-->

Kemiskinan Menjerat, Pekerja Anak Marak

27 Oktober, 2023, 10.31 WIB Last Updated 2023-10-27T03:31:26Z
PEMERINTAH Provinsi Kalimantan Timur (Pemprov Kaltim) berupaya menurunkan jumlah pekerja anak melalui strategi Desa Ramah Perempuan dan Peduli Anak (DRPPA), sehingga jumlah pekerja anak di provinsi ini yang mencapai 3,11 persen ke depannya bisa terus menurun (Antaranews.com, 18/10/2023).

Berdasarkan data Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas) BPS tahun 2022, Provinsi DKI Jakarta menjadi daerah dengan persentase pekerja anak terendah di Indonesia yaitu 0,41 persen, sedangkan Provinsi Kaltim berada di urutan enam dengan persentase pekerja anak di Indonesia dengan angka 1,17 persen.

Kepala Dinas Kependudukan, Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (DKP3A) Provinsi Kaltim Noryani Sorayalita mengatakan, meski  terjadi tren penurunan, namun semua pihak harus terus melakukan strategi melalui kebijakan dan program perlindungan anak, termasuk pengembangan model DRPPA sebagai pendekatan untuk pencegahan pekerja anak. 

 Kapitalisme Penyebab Anak Hidup Sengsara

Kasus pekerja anak masih menjadi PR besar bagi Indonesia termasuk Kaltim. Hingga kini, banyak anak di bawah umur yang bekerja dengan alasan himpitan ekonomi. Sehingga kemiskinan secara ekonomi telah banyak menciptakan terjadinya pekerja anak. Orang tua “terpaksa” memobilisasi anak-anaknya sebagai pekerja untuk membantu ekonomi keluarga. Pada titik inilah munculnya kerawanan, sebab anak-anak bisa berubah peran dari “sekadar membantu” menjadi pencari nafkah utama.

Kondisi ini tentu sangat menyedihkan. Apalagi masalah pekerja anak terjadi dalam waktu yang sudah lama dan jumlahnya terus meningkat. Ditambah kemiskinan yang tak kunjung mereda, membuat hidup rakyat hingga anak-anak semakin sengsara. Sungguh ironis, padahal di Indonesia sendiri telah memiliki peraturan terkait perlindungan hak anak yang tertuang dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2022 pasal 13 ayat 1 tentang perlindungan anak sebagaimana telah diubah oleh Undang-Undang Nomor 35 tahun 2014 tentang perubahan Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan anak.

UU ini menyatakan bahwa setiap anak selama dalam pengasuhan orang tua, wali, atau pihak lain yang bertanggung jawab atas pengasuhan, berhak mendapat perlindungan dari perlakuan diskriminasi, eksploitasi baik secara ekonomi maupun seksual, penelantaran, kekejaman, kekerasan, penganiayaan, ketidakadilan, dan perlakuan salah lainnya.

TERIMA KASIH SUDAH MEMBACA LINTASATJEH.COM 

Namun sayangnya, undang-undang tersebut hanya isapan jempol semata. Eksploitasi anak tetap saja marak terjadi. Hal ini semakin menunjukkan bahwa berbagai upaya yang sudah dilakukan belum mampu mencegah dan memberantas pekerja anak. Termasuk program DRPPA, tidaklah cukup untuk menurunkan angka pekerja anak jika kemiskinan pun belum mampu diatasi. Permasalahan tersebut jelas membutuhkan solusi yang mampu menyentuh akar masalah dan melibatkan semua pihak. 

Hanya saja, solusi tersebut tidak akan pernah ditemukan dalam sistem  kapitalisme yang diadopsi oleh negeri ini untuk mengatur kehidupan masyarakat. Sistem ini justru menyuburkan berbagai persoalan kehidupan, termasuk yang menimpa anak. Kapitalisme menjadikan anak sebagai komoditas yang dapat dieksploitasi demi keuntungan materi. Tak heran orang akan mengejar materi dengan cara apa pun, termasuk dengan mempekerjakan anak-anak mereka.

Maka, semakin jelaslah bahwa sistem kapitalisme telah gagal mewujudkan  perlindungan dan kesejahteraan anak. Perlindungan anak hanyalah slogan kosong. Anak-anak tetap saja terpuruk dalam penderitaan meskipun sudah ada  UU Perlindungan Anak, dan sebagainya. Karena itu, tidak layak berharap pada kapitalisme jika ingin mewujudkan rasa aman dan sejahtera pada anak. 

 Perlindungan Anak dalam Islam

Sesungguhnya, Islam adalah satu-satunya harapan untuk mewujudkan rasa aman dan sejahtera pada anak. Dalam Islam terdapat tiga benteng perlindungan terhadap anak agar terpenuhi hak dan kewajibannya. Pertama, benteng pertahanan keluarga. Keluarga adalah perisai yang langsung berhubungan dengan anak-anak. Di tangan keluarga pendidikan anak-anak pertama kali diletakkan. 

Allah Swt. Berfirman, “Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu; penjaganya malaikat-malaikat yang kasar, keras, dan tidak mendurhakai Allah terhadap apa yang diperintahkan-Nya kepada mereka dan selalu mengerjakan apa yang diperintahkannya.” (QS At-Tahrim: 6).

Berdasarkan ayat di atas, Allah memerintahkan kepada orang tua untuk menjaga anak-anak mereka. Mulai dari menanamkan akidah Islam, memberikan pendidikan yang baik, mengingatkan dengan cara yang makruf apabila berbuat salah, hingga menjamin pemenuhan kebutuhan primer layaknya manusia dewasa, yakni berupa sandang, pangan, dan papan. 

Kedua, masyarakat sebagai benteng pertahanan bagi anak. Masyarakat bertugas melakukan amar makruf nahi mungkar. Jika ada kemaksiatan atau tampak ada potensi munculnya kejahatan, masyarakat tidak boleh tinggal diam dan harus sigap mengingatkan. Selain itu, masyarakat juga berkewajiban memberikan koreksi kepada penguasa manakala salah dalam mengambil kebijakan. Masyarakat Islam memiliki pemikiran, perasaan, dan peraturan yang khas. Suka dan bencinya dilandaskan pada Islam. Sehingga, jika ada anak yang diperlakukan tidak sesuai dengan Islam, masyarakat akan langsung bertindak.

Ketiga adalah benteng negara. Tanpa bantuan negara, keluarga dan masyarakat tak akan mampu menjalankan tugasnya dengan maksimal. Negara yang berlandaskan Islam akan menerapkan kebijakan perlindungan anak. Menerapkan sistem ekonomi Islam, misalnya, dapat melindungi keluarga dalam masalah ekonomi di antara dengan menyediakan lapangan pekerjaan bagi laki-laki agar mampu menafkahi keluarga. Ditambah lagi, negara juga akan menerapkan sistem sanksi yang tegas. Selain mampu membuat jera pelaku kejahatan terhadap anak, juga mampu mencegah orang lain melakukan kejahatan serupa.

Demikianlah perlindungan yang diberikan oleh negara Islam terhadap anak. Maka sungguh, pengabaian terhadap  hak anak apalagi sampai membiarkan mereka bekerja pada usia yang masih di bawah umur jelas mengantarkan mereka pada kebinasaan. Karenanya, keselamatan dan kesejahteraan anak hanya akan terwujud ketika aturan Islam diterapkan secara kaffah dalam kehidupan.  Wallahua’lam bish shawab

Penulis: Ita Wahyuni, S.Pd.I (Pemerhati Masalah Sosial)
Komentar

Tampilkan

Terkini