-->

Mengkritisi Pepres No 58 Tahun 2023: Menguatkan atau Melemahkan Esensi Beragama?

11 Oktober, 2023, 19.36 WIB Last Updated 2023-10-11T12:36:53Z
PRESIDEN RI, Joko Widodo (Jokowi) menerbitkan Peraturan Presiden (Perpres) RI Nomor 58 Tahun 2023 tentang Penguatan Moderasi Beragama untuk memperkuat pemahaman dan esensi ajaran beragama dan kepercayaan dalam kehidupan bermasyarakat. Aturan tersebut berlaku mulai 25 September 2023.  

Salah satu di antara beberapa pasal disebutkan bahwa penguatan moderasi beragama dilaksanakan untuk penguatan cara pandang, sikap, dan praktik beragama secara moderat untuk memantapkan persaudaraan dan kebersamaan di kalangan umat beragama.  

Ketentuan itu juga bertujuan sebagai penguat harmoni dan kerukunan umat beragama, penyelarasan relasi cara beragama dan berbudaya, peningkatan kualitas pelayanan kehidupan beragama, serta pengembangan ekonomi umat dan sumber daya keagamaan.

Perpres tersebut juga mencantumkan penguatan moderasi beragama diselenggarakan oleh pemerintah pusat dan pemerintah daerah secara terencana, sistematis, koordinatif, kolaboratif, dan berkelanjutan. (TBNews.co, 29/9/2023)

Demikianlah gambaran Pepres penguat moderasi beragama. Moderasi beragama terus diaruskan, termasuk dalam dunia pendidikan. Kini pemerintah kembali membuat Pepres dengan tujuan menguatkan moderasi beragama agar esensinya kuat dan tersistem dari pusat hingga daerah. Namun, benarkah esensi beragama akan kuat dengan moderasi beragama? 

 Moderasi Melemahkan Akidah

Sejak moderasi diaruskan tidak dapat dipungkiri di dalam masyarakat menimbulkan keresahan dan perpecahan, khususnya di kalangan umat Islam. Ide ini menyerukan semua agama sama dan menyerukan untuk membangun Islam yang bersifat terbuka, toleran terhadap ajaran agama lain, dan menyusupkan paham pluralisme. 

Ide moderasi Islam pada dasarnya bagian dari rangkaian proses sekularisasi pemikiran Islam ke tengah umat. Selain itu, mengarah pada deideologisasi Islam, yakni memandulkan Islam sebatas ajaran ritual saja sehingga esensi beragama dalam kehidupan hanya sebatas simbol bukan penerapan aturan Islam secara kaffah yang diterapkan dalam kehidupan.

Dapat dikatakan ide moderasi beragama ini diusung oleh pihak yang tidak menghendaki perubahan ke arah Islam yang esensial. Istilah moderasi beragama ini sengaja di-blow-up sebagai tandingan dari ekstremisme atau radikalisme. Stigma radikal, stigma intoleran, stigma fundamentalis, stigma ekstremis ditujukan kepada kalangan kaum Muslim yang mencoba untuk menaati agamanya. Padahal stigma tersebut hanya dibuat-buat, sebagai tandingan lawan dibuatlah Islam moderat.

TERIMA KASIH SUDAH MEMBACA LINTASATJEH.COM 

Islam moderat bagi mereka tidak keras dalam beragama. Maka jika ada orang yang misalnya mengampanyekan tolak pemimpin kafir itu disebut sebagai kaum radikal, orang yang giat mencegah kemungkaran dianggap sebagai intoleran, mereka yang memperjuangkan syariat Islam disebut sebagai ekstrem radikal, mereka yang menolak apa yang mereka istilahkan sebagai hak-hak L68T dianggap sebagai kaum intoleran. Padahal itu semua perkara yang asli merupakan ajaran Islam yang memang kita harus tegas di dalamnya.

Moderasi beragama dianggap sebagai model terbaik membangun kerukunan dalam kemajemukan di negeri. Sungguh disayangkan jika kita sebagai umat Islam terjebak dengan istilah asing yang bukan dari khazanah Islam. Akhirnya dari istilah moderasi beragama dipraktikan dengan kebolehan adanya acara doa bersama atau lintas agama, dialog antar umat beragama, perayaan natal bersama, bahkan perkawinan beda agama.

Demikianlah pelemahan akidah atau esensi beragama melalui penguatan moderasi beragama. Musuh atau penjajah tahu kelemahan umat Islam, cukup dijauhkan dari Islam dan esensinya terutama Islam maka mereka akan terus menjajah kaum muslim baik pengerukan SDA, SDM bahkan pemikiran kaum muslim agar kita tidak menyadari esensi Islam politik yakni diterapkannya dalam kehidupan.

 Esensi Islam pada Penerapan

Memang benar bahwa Islam memerintahkan sikap proporsional (tawâzun) dan sedang (tawassuth). Yaitu tidak bersikap ifrâth (berlebihan, melampaui batas) dan juga tidak tafrîth (meremehkan, meninggalkan). Namun moderasi yang dimaksud di atas tadi adalah berbeda. Bukan sikap proporsional dan sedang dalam beragama, melainkan mengajak kepada paham liberalisme dan sekularisme.

Sejatinya moderasi saat dikuatkan adalah sikap tafrîth (meremehkan, meninggalkan) esensi Islam itu sendiri. Contoh sikap proporsional dalam masalah khilafah, adalah tidak ifrâth alias berlebihan dengan menganggapnya sebagai bagian dari rukun Iman, sekaligus juga tidak tafrîth atau meremehkan dengan mengingkari dan meninggalkan kefardhuannya. Namun dengan adanya moderasi maka Khilafah hanya dianggap sejarah bahkan mau dihilangkan dari khazanah fiqih.  

Maka dengan demikian jelaslah bahwa moderasi yang dimaksud bukan sikap tawazun dan tawassuth yang dianjurkan Islam, melainkan penjerumusan kepada paham liberalisme dan sekularisme. Muatan beracun inilah yang sedang disuntikkan kepada umat Islam saat ini.

Setiap muslim harus menyadari bahwa bersikap moderat sesungguhnya menyimpang dari Islam. Tanpa harus digalakkannya moderasi beragama sejarah Islam selama berabad-abad telah membuktikan betapa besarnya toleransi Islam dan kaum muslim terhadap pemeluk agama lain. 

Dengan seiringnya dakwah politis semoga umat muslim menyadari bahaya moderasi beragama. Moderasi beragama perlu dicounter agar tidak semakin melemahkan akidah umat dan esensi Islam sebenarnya. Semoga umat Islam bisa bangkit kembali dengan esensi Islam yakni diterapkannya dalam kehidupan. Wallâhu a’lam

Penulis: Rahmi Surainah, M.Pd (Alumni Pascasarjana Universitas Lambung Mangkurat Banjarmasin)
Komentar

Tampilkan

Terkini