-->

Pulau Rempang Belum Selesai, Berikut Tanggapan Kritis Walhi, Ombudsman, KontraS, NCW, dan Komnas HAM

01 Oktober, 2023, 14.40 WIB Last Updated 2023-10-01T07:40:47Z

LINTAS ATJEH | JAKARTA - Rencana pemerintah pusat untuk mendesain Pulau Rempang sebagai The New Engine of Indonesia’s Economic Growth menuai polemik. Ribuan warga yang terancam digusur permukimannya gara-gara proyek ini menolak direlokasi. Bentrok antara aparat dan masyarakat setempat pun pecah pada awal September lalu.
Pulau Rempang dikembangkan menjadi kawasan industri, perdagangan, hingga pariwisata terintegrasi bernama Rempang Eco City. Pengembang proyek ini, PT Makmur Elok Graha (MEG), pada tahap pertama menggandeng Xinyi Group. Investor asal Cina itu bakal membangun fasilitas hilirisasi pasir kuarsa. Nilai investasinya sebesar Rp 175 triliun.

TERIMA KASIH SUDAH MEMBACA LINTASATJEH.COM

Pemerintah dituding melakukan intervensi dalam upaya melancarkan proyek strategis nasional atau PSN ini. Meski rencana relokasi pemukiman warga dibatalkan dan hanya “digeser”, tetapi Rempang Eco City tetap digegas. Sejumlah organisasi aktivis turut menanggapi dan membela masyarakat terdampak akibat kasus ini.

1. Walhi Indonesia

Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) Indonesia menyatakan pemerintah berpeluang rugi dalam investasi Pulau Rempang. Hal ini diungkapkan oleh Manager Kampanye Pesisir dan Laut Walhi Indonesia Parid Ridwanuddin. Kata dia, selama ini pemerintah hanya bicara soal dampak ekonomi yang berpotensi dihasilkan. Namun, tidak menghitung apa yang hilang akibat investasi tersebut.

“Pernahkah pemerintah menghitung kontribusi ekonomi yang dihasilkan warga Pulau Rempang dari sektor perikanan dan sektor-sektor lain di sana?” kata Parid ketika dihubungi Tempo melalui sambungan telepon pada Rabu, 27 September 2023.

Kerugian itu, kata Parid, disebabkan pasir kuarsa yang digunakan untuk industri tersebut akan diambil dari perairan di Kepulauan Riau. Artinya, akan ada penambangan pasir besar-besaran untuk proyek Xinyi Group. Kalau sudah habis, tambang bakal menyisakan kerusakan. Artinya, kata dia, investasi ini merupakan keunggulan ekonomi jangka pendek. Itulah mengapa pemerintah sebenarnya justru akan merugi.

“Kita bangkrut secara sosial, ekonomi, dan ekologi. Kita bukan tumbuh. Apalagi untuk memperbaiki kerusakan alam akibat proyek membutuhkan biaya yang tidak sedikit,” ucapnya.

Parid juga mengomentari ihwal pemerintah yang terkesan tergesa-gesa. Menurutnya, pemerintah memperlakukan proyek tersebut seperti membuat mi instan yang hanya ingin cepat jadi padahal tidak direncanakan dengan matang. Pasalnya, kata dia, proyek bertaraf nasional ini tidak ada analisis mengenai dampak lingkungan atau Amdal-nya.

“Dari proses ini, mengapa kami sebut mie instan, ya karena analisis mengenai dampak lingkungan (Amdal) nggak ada. Kajian lingkungan strategis nggak ada,” ujar Parid

Padahal, menurut Parid, Pulau Rempang tergolong sebagai pulau kecil rentan. Terutama pada perubahan iklim. Kondisi itu, katanya, bisa semakin parah ketika pulau kecil dimanfaatkan untuk pembangunan industri berat. Menurut Parid, mestinya pemerintah melakukan kajian lingkungan sebelum menetapkan Rempang Eco City sebagai PSN.

“Tanpa perizinan tambang pun, kalau ada bencana iklim, dampaknya (bagi pulau kecil) akan luar biasa. Apalagi kalau Rempang dibebani industri berat untuk pengolahan pasir kuarsa,” kata Parid.

2. KontraS

Koordinator Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan atau KontraS Dimas Bagus Arya mengkritik keras tindakan Presiden Joko Widodo atau Jokowi dalam berbagai PSN yang sudah dan tengah berjalan saat ini seperti di Pulau Rempang. Menurut dia, tindakan presiden tak sesuai dengan janji politiknya empat tahun lalu.

Dimas menyatakan konflik di Pulau Rempang hanya merupakan satu dari sekian banyak PSN yang bermasalah dan banyak memakan korban masyarakat. Dalam tiga tahun terakhir, menurut dia, sejumlah PSN lainnya juga mengorbankan masyarakat. Dia mencontohkan konflik Wadas, Jawa Tengah, konflik di Pulau Obi, Maluku hingga konflik agraria dalam pembangunan sirkuit internasional Mandalika di Nusa Tenggara Barat.

“Itu juga memakan banyak korban, melakukan pengusiran, dan kekerasan terhadap masyarakat, itu tidak sejalan dengan apa yang disampaikan oleh Presiden Jokowi tahun 2019,” kata Dimas dalam konferensi pers di Kantor Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM), Kamis, 21 September 2023.

Kedatangan Dimas dan rekan-rekannya ke Komnas HAM itu untuk melakukan audiensi soal konflik Pulau Rempang. Dimas menyatakan KontraS dan sejumlah lembaga swadaya masyarakat lainnya telah melakukan investigasi soal masalah di sana. Mereka menyerahkan laporan temuan awal hasil investigasi tersebut ke Komnas HAM.

“Kami sudah menyampaikan beberapa temuan, juga ada analisis yang berkaitan dengan dimensi hak asasi manusia, dan pengarahan kekuatan lebih dari aparat keamanan serta operasi militer ilegal, kami sudah sampaikan dan diafirmasi oleh pihak Komnas HAM,” terang Dimas seusai menghadiri audiensi.

Dimas menyatakan pihaknya menemukan indikasi kuat terjadinya pelanggaran prosedur dalam penggunaan gas air mata oleh aparat kepolisian. Indikasi itu, menurut dia, terlihat berdasarkan keterangan seorang guru di salah satu sekolah yang menjadi sasaran gas air mata.

“Itu membantah pernyataan dari Kapolda Kepulauan Riau bahwa sudah dilakukan proses-proses secara prosedural terkait dengan penembakan gas air mata,” kata dia.

3. Komnas HAM

Sementara itu, Komisi Nasional Hak Asasi Manusia atau Komnas HAM mengindikasikan terjadinya dugaan pelanggaran HAM dalam serangkaian insiden bentrokan di Pulau Rempang, awal September lalu. Komnas HAM juga mengingatkan terkait dengan penolakan masyarakat Pulau Rempang untuk direlokasi, negara tidak boleh melanggar hak atas tempat tinggal yang layak baik tindakan maupun kebijakan yang diambil baik tingkat lokal maupun nasional.

“Kebijakan negara tidak boleh diskriminatif dan menimbulkan pembatasan tanpa dasar hukum yang sah, eksklusif dan tidak proporsional negara, tidak boleh melakukan relokasi paksa atau forced evictions yang merupakan bentuk pelanggaran HAM,” kata Koordinator Subkomisi Penegakan Komnas HAM Uli Parulian Sihombing dalam konferensi pers di Komnas HAM pada Jumat, 22 Agustus 2023.

Komnas HAM juga menerjunkan tim untuk menginvestigasi dugaan pelanggaran HAM di kawasan Rempang 10 hari pasca terjadinya bentrokan. Dalam investigasinya, Komnas HAM menemukan beberapa selongsong peluru gas air mata di atap dan di dekat pekarangan Sekolah Dasar Negeri 024 Galang, salah satu lokasi yang terkena dampak tembakan gas air mata saat bentrokan antara aparat dan masyarakat di kawasan Jembatan IV Barelang.

Berdasarkan temuan tersebut, Komisioner Mediasi Komnas HAM, Prabianto Mukti Wibowo mengatakan pihaknya akan menanyakan ke kepolisian dan menyelisik apakah tindakan tersebut sesuai atau tidak dengan prosedur operasi standar dalam Peraturan Kepala Kepolisian RI Nomor 1 Tahun 2009. “Perlu dilakukan penyelidikan, apakah tindakan ada unsur pelanggaran atau tidak,” ujar Prabianto dikutip dari Koran Tempo.

Komnas HAM juga menilai ada penggunaan kekuatan aparat yang dianggap berlebihan dalam penanganan konflik di Pulau Rempang. Komisioner Komnas HAM Saurlin P Siagian mengatakan, pihaknya sepakat dengan KontraS yang telah melakukan audiensi dengan masyarakat Pulau Rempang dan menemukan hal yang sama soal penggunaan kekuatan aparat dalam konflik di sana. Belum adanya proses yang mendahulukan sikap masyarakat untuk mengambil keputusan setuju atau tidak bersedia direlokasi, kata dia, juga menambah kuatnya dugaan unsur pelanggaran.

“Kami perlu menelusuri relasi hak sipil dan politik dengan fakta yang terjadi. Serta seperti apa hak-hak ekonomi, sosial, budaya, dan sejarah di sana. Hal itu perlu kami buktikan lebih dulu,” kata Siagian.

Siagian mengatakan Komnas HAM juga telah meminta keterangan langsung dari masyarakat Desa Sembulang, Desa Dapur 6 dan Pantai Melayu. Berdasarkan keterangan yang didapat, dia mengatakan warga merasa terintimidasi dan tak pernah menandatangani persetujuan rencana relokasi. Proses sosialisasi door-to-door oleh BP Batam dan Tim Satgas Terpadu ke rumah-rumah dengan melibatkan polisi dan TNI membuat warga merasa terintimidasi.

4. Nasional Corruption Watch

Nasional Corruption Watch mendorong pemerintah menunda realisasi proyek Rempang Eco City. Menurut Ketua Umum Nasional Corruption Watch, Hanifa Sutrisna, proyek ini berpotensi menimbulkan konflik sosial dan mengganggu stabilitas keamanan

“Pak Jokowi masih ada waktu hingga Oktober 2024 untuk merealisasikan PSN di Pulau Rempang itu, kenapa harus dipaksakan sebelum Pemilu?” ujar Hanifa dalam konferensi pers di Sekretariat DPP NCW, Jakarta pada Rabu, 27 September 2023.

Ia mengklaim bahwa pemaksaan proyek ini dapat dimanfaatkan oleh pihak-pihak asing yang menginginkan situasi tidak kondusif menjelang pemilu 2024. Selain itu, Hanifa menyoroti berbagai potensi korupsi yang terjadi dari Proyek Rempang Eco-City. Mulai dari jalannya kesepakatan investasi hingga pembebasan lahan milik warga. Meskipun, data-data terkait dugaan korupsi tidak dipaparkan secara detail.

“Pengaduan masyarakat mengatakan bahwa tidak semua dari lahan-lahan yang diganti itu benar-benar diganti dengan layak,” kata Hanif.

5. Ombudsman RI

Anggota Ombudsman RI Johanes Widijantoro mengatakan janji kesejahteraan masyarakat Pulau Rempang lebih baik dengan adanya Rempang Eco City belum bisa dilihat secara konkret. Salah satunya soal penyerapan tenaga kerja. Johanes menuturkan, mayoritas masyarakat Pulau Rempang berprofesi sebagai nelayan. Karena itu, menurutnya, tidak semudah itu mereka bisa terlibat dan diperkerjakan dalam industri proyek Rempang Eco City.

“Saya pun nggak bisa menjawab bahwa itu menciptakan sekian lapangan pekerjaan. Pertanyaannya juga, siapa yang nanti bekerja di situ?” kata Johanes ketika ditemui di Kantor Ombudsman pada Rabu, 27 September 2023.

Tak Cuma jaminan kesejahteraan yang belum konkret, Johanes menyoroti upaya relokasi warga demi terealisasinya proyek strategis nasional ini. Menurut Johanes, memindahkan masyarakat dari tempat tinggal dan kehidupan yang sudah dijalani puluhan tahun bukan perkara mudah dan sederhana. Sebab, hal itu sama saja dengan mencabut keberadaan habitat masyarakat yang sudah turun-temurun.[tempo.co]


 

Komentar

Tampilkan

Terkini