-->

Kehidupan Sekuler Melahirkan Individu Sadis

20 September, 2023, 21.53 WIB Last Updated 2023-09-20T14:53:34Z
KASUS KEKERASAN dalam rumah tangga atau yang biasa disingkat menjadi KDRT, adalah kasus yang  belakangan ini sering  kita dengar, baik di media sosial ataupun terjadi disekitar kita. Dan ini tidak hanya terjadi pada pasangan suami-istri, bahkan  kekerasan dilakukan oleh orangtua ke anaknya sendiri, anak ke orang tuanya sendiri . Kekerasan ini bisa berupa kalimat verbal dan juga fisik, dari  yang ringan hingga berat seperti pemukulan, pencekikan, atau bahkan berujung kematian .

Seperti yang baru saja terjadi , di Bekasi seorang suami bernama Nando (25 tahun) tega membunuh istrinya Mega Suryani Dewi (24) di rumah kontrakannya pada Kamis (7/9/2023) sekitar pukul 22.00 WIB. Nando membunuh istrinya karena kesal ketika ditanya masalah uang belanja. Kapolsek Cikarang Barat AKP Rusna Wati di Mapolsek Cikarang Barat, Kabupaten Bekasi menjelaskan bahwa sebelum melakukan pembunuhan, pelaku dan korban sempat cekcok masalah ekonomi. Dan kasus serupa juga terjadi di Singkawang, Ciamis dan masih banyak lagi. Mirisnya kejadian ini tidak hanya terjadi di kota-kota besar, tetapi juga di desa bahkan di tempat terpencil.

Maraknya suami atau ayah menganiaya istri dan anaknya menunjukkan hilangnya fungsi qawammah (kepemimpinan) laki-laki. Padahal, saat ijab qabul itu terucap dari lisan sang suami, ia telah diserahkan tanggung jawab besar oleh Allah Swt. yaitu menjadi pemimpin keluarganya. Namun demikian, KDRT bukan hanya dipicu oleh hilangnya peran qawammah pada laki-laki, melainkan juga dipicu oleh fungsi ummun wa rabbatul bait pada sang istri. peran menjalankan fungsi sebagai ibu  yang mendampingi penuh anak-anaknya tentu menjadi makin berat apabila turut menjadi “tulang punggung”. Begitu pun fungsinya sebagai rabbatul bait (manajer rumah tangga), tenaga dan pikirannya sudah habis di luar rumah sehingga ia absen dalam pengaturan rumah.

Tidak bisa dipungkiri, beban  ekonomi yang sangat terpuruk bisa menyebabkan keretakan rumah tangga makin besar. Beban hidup yang jauh dari kata sejahtera menyebabkan banyak hak dari anak dan istri tidak tertunaikan. Bukankah ini semua bisa mengantarkan pada keretakan rumah tangga? Sang istri tentu menanggung beban yang amat berat. Sudahlah dituntut membantu mencari nafkah, mereka juga dituntut untuk mengatur rumah dan membimbing anak-anak.

Padahal, seorang ibu seharusnya menjadi sandaran semua anggota keluarganya. Para ayah yang lelah bekerja akan merasa nyaman saat bertemu istrinya. Begitu pun anak-anaknya, senantiasa mendapatkan kasih sayang yang kelak menjadi bekal dalam mengarungi kehidupan mereka. Namun, lagi-lagi, fungsi ini hilang.

Ketaatan para istri bisa luntur sebab merasa telah menjadi “tulang punggung” keluarga. Bukankah ini pula yang mengantarkan pada tingginya KDRT? Para istri yang tidak bekerja pun bukan berarti aman dari KDRT. Berbagai tuntutan yang begitu besar untuk kenyamanan hidup juga menyebabkan para suami stres hingga berujung KDRT.

Namun demikian, kondisi yang amat memprihatinkan ini bukan semata lahir dari fungsi suami atau istri yang buruk. Ini bukanlah problem individu, melainkan sistemis. Misalnya saja, sulitnya ayah untuk bekerja dan kemudahan ibu bekerja. Bukankah ini lahir dari sistem kapitalisme yang menginginkan buruh murah? Kita ketahui, upah perempuan memang jauh lebih rendah dari laki-laki.

Upaya mendorong para ibu untuk keluar rumah juga lahir dari feminisme, paham yang lahir dari sudut pandang sekularisme. Walhasil, ayah dan ibu tidak mengenal agama, akhirnya mengelola rumah tangga tanpa aturan agama, Jadilah KDRT makin marak.

Oleh sebab itu, ini bukanlah problem individu, melainkan problem sistemis yang membutuhkan solusi sistemis pula. Sementara itu, sistem sekuler kapitalisme telah terbukti gagal menyelesaikan KDRT, bahkan sistem ini sejatinya merupakan biang terjadinya seluruh problematik rumah tangga, termasuk KDRT.

Kapitalisme lahir dari asas sekuler yang memisahkan kehidupan agama dan dunia , dan hal ini mengakibatkan kaum muslim kehilangan gambaran nyata tentang kehidupan Islam yang sesungguhnya. Akhirnya, posisi Islam yang seharusnya menjadi acuan atau landasan berpikir dan bertingkah laku, digantikan oleh pemikiran sekuler yang telah merasuk kedalam pemikiran dan kehidupan kaum muslim. Akibatnya terjadilah kerapuhan tatanan moral masyarakat yang ada akibat tidak adanya standar baku yang mengatur tingkah laku manusia.

Hal yang berbeda dari Islam yang telah memberikan jawaban tuntas terhadap permasalahan apa pun, termasuk permasalahan kekerasan terhadap perempuan. Islam memandang, penyelesaian terhadap masalah kekerasan terhadap perempuan hanya akan bisa terwujud dengan tiga pilar, yaitu 

TERIMA KASIH SUDAH MEMBACA LINTASATJEH.COM 

Pilar pertama, membentuk individu muslim yang takwa, berkepribadian Islam yang unggul, serta iman, pemikiran, dan jiwa Islamnya kuat.  Akidah Islam menjadi landasan berpikir maupun bertingkah lakunya, halal dan haram menjadi standar hidupnya. Dengan bekal takwanya, seorang muslimah akan menjalankan perannya sebagai pengatur rumah tangga, taat pada suami, melayani suami dan anak-anaknya dengan baik, memakai pakaian sempurna, tidak membiarkan laki-laki asing masuk ke rumahnya, dan sebagainya. Sedangkan laki-laki, sebagai suami akan melaksanakan kewajibannya sebagai pencari nafkah keluarga, melindungi anak dan istri dengan baik, bergaul secara makruf terhadap keluarganya. Alhasil, terjadi kehidupan rumah tangga yang harmonis dan jauh dari kekerasan.

Pilar kedua, kontrol masyarakat. Islam sangat memperhatikan pentingnya hidup berjemaah dan menjaga kesehatan jemaah dengan amar makruf nahi mungkar. Amar makruf yang dilakukan secara menyeluruh, baik di keluarga, lingkungan kaum muslim, organisasi dan jemaah dakwah, serta media-media massa, akan membentuk kesadaran umum di masyarakat bahwa yang diharamkan oleh Allah Swt. dan Rasul-Nya secara mutlak harus dijauhi, semata-mata karena keimanan dan ketakwaan kepada-Nya.

Negara  memastikan bahwa seluruh masyarakat paham dan mengetahui  tentang keharaman tindak kekerasan terhadap orang lain, baik itu menghilangkan nyawa orang lain, pelecehan seksual, pemerkosaan dan sebagainya, serta bahaya yang ditimbulkannya dan azab pedih yang akan ditimpakan oleh Allah kepada kita jika kita melanggar aturan-aturan-Nya. Dengan begitu, masyarakat yang beriman pada Allah akan menjauhkan dirinya dan masyarakat dari semua itu, dan senantiasa memelihara dan memperbaiki kesehatan masyarakat yang rusak, apalagi jika individunya tidak memperhatikan orang lain.

Pilar ketiga, penerapan hukum Islam oleh negara. Negara adalah pelindung warga negaranya. Negaralah yang menjamin terpenuhinya hak-hak warga negaranya berdasarkan aturan Allah dan Rasul-Nya, baik dalam masyarakat maupun keluarga, termasuk jaminan keamanan masyarakat. Di samping itu, negara berperan sebagai pelaksana hukum Islam yang sangat penting dalam menentukan terlaksananya seluruh aturan Allah dan Rasul-Nya. Islam memandang bahwa tindakan kekerasan terhadap siapa pun, baik kepada laki-laki maupun perempuan, anak-anak atau orang dewasa, termasuk tindak kriminal (jarimah) dan pelakunya harus diberi sanksi sesuai kejahatan yang dilakukannya.

Sungguh, sistem Islam yang diterapkan secara sempurna akan mengantarkan pada keberkahan bagi masyarakatnya. KDRT dan seluruh problematik umat manusia bisa selesai, umat pun akan kembali hidup sesuai fitrahnya.  Demikian pula para ayah atau suami, mampu menegakkan fungsi qawwamah dan istri atau ibu mampu menegakkan fungsi ummun wa rabbatul bait. Terciptalah keluarga sakinah mawwadah wa rahmah.

Penulis: Alin Lizia Anggraeni, SE (Pemerhati anak dan umat)
Komentar

Tampilkan

Terkini