WACANA Kabupaten Berau, Provinsi Kalimantan Timur (Kaltim) bergabung ke wilayah Provinsi Kalimantan Utara masih menuai pro dan kontra. Ini terungkap dari hasil kajian terbaru Universitas Borneo Tarakan (UBT) bersama beberapa akademisi lain dari perguruan tinggi di Kalimantan Utara.
Kajian dilakukan dengan cara menganalisis kelayakan penggabungan Kabupaten Berau ke Provinsi Kalimantan Utara, berdasarkan survei terhadap pemangku kepentingan dan masyarakat. Kemudian menganalisis kemungkinan penggabungan Kabupaten Berau ke Kalimantan Utara, sesuai dengan indikator dalam PP No. 78 Tahun 2007 tentang Tata Cara Pembentukan, Penghapusan, dan Penggabungan Daerah (Skoring).
Hasil kajian teknis menyebutkan jika dari hubungan antar faktor, khususnya investasi dan indikator makro lainnya, dalam jangka panjang penggabungan Berau ke Kalimantan Utara masih dikategorikan layak.
Disimpulkan pula, dari sejumlah pihak yang disurvei, mulai dari kalangan dewan, akademisi, Organisasi Perangkat Daerah (OPD) dan tokoh masyarakat Kalimantan Utara dan Berau, sebagian responden menyetujui, dan sebagian lagi tidak setuju dengan berbagai alasan.
Rencana penggabungan ini tujuan utamanya adalah untuk menyejahterakan masyarakat. Baik kemajuan di bidang ekonomi, politik, sosial budaya dan ketahanan. (Sumber Tribunkaltim.co 07/11/2023)
Kapitalisme Sumber Masalah
Patut dipertanyakan apakah dengan penggabungan ini tujuan kesejahteraan dapat tercapai? Kesejahteraan akan diraih jika rakyat dapat memenuhi kebutuhan material, spiritual dan sosialnya secara layak dan mampu mengembangkan diri sehingga dapat melaksanakan fungsi sosialnya. Pada faktanya masih banyak warga yang berpenghasilan rendah bahkan tidak memiliki pekerjaan tetap, pendidikan rendah akibat biaya yang mahal, tidak memiliki tempat tinggal dan tidak terpenuhinya standar gizi minimal.
Tentu saja hal itu disebabkan oleh sebuah sistem kapitalisme. Sistem ekonomi yang memberikan kebebasan penuh pada semua orang untuk melakukan kegiatan ekonomi untuk memperoleh keuntungan sehingga sumber daya alam dan energi yang banyak dikuasai dan dikelola oleh pemilik modal besar yaitu pihak asing, aseng dan swasta sedangkan masyarakat hanya menjadi buruh atau pekerja.
TERIMA KASIH SUDAH MEMBACA LINTASATJEH.COM
Negara yang memiliki kekuasaan hanya berfungsi sebagai regulator antara para kapital dengan rakyat. Jadilah rakyat di negeri yang kaya raya ini hidup sedemikian sengsara. Mereka harus membeli semua hal yang sejatinya merupakan hak milik mereka dengan harga yang sangat mahal. Sementara kebanyakan dari mereka daya belinya sangat rendah akibat didera oleh kemiskinan struktural.
Islam Sistem Shahih
Negara seharusnya bertanggung jawab atas kesejahteraan rakyatnya. Hal ini berhasil diwujudkan dalam peradaban Islam sejak pertama yang dimulai dibangun oleh Rasulullah SAW kemudian dilanjutkan oleh para khalifah, selama 13 abad lebih, mampu menyejahterakan sampai ke level individu.
Islam mengukur kesejahteraan hanya dengan melihat kondisi masing-masing orang dalam negara apakah kebutuhan pokoknya terpenuhi atau tidak. Sistem ekonomi Islam mengatur soal mekanisme kepemilikan, pengelolaan, dan pengembangan kepemilikan, mengatur soal sistem moneter yang antikrisis karena berbasis pada emas dan perak, serta antiriba yang hari ini justru menjadi biang kerusakan.
Salah satu contohnya, sistem ekonomi Islam menetapkan seluruh sumber daya alam dan energi yang jumlahnya melimpah ruah adalah milik seluruh rakyat yang wajib dikelola oleh negara untuk dikembalikan manfaatnya kepada rakyat. Haram bagi negara menyerahkan kepemilikannya kepada individu, apalagi kepada asing.
Belum lagi sumber-sumber keuangan negara di dalam Islam tak hanya berasal dari hasil pengelolaan sumber daya alam saja. Ada juga sumber-sumber syar’i lainnya seperti dari ganimah, fay’i, kharaj, jizyah, rikaz, dan sebagainya yang jumlahnya juga melimpah ruah. Juga kepemilikan negara dan zakat yang pengeluarannya diatur oleh syarak.
Tidak heran jika problem kemiskinan dalam sejarah peradaban Islam tak pernah ditemukan sebagai sebuah fenomena. Kemiskinan terjadi sebagai sebuah kasus yang penyebabnya bukan karena kebijakan struktural, tetapi karena kelalaian penerapan hukum oleh sebagian kecil penguasa atau karena faktor bencana alam.
Dalam sistem Islam sebagai sistem yang shahih (benar) negara benar-benar hadir sebagai pengayom rakyatnya. Bagaikan seorang ayah, negara atau penguasa mengurus dan menjaga seluruh rakyatnya dengan penuh kasih sayang, tanpa berhitung jasa, apalagi keuntungan. Segala bentuk pelanggaran atau kezaliman yang muncul dari kerakusan manusia, tercegah dengan sendirinya melalui penerapan sistem sanksi Islam.
Oleh karena itu, sudah saatnya umat kembali kepada sistem Islam agar problem-problem kesejahteraan sosial, bahkan krisis multidimensi lainnya bisa segera diselesaikan secara tuntas dari akar hingga ke cabang. Insya Allah, tidak hanya umat Islam yang akan beroleh kebaikan, tetapi umat secara keseluruhan, bahkan semua makhluk semesta alam.
Allah SWT berfirman:
“Dan sekiranya penduduk negeri beriman dan bertakwa, pasti Kami akan melimpahkan kepada mereka berkah dari langit dan bumi, tetapi ternyata mereka mendustakan (ayat-ayat Kami), maka Kami siksa mereka sesuai dengan apa yang telah mereka kerjakan.” (TQS Al-A’raf: 96).
Wallahu 'alam bishawab
Penulis: Leha (Pemerhati Sosial)