AKHIR AGUSTUS, berita mengejutkan datang dari Komisi Aparatur Sipil Negara (KASN) yang menerima ratusan laporan mengenai kasus perselingkuhan dari kalangan ASN. Dalam periode tahun 2020- 2023 terdapat 172 laporan kasus perselingkuhan. Perselingkuhan yang terjadi di antara sesama ASN atau ASN dengan masyarakat, jumlah ini bisa naik jika diakumulasikan dengan pengaduan sejenis yang di terima oleh Biro SDM dan Kepegawaian Daerah.
Di Kalimantan Timur juga tak luput dari maraknya kasus perselingkuhan ASN. Kepala Inspektorat Daerah (Itda) Provinsi Kalimantan Timur, Irfan Pranata menyampaikan bahwa perselingkuhan antar ASN benar terjadi di lingkungan pemerintahan daerah, baik di Organisasi Perangkat Desa (OPD) maupun di Kabupaten/kota. Hanya saja Irfan Pranata tidak bisa merinci berapa jumlah kasus yang ditangani.
Selain itu, Inspektorat Daerah Kaltim tidak akan memeriksa kasus perselingkuhan tanpa adanya aduan dari istri/ suami yang sah. Meskipun sering mendengar kabar tentang perselingkuhan PNS dari luaran, tetapi tetap saja tidak bisa diambil tindakan jika tidak ada aduan. Berbeda jika terjadi aduan dari pasangannya, maka berbagai sanksi akan menghadang, dari sanksi penurunan pangkat hingga pemecatan dengan tidak hormat. Perselingkuhan termasuk melanggar Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 94 Tahun 2021 tentang Disiplin Pegawai Negeri Sipil.
Pastinya ini bukanlah prestasi, dalam kurun empat tahun terdapat 172 aduan tentang perselingkuhan. Bagi yang tidak mengadukan dengan beragam alasan tentunya bisa jauh lebih banyak lagi. Pada faktanya perselingkuhan tidak hanya berada dalam lingkaran para ASN tetapi juga sudah merata dalam setiap lapisan masyarakat, tanpa memandang status sosial ataupun kekayaan, sudah lama menjalani pernikahan ataupun yang baru menikah. Hanya saja perselingkuhan ASN mejadi menarik karena sesungguhnya mereka adalah pegawai negara yang gaji mereka dibayar oleh negara dari hasil pendapatan negara. Salah satunya dari pajak yang diambil dari masyarakat. selain itu ASN juga terikat dengan aturan yang berlaku.
Maraknya perselingkuhan di kalangan ASN, bermula dari pergaulan sesama teman kantor, Teman Tapi Mesra (TTM) yang akhirnya menjadi gaya hidup. “Persahabatan yang lebih luwes”, bercanda, senda gurau tanpa batas, dan tak jarang pembicaraan bukan lagi tentang pekerjaan tetapi sudah masuk ke ranah pribadi. Bisa jadi awalnya biasa saja tetapi adanya interaksi yang intens membuat semua menjadi berbeda. Inilah pintu awal dari kasus perselingkuhan, adanya pertemuan yang kerap terjadi dan komunikasi tanpa batas pada akhirnya menimbulkan “rasa lebih nyaman” dibanding dengan suami atau istri di rumah.
Di samping itu karena adanya kesempatan yang terbuka untuk dapat berduaan, bisa karena perjalanan dinas, tugas bersama karena tuntutan pekerjaan hingga terjadi pertemuan yang lebih intens di antara dua makhluk berbeda jenis kelamin , baik satu instansi ataupun beda instansi. Maka jika diperhatikan, perselingkuhan yang terjadi baik dari kalangan ASN ataupun masyarakat umum lainnya bermula dari interaksi pergaulan yang tak berarah atau pergaulan yang tidak dibatasi oleh norma agama. Hal itu mengakibatkan pasangan tidak lagi menghargai pernikahan yang sudah dibangun termasuk menghargai dan menghormati pasangan hidup mereka yang sudah terikat dalam sebuah ikatan pernikahan.
Adanya kesempatan tidak akan menjadi peluang jika dalam diri setiap manusia mempunyai alarm tetang hubungannya dengan Sang Pencipta. Lantas apa yang membuat perselingkuhan ini marak terjadi?
Debbie Layton-Tholl mengungkapkan bahwa perselingkuhan yang dilakukan oleh orang-orang yang sudah menikah pada dasarnya bukan karena untuk mencari kepuasan seksual semata. Persentase terbesar (90%) perselingkuhan terjadi karena tidak terpenuhinya kebutuhan emosional pasangan. Jika sampai pada hubungan seksual, maka itu bukanlah yang utama. Perilaku seksual yang sering mewarnai affair ataupun perselingkuhan sering hanya merupakan sarana untuk memelihara dan mempertahankan affair tersebut, bukan menjadi alasan utama.
Apalagi kehidupan sekuler yang tengah dijalani saat ini telah membuka semua hal ini. Sebagaimana diketahui bahwa Indonesia mengadopsi sistem kehidupan sekuler, sistem yang memisahkan antara kehidupan beragama/ beribadah dengan kehidupan keseharian. Di mana agama tidak boleh mengintervensi dalam kehidupan sosial masyarakat.
TERIMA KASIH SUDAH MEMBACA LINTASATJEH.COM
Pemahaman ini sangat berbahaya, manakala seseorang yang mengaku muslim hanya mau terikat dengan hukum Islam dalam perkara ibadah saja tetapi dalam kehidupan keseharian tidak mau memakai hukum Islam. Inilah salah satu akibat bagaimana pernikahan tidak lagi dirasakan sebagai sebuah ibadah tetapi tak lebih sebatas pelegalan dalam hubungan seksual semata. Tidak berbicara tentang hak dan tanggung jawab sebagai suami istri, bagaimana semua berperan dalam menjaga batas-batas pergaulan dengan temannya yang lawan jenis.
Semua itu bisa teratasi jika agama berperan utuh, menyeluruh dan sempurna dalam kehidupan manusia. Adanya aturan agama bukan untuk mengekang tetapi untuk mengarahkan dan menjaga kehormatan manusia itu sendiri termasuk dalam masalah pernikahan.
Islam menganggap bahwa pernikahan adalah ibadah yang memiliki sejumlah tujuan mulia. Maka memahami tujuan itu sangatlah penting agar tidak menjadi aktivitas yang sia-sia atau tak berarah. Tujuan pernikahan untuk mewujudkan keluarga yang mawaddah dan rahmah, yakni terjalinnya cinta kasih dan tergapainya ketenteraman hati (sakinah) (QS ar-Rum: 21); melanjutkan keturunan dan menghindarkan dosa; mempererat tali silaturahmi; sebagai sarana dakwah; dan menggapai mardhatillah.
Islam juga memandang pernikahan sebagai “perjanjian yang berat (mîtsâq[an] ghalîdza)” (QS an-Nisa’ [4]: 21) yang menuntut setiap orang yang terikat di dalamnya untuk memenuhi hak dan kewajibannya. Islam juga mengatur dengan sangat jelas bagaimana hak dan kewajiban suami-istri, orang tua dan anak-anak, serta hubungan dengan keluarga yang lain. Islam memandang setiap anggota keluarga sebagai pemimpin dalam kedudukannya masing-masing.
Selain itu, penting bagi laki-laki dan perempuan untuk menjaga batas pergaulannya. Islam memerintahkan pria dan wanita untuk menutup aurat, menahan pandangannya terhadap lawan jenis, melarang pria dan wanita ber-khalwat, melarang wanita bersolek dan berhias di hadapan laki-laki asing (nonmahram). Islam juga telah membatasi kerjasama yang mungkin dilakukan oleh pria dan wanita dalam kehidupan umum serta menentukan bahwa hubungan seksual antara pria dan wanita hanya boleh dilakukan dalam dua keadaan, yaitu: lembaga pernikahan dan pemilikan hamba sahaya.
Dalam hal poligami, Islam telah menjadikan poligami sebagai sebuah perbuatan mubah (boleh), bukan sunah, bukan pula wajib. Syaikh Taqiyuddin an-Nabhani mengatakan dalam An-Nizhâm al-Ijtimâ’i fî al-Islâm, “Harus menjadi kejelasan, bahwa Islam tidak menjadikan poligami sebagai kewajiban atas kaum muslim, bukan pula suatu perbuatan yang mandub (sunah) bagi mereka, melainkan sesuatu yang mubah, boleh mereka lakukan jika mereka berpandangan demikian.”
Faktanya poligami justru banyak ditentang, sementara perselingkuhan dibiarkan merajalela. Hal ini disebabkan karena banyaknya praktik poligami yang salah di tengah-tengah masyarakat terjadi. Tetapi ini seharusnya tidak boleh menjadi alasan untuk menolak poligami. Sebab, realitas itu terjadi karena praktik poligami tidak dijalankan sesuai dengan tuntunan Islam.
Pada dasarnya perselingkuhan sama saja dengan perzinaan. Dalam Islam seseorang yang berselingkuh/ berzina mendapatkan hukuman yang sangat berat. Jika belum menikah, pelakunya harus dicambuk 100 kali dan untuk yang sudah menikah harus dirajam sampai mati. Hukuman yang berat itu pastinya akan menjadi pekajaran bagi pelaku atau orang lain yang melihatnya untuk tidak melakukan hal yang sama. Jika hukuman ini diterapkan, seseorang akan berpikir panjang sebelum melakukan perselingkuhan.
Demikianlah Islam mengatur pergaulan sehingga perselingkuhan tidak akan terjadi. Wallahu'alam...
Penulis: Irma Ismail (Penulis dan Aktivis Muslimah Balikpapan)