Allah, yang harus terikat kepada perintah-perintah Allah, dan menjauhi larangan-NYA. Semisal dalam pergaulan, menutup aurot, menjaga kehormatan, tidak berdua-duaan dengan lelaki yang bukan mahrom dan lain sebagainya.

Masyarakat pun juga memiliki peran yang penting dalam menjaga suasana keimanan, karena masyarakat menjalankan fungsi kontrol yakni amar ma'ruf nahi munkar. Perasaan masyarakat suka dan sepakat dengan perbuatan yang sesuai dengan perintah Allah, dan mereka membenci perbuatan maksiat, baik maksiat yang dilakukan seseorang kepada orang lain, ataupun perbuatan maksiat yang dilakukan oleh individu-individu.

Negara dalam hal ini adalah para pemangku kebijakan, para penguasa, adalah pihak yang utama dan terdepan dalam memberikan rasa aman, kenyamanan dan perlindungan kepada setiap warganegaranya. Sebagaimana Rasulullah SAW bersabda "Imam adalah Raa'in (pengurus rakyat) dan dia bertanggungjawab atas pengurusan rakyatnya" (HR. Al-Bukhari). Negara wajib menjadikan aqidah islam sebagai asas sistem pendidikan islam, menjadikan pemikiran-pemikiran islam sebagai mata ajar di setiap jenjang pendidikan. Sistem pendidikan islam, meniscayakan melahirkan generasi pemimpin dan peduli kepada lingkungan sekitarnya, apabila terdapat pelanggaran aturan-aturan Allah.

Sistem ekonomi islam yang diterapkan secara kaffah, juga menjadi penopang yang hakiki, karena telah menetapkan laki-laki/suami/ayah sebagai pencari nafkah, dan membuka lapangan pekerjaan bagi setiap laki-laki baligh. Sehingga wanita/ibu fokus pada peran utamanya sebagai pendidik generasi.

Sistem sanksi berbasis islam akan memberikan solusi yang tuntas, karena sanksi dalam islam bertujuan sebagai jawabir (penebus dosa di akhirat) dan zawajir (pencegah/pereventif) sehingga akan menutup bahkan menghilangkan aktifitas kekerasan baik yang dilakukan seseorang kepada orang lain maupun invidu pribadi sebagai pelakunya. Sanksi akan diputuskan oleh qadhi/hakim negara, yang memutuskan berdasarkan hasil ijtihadnya, yang sesuai dengan hukum syara.

Pengelolaan dan kontrol kepada teknologi, juga dilakukan dengan basis islam. Yakni teknologi adalah wasilah/sarana yang mempermudah urusan masyarakat. Hukumnya adalah mubah/boleh, bila tidak ada dalil yang mengharomkannya. Era digitalisasi berbasis islam, akan digunakan maksimal untuk menyebarkan dakwah islam, pemikiran-pemikiran islam, mendukung penelitian/ilmiah, dan tidak akan membiarkan pemikiran/ide hingga tayangan/adegan/tontonan yang bertentangan dengan islam.

Keseriusan atas semua hal ini adalah buah dari kesadaran islam politik yang diterapkan oleh institusi negara dan para penguasanya, yang menyadari betul peran dan posisi sebagai hamba Allah yang harus tunduk, dan menerapkan islam politik secara kaffah dalam kehidupan, sebagaimana firman Allah SWT "Dan sekiranya penduduk negeri beriman dan bertakwa, pasti Kami akan melimpahkan kepada mereka berkah dari langit dan bumi, tetapi ternyata mereka mendustakan (ayat-ayat Kami), maka Kami siksa mereka sesuai dengan apa yang telah mereka kerjakan" (QS. Al-A'raf 7: Ayat 96).

Wallahu'alam bisshowwab

Penulis: Lisa Oka Rina (Pemerhati Kebijakan Publik) 
Komentar

Tampilkan

Terkini