HAMPIR SEMUA WILAYAH otonom di Indonesia, pada hari-hari ini di ramaikan dengan penerimaan siswa baru dengan sistem zonasi. Kebijakan ini mengarahkan setiap calon murid untuk bersekolah yang terdekat dengan tempat tinggal.
Asumsinya mutu sekolah dimana pun sama/hampir sama. Pemerintah juga bermaksud menghilangkan mitos sekolah favorit dan non favorit. Kebijakan ini ternyata menuai protes dari orang tua murid.
Menurut warga dan ketua RT sekitar SMA 8 di Jalan Untung Suropati, Kecamatan Sungai Kunjang, syarat beberapa calon pelajar yang mendaftar melalui jalur bina lingkungan dan telah lolos verifikasi sudah dinyatakan diterima pada pengumuman 16 Juni lalu, bukan merupakan warga sekitar.
Syarat utama yang menyatakan pendaftar masuk dalam kategori bina lingkungan masih dipertanyakan keabsahannya. Warga menduga syarat berupa berkas kartu keluarga (KK) itu hanya di buat-buat dengan menggunakan modus tertentu. Istilahnya, ada orang tua yang menitipkan anaknya untuk masuk dalam KK warga Karang Asam Ulu. " Misalnya calon pendaftar warga luar wilayah Karang Asam Ulu tapi sengaja di masukkan KK keluarga atau kerabat yang ada disini ( Karang Asam Ulu ). Padahal tidak tinggal disini, " ungkap Ozi, orang tua calon pelajar yang ikut memproses PPDB di SMA 8. ( Kaltim Post, 28/6/2023)
Orang tua yang khawatir atas nasib anaknya, menempuh segala cara agar anaknya diterima di sekolah yang dituju. Ada yang mendadak pindah rumah dekat sekolah, ada yang pura-pura miskin dengan mengurus SKTM, ada yang menyuap oknum panitia PPDB, dan sebagainya.
Karena sistem zonasi, ada sekolah yang membludak jumlah muridnya, dan ada juga yang hanya beberapa gelintir.
Sampai ada muncul ungkapan "Tak perlu belajar rajin yang penting rumah dekat sekolah impian".
Kisruh zonasi di sistem sekuler kapitalis ini berpangkal pada masalah tidak meratanya sekolah di Indonesia. Baik dari segi jumlah, kualitas dan lokasi.
Dari sisi jumlah, masih banyak daerah yang kekurangan sekolah. Dari segi kwalitas banyak ketimpangan layanan pendidikan, sehingga muncul sekolah favorit.
Jika persoalannya adalah ketidakmerataan layanan pendidikan, solusi yang di butuhkan adalah peningkatan kwalitas pendidikan secara merata, melalui penetapan rasio ideal antar jumlah sekolah dan jumlah penduduk.
Selain menyediakan jumlah sekolah ideal, pemerintah harus menjadikan kualitas semua sekolah sesuai standar.
Semua guru harus mendapat pelatihan untuk meningkatkan kapabilitasnya. Selain itu guru harus di jamin kesejahteraannya. Gaji guru harus layak, sesuai dengan lelahnya dalam mencurahkan ilmu yang bermanfaat bagi muridnya.
Sarana prasarana butuh di tingkatkan kualitasnya secara merata. Agar tidak muncul sekolah favorit. Pemerintah perlu memberikan edukasi kepada masyarakat tentang 3 pilar pendidikan, yaitu orang tua, masyarakat dan negara.
Sehingga penentu output pendidikan bukan hanya sekolah. Melainkan sinergi antara ke 3 nya. Maka selain kurikulum yang berkualitas, juga harus di dukung orangtua yang peduli pendidikan, dan masyarakat yang menghargai ilmu.
Negara berperan sebagai pemimpin yang memastikan semua pilar berdaya secara efektif. Negara tidak boleh lepas tangan dalam pendidikan. Bila pemerataan kualitas pendidikan sudah di lakukan, tak masalah jika sistem zonasi di berlakukan.
Pendidikan Islam sebagai solusi
Islam memiliki konsep pendidikan berbasis Aqidah Islam. Kurikulumnya berkualitas tinggi, karena bersumber dari Wahyu Illahi.
Negara memposisikan sebagai pelayan dan pengurus masyarakat, sehingga pendidikan bisa di akses semua orang dengan mudah dan gratis. Tidak ada cerita siswa putus sekolah karena tidak punya biaya.
Dana pendidikan dari pengelolaan kepemilikan umum yang merupakan milik seluruh rakyat.
TERIMA KASIH SUDAH MEMBACA LINTASATJEH.COM
Mengenai zonasi murid dalam sistem Islam , berhak sekolah di mana saja yang dia inginkan, karena semua sekolah sudah memenuhi standar.
Maka tidak perlu terjebak pada pilihan zonasi atau tidak, karena itu merupakan persoalan cabang.
Persoalan pendidikan di Indonesia harus di selesaikan secara tuntas, dengan sistem Islam yakni Khilafah. Keshahihanya telah terjamin, keberhasilannya telah teruji .
Islam memandang pembiayaan pendidikan untuk seluruh tingkatan, sepenuhnya merupakan tanggung jawab negara.
Seluruh pembiayaan pendidikan baik yang menyangkut gaji para guru/dosen, maupun menyangkut infrastruktur serta sarana dan prasarana pendidikan, sepenuhnya menjadi kewajiban negara.
Ringkasnya dalam Islam, pendidikan di sediakan secara gratis oleh negara ( Usus At Ta'lim Al Manhaji, hal 12 ).
Negara berkewajiban menjamin 3 kebutuhan pokok masyarakat, yaitu pendidikan, kesehatan n keamanan.
Jaminan ini bersifat langsung, artinya 3 kebutuhan ini di peroleh secara cuma-cuma, sebagai hak rakyat atas negara ( Abdurahman Al Maliki, 1963).
Dalilnya adalah As Sunnah dan Ijma Sahabat, Nabi bersabda , " Imam bagaikan pengembala dan dialah yang bertanggung jawab atas gembalaannya itu ".
( HR. Muslim )
Sejarah Islam telah mencatat, kebijakan para Khalifah yang menyediakan pendidikan gratis bagi rakyatnya.
Pada era Khilafah Utsmaniyah, Sultan (Khalifah) Muhammad Al Fatih (1481 M ), juga menyediakan pendidikan secara gratis. Di Konstantinopel (Istanbul), Sultan membangun 8 sekolah yang fasilitasnya serba lengkap dari laboratorium, perpustakaan dan asrama.
Sistem pendidikan formal yang di selenggarakan negara Khilafah, memperoleh sumber pembiayaan sepenuhnya dari negara yaitu Baitul Mal.
Dalam sejarah pada masa Khalifah Umar bin Khatab, sumber pembiayaan untuk kemaslahatan umum ( termasuk pendidikan ), berasal dari Jizyah, Kharaj, dan Usyur.
Terdapat 2 sumber pendapatan Baitul mal yang dapat di gunakan membiayai pendidikan, yaitu:
1. Pos Fa'i dan Kharaj, yang merupakan kepemilikan negara ( seperti ghanimah, khumus / seperlima harta rampasan perang, jizyah dan dharibah/pajak )
2. Pos kepemilikan umum, seperti tambang minyak dan gas, hutan, laut Hima ( milik umum yang penggunaannya telah di khususkan ).
Jika 2 sumber pendapatan ini ternyata tidak mencukupi, dan di khawatirkan akan timbul efek negatif ( DARAR ), jika terjadi penundaan pembiayaannya, maka negara wajib mencukupinya dengan segera dan dengan cara berhutang ( Qardh ).
Hutang ini kemudian di lunasi oleh negara dengan dana dari dharibah ( pajak ), yang di pungut dari kaum muslimin.
Beginilah pembiayaan pendidikan dalam Islam , yang di contohkan pada masa ke Khilafahan.
Waallahu 'alam bissowab.
Penulis: Siti Hadijah, S.Pdi (Pemerhati Kebijakan Publik)