DALAM sebuah akun resmi di IG, Duta Damai Kaltim (Unmul) di bawah Pusat Media Damai, menyelenggarakan sebuah seminar dengan tema “Menjalin Persatuan dalam Bingkai Kebhinekaan". Opini tersebut menekankan pentingnya moderasi beragama untuk menjalin persatuan antar umat agama.
Seminar atau diskusi dengan tema moderasi beragama memang tak habis untuk dibahas. Seolah ingin menunjukkan bahwa ada persoalan besar di negeri ini tentang keberagaman agama yang terancam sehingga menimbulkan perpecahan karena tidak ada atau kurangnya toleransi antara umat beragama (mayoritas ke minoritas) hingga munculnya kelompok yang radikal, ekstrimis juga teroris.
Oleh karena itu, arus moderasi beragama terus digaungkan dengan ide pluralismenya yaitu menyamakan semua agama dan tidak boleh ada yang merasa benar sendiri. Sebenarnya ini menggiring opini ke arah tertentu yang dimaui oleh hawa nafsu keserakahan manusia. Ketika disebut moderasi Islam, maka ini sebenarnya menginginkan agar Islam sesuai kemauannya/ kepentingannya.
Moderasi Islam adalah ide turunan dari sekularisme, sebagai nyawa yang akan menjamin kelangsungan hidup dan dengan ekonomi kapitalismenya maka semakin terasa bagaimana kedigdayaan oligarki kapitalisme di muka bumi. Maka jelas siapa saja yang akan menghalangi akan dipandang sebagai sebuah ancaman.
Duta Damai sendiri ini dibuat oleh BNPT (Badan Nasional Penanggulangan Teorisme) dan merupakan agen perdamaian yang akan mendukung aksi damai BNPT di dunia maya dalam menangkal terorisme dan radikalisme. Dan lagi-lagi pembahasan ekstrimisme, radikalisme serta terorisme seolah tak ada habisnya. Dibentuknya BNPT dan sepak terjangnya selama ini memang tidak bisa dipisahkan dari opini yang berkembang bahwa memang semua membidik kepada kaum muslim sebagai orang yang dicap radikal, ekstrimis dan teroris. Tiga istilah ini digunakan oleh barat untuk menimbulkan stigma negatif masyarakat terhadap Islam. Menariknya semua menjadikan “Islam” sebagai tertuduh, sebagai mayoritas yang kurang bertoleransi terhadap minoritas. Karenanya arus ini kencang disampaikan di majelis-majelis taklim, pesantren, rohis sekolah hingga ke kampus.
Semua ini tak lepas dari campur tangan Barat yang mengamati dan menilai bahwa adanya upaya agar umat Islam kembali kepada kemurnian ajaran Islam dengan melaksanakan secara menyeluruh dan sempurna setelah masa di mana Islam mengalami kemunduran. Islam dipandang sebagai sebuah ancaman terhadap barat, ancaman terhadap peradaban dunia modern dan hal ini bisa mengantarkan kepada “Benturan Peradaban (Clash of civilization)”.
Baratpun membuat klasifikasi kelompok umat Islam. Kelompok pertama adalah fundamentalis yaitu kelompok yang dinilai menolak nilai demokrasi dan budaya barat serta berupaya menerapkan hukum Islam yang totalitas dan ekstrem. Kedua, kelompok tradisional yang menginginkan masyarakat yang konservatif, mencurigai moderenitas, inovasi dan perubahan. Ketiga, kelompok moernis yaitu mereka yang ingin dunia Islam menjadi bagian modernitas global dan mereformasi Islam sesuai dengan zaman. Dan yang Keempat, kelompok sekuler yang ingin masyarakat Islam menerima pemisahan antara agama dan negara. Di mana agama dalam lingkup pribadi seperti yang dilakukan oleh dunia barat.
Baratpun mendekati kelompok modernis dan tradisional guna melawan apa yang akan menghalangi sepak terjang mereka yaitu kelompok fundamentalis. Hal ini dilakukan agar kepentingan barat dalam menguasai dunia, khususnya di negeri-negeri muslim agar tetap berjalan melalui tangan lain. Maka dibuatlah “kasta Islam” dalam sudut pandang barat atau sesuai apa yang diinginkan oleh barat.
TERIMA KASIH SUDAH MEMBACA LINTASATJEH.COM
Upaya ini massif dilakukan oleh Barat, melalui program moderasi beragama. Diharapkan warna Islam sesuai dengan apa yang dikehendaki oleh barat. Moderasi beragama adalah cara pandang dalam beragama secara moderat, yakni memahami dan mengamalkan ajaran agama dengan tidak ekstrem, baik ekstrem kanan maupun ekstrem kiri.
Islam Menolak Moderasi
Adanya keberagaman adalah sebuah keniscayaan. Bahkan sejak masa Rasulullah Saw, Khulafaur Rasyidin dan setelahnya yaitu masa dimana Islam menguasai 2/3 dunia dalam sebuah sistem pemerintahan Islam selama kurun waktu lebih kurang 1400 tahun lamanya. Selama itu tidak pernah ada masalah dengan keberagaman dan toleransi. Islam mengatur dan menjelaskan dalam hukum-hukum yang rinci terkait dengan keberagaman dan perbedaan ini.
Meyakini bahwa agama yang kita anut adalah yang benar dan ingin bisa total dalam melaksanakannya sebagai bentuk ketaatan kepada Allah adalah sebuah hal yang wajar dan memang seharusnya begitu karena menyangkut hubungan seseorang dengan Sang Penciptanya. Berislam haruslah kaffah dan tidak boleh dicampur dengan keyakinan agama lain apalagi beribadah dengan cara agama lain.
Islam memastikan bahwa tidak boleh memaksakan apa yang kita sembah kepada orang lain. Islam sudah dari jauh hari menjelaskan ini, seperti tercantum dalam Surah Al-Kafirun ayat 1-6, “Katakanlah (Muhammad), "Wahai orang-orang kafir!. Aku tidak akan menyembah apa yang kamu sembah. Dan kamu bukan penyembah apa yang aku sembah. Dan aku tidak pernah menjadi penyembah apa yang kamu sembah. Dan kamu tidak pernah (pula) menjadi penyembah apa yang aku sembah. Untukmu agamamu, dan untukku agamaku." . Bahkan Islam melarang untuk mencela sesembahan mereka ( Qs Al-An’am:108), melarang untuk memaksa mereka masuk ke dalam Islam (Al Baqarah : 256). Artinya Islam mengakui keberagaman beragama atau Pluralitas, silahkan menjalankan rangkaian ibadah masing-masing. Tetapi Islam mengharamkan Pluralisme yaitu menyamakan semua agama adalah sama.
Hanya saja, frase “Toleransi dan Intoleransi” pada sekarang ini memang disematkan Barat untuk melakukan berbagai propaganda dalam menyerang Islam. Hal ini dilakukan agar kaum muslim tanpa sadar mengikuti pandangan hidup mereka. Melalui wacana toleransi dan radikalisme, Barat menjerat pemikiran kaum muslim untuk semakin jauh dari syariat Islam.
Pemikiran toleransi sendiri lahir di kalangan Nasrani karena pengaruh perang agama di Eropa yang telah memakan ribuan korban orang Nasrani. Ini adalah akibat konflik berkepanjangan Katolik dengan Protestan. Toleransi bukan pemikiran yang dilekatkan setelah Islam. Ketika Islam menyatakan “tidak ada paksaan dalam agama”, ini menunjukkan dengan sangat jelas pentingnya tasâmuh (toleransi) yang hendak dianugerahkan oleh Islam. Non-Muslim, mereka bisa hidup dan berjalan di atas standar-standar tertentu, memungkinkan mereka hidup dalam ketenangan dan kebahagian di dalam Negara Islam (KoJanuari, 1995).
Oleh karena itu, menunjukkan bahwa kaum muslim sudah terbiasa hidup dalam kemajemukan dan keberagaman beragama atau yang dikenal dengan istilah Pluralitas. Maka yang ditakutkan barat sebenarnya adalah bangkitnya Islam dalam kepemimpinan yang satu, bangkit dalam bentuk sistem bernegara yang dengan semua itu akan menghancurkan hegemoni barat atas dunia Islam.
Bangkitnya Islam menjadi sebuah kekuatan pastilah digerakkan oleh kaum muslim yang menyadari bahwa selama ini segala kehancuran, permasalahan dan kerusakan dikarenakan jauhnya umat Islam dari syariat. Sistem kehidupan sekuleirsme yang sedang dijalani saat ini menjadi musuh bagi barat dan penghalang bagi barat. Maka sudah saatnya umat Islam kembali kepada Islam secara menyeluruh dan Islam menjadi Rahmatan lil’alamin. Wallahu’alam bishowwab
Penulis: Irma Ismail (Penulis dan Aktivis Muslimah Peduli Generasi)