PULUHAN RIBU HEKTAR HUTAN dan lahan terbakar sepanjang tahun ini. Langkah pencegahan dan penanggulangan kebakaran hutan dan lahan (karhutla) harus terus diperkuat mengingat titik panas terus bermunculan. Berdasarkan data Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), ada sebanyak 28.019 hektare hutan dan lahan yang terbakar pada periode Januari-pertengahan Juni 2023.
Di Kalimantan Timur, misalnya, Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) Stasiun Balikpapan mendeteksi 20 titik panas. Empat hari sebelumnya (17/6/2023), pihaknya juga mendeteksi 13 titik panas di Kaltim. Sedangkan 20 titik panas yang terpantau pada Kamis merupakan titik panas baru yang muncul di lokasi berbeda dengan titik koordinat yang berbeda pula.
Selain di Kaltim, Pusat Pengendalian Operasi Penanggulangan Bencana (Pusdalops-PB) BPBD Kalimantan Selatan (Kalsel) melaporkan luas total sementara kebakaran hutan dan lahan (karhutla) mencapai 163,15 hektare hingga Sabtu (24/6) kemarin. Ada sebanyak 2.168 titik api yang menyebar di 13 kabupaten dan kota di Kalimantan Selatan. (Kumparannews.co, 25/6/2023)
Kepala BPBD Kalsel Raden Suria Fadliansyahjuga mengatakan pihaknya belum mendapat informasi terkait gangguan maupun penundaan penerbangan di Bandara Syamsudin Noor Banjarmasin akibat kabut asap. Penerbangan normal, meskipun kabut asap menyelimuti seluruh area bandara. Sama halnya di beberapa wilayah yang mengalami kabut asap akibat Karhutla belum mengganggu jadwal penerbangan pesawat udara.
Karhutla Berulang di beberapa wilayah akibat pembukaan lahan makin meluas. Meski belum mengganggu jadwal penerbangan namun jika Karhutla terus bertambah dan meluas maka berpotensi akan mengancam kesehatan warga dan keselamatan penerbangan.
Negara Payah
Musim kemarau memang kerap dimanfaatkan oleh pemilik lahan untuk membuka lahan pertanian baru dengan cara membakar dikarenakan lebih efisien dan ekonomis dibandingkan membersihkan lahan dengan menebang dan membersihkan. Tidak sedikit pembakaran lahan terpaksa dilakukan masyarakat karena tingginya biaya hidup dari pada membuka lahan manual dan mekanik, membakar jauh lebih murah dan cepat. Namun, bagi perusahaan besar, konsesi lahan luas yang dikelola demi keuntungan lebih besar maka biaya awal harus ditekan. Salah satunya untuk biaya penyiapan lahan, maka dibakar lebih menguntungkan.
Berulangnya Karhutla menunjukkan rendahnya kesadaran masyarakat dan gagalnya edukasi yang dilakukan pemerintah untuk mencegah Karhutla. Negara tidak menjamin dan memenuhi kebutuhan ekonomi petani sehingga mereka sendiri berjuang tanpa bantuan negara. Negara justru dengan mudah memberi konsesi hutan pada perusahaan besar. Terlebih untuk memperbanyak perkebunan sawit dan pertambangan serta properti.
Negara payah berhadapan dengan pengusaha besar tersebut, justru memberi mereka "karpet merah" dengan perizinan dan undang-undang. Padahal, jika negara tegas sedari awal mencegah Karhutla dengan paradigma urusan kepemilikan dan pengelolaan hutan dan lahan tidak boleh dikuasai oleh individu, swasta atau asing maka otomatis kebakaran akan terhindar. Negara yang memegang kendali, namun dalam sistem kapitalisme saat ini lahan berupa hutan justru dikapitalisasi. Para kapital yang memegang kendali sedangkan negara "tidak bergigi."
TERIMA KASIH SIDAH MEMBACA LINTASATJEH.COM
Sebenarnya, faktor kesengajaan manusialah penyebab karhutla dan kabut asap terjadi. Kondisi perekonomian dalam sistem kapitalis yang tabiatnya hanya menginginkan keuntungan besar menjadi mata rantai kerusakan lingkungan. Desakan hidup masyarakat bawah dan keuntungan besar yang diinginkan para kapitalis penyebab kebakaran sengaja dilakukan.
Pemerintah yang memfasilitasi kapitalisasi hutan dan lahan gambut berupa pemberian hak konsesi kepada korporasi perusahaan baik kepada kebun kayu atau sawit dan developer ini lebih berbahaya dibandingkan milik masyarakat yang lebih sedikit. Oleh karena itu, tidak bijak juga menyalahkan pihak masyarakat tanpa didukung pemerintah dalam hal bantuan teknik pembukaan lahan. Misalnya membantu menyediakan layanan berupa alat berat atau teknologi untuk pembukaan lahan, modal pertanian yang terjangkau sehingga petani tidak berat atau banyak modal dalam bertani dan berkebun.
Keberpihakkan penguasa terhadap korporat begitu besar dengan mengizinkan mereka dalam hal pengelolaan hutan dan lahan membuat mereka bebas sesukanya termasuk membakar. Tidak ada tindakan yang tegas, hanya sekedar ditangkap pelaku lapangan. Andai pemilik lahan atau perusahaan besar tersebut ditangkap, itu pun tanpa mencabut izin penguasaan lahan dan tidak diberi sanksi tegas.
Selain mengutamakan kepemilikan individu, pendekatan kapitalisme yang lebih mementingkan kemanfaatan telah melahirkan sikap eksploitatif atas sumber daya alam seraya mengabaikan aspek moralitas dan lingkungan. Ditambah lagi, sistem Kapitalisme juga telah menjadikan para penguasa abai dalam mengurus rakyatnya termasuk dalam menyelesaikan persoalan Karhutla dan kabut asap. Terbukti, dengan marak dan berulangnya kabut asap di berbagai daerah seolah menunjukkan para penguasa tidak serius dalam mengatasi permasalahan tersebut.
Solusi Islam Akhiri Karhutla
Solusi Islam dalam mengakhiri dan mencegah Karhutla dan kabut asap berawal dari paradigma kepemilikan hutan dan lahan. Islam memiliki beberapa ketentuan dalam pengelolaan hutan dan lahan, di antaranya hutan termasuk dalam kepemilikan umum, bukan kepemilikan individu atau negara.
Ketentuan tersebut didasarkan pada hadits Rasulullah:
"Kaum muslimin berserikat dalam tiga hal: dalam air, padang rumput [gembalaan], dan api." (HR. Abu Dawud, Ahmad, Ibnu Majah).
Selain itu, pengelolaan hutan hanya dilakukan oleh negara saja, bukan oleh pihak lain (misalnya swasta atau asing). Selain itu, negara wajib melakukan pengawasan terhadap pengelolaan hutan. Dalam kekhilafahan atau pemerintahan Islam fungsi pengawasan operasional lapangan ini dijalankan oleh lembaga peradilan, yaitu Muhtasib (Qadhi Hisbah) yang tugas pokoknya adalah menjaga terpeliharanya hak-hak masyarakat secara umum (termasuk pengelolaan hutan). Misalnya menangani kasus pencurian kayu hutan, atau pembakaran dan perusakan hutan. Muhtasib bertugas disertai aparat polisi (syurthah) di bawah wewenangnya. Muhtasib dapat bersidang di lapangan (hutan), dan menjatuhkan vonis di lapangan.
Dalam hal sanksi/hukum negara berhak menjatuhkan sanksi ta’zir yang tegas atas segala pihak yang merusak hutan. Orang yang melakukan pembalakan liar, pembakaran hutan, penebangan di luar batas yang dibolehkan, dan segala
macam pelanggaran lainnya terkait hutan wajib diberi sanksi ta’zir yang tegas oleh negara (peradilan). Ta’zir ini dapat berupa denda, cambuk, penjara, bahkan sampai hukuman mati, tergantung tingkat bahaya dan kerugian yang ditimbulkannya. Prinsipnya, ta’zir harus sedemikian rupa menimbulkan efek jera agar kejahatan perusakan hutan tidak terjadi lagi dan hak-hak seluruh masyarakat dapat terpelihara.
Demikianlah ketentuan Islam dalam tata kelola hutan dan lahan untuk mencegah Karhutla. Jika ketentuan ini dilaksanakan di bawah naungan negara Islam tentu saja akan mampu mencegah dan mengatasi Karhutla yang berulang. Penerapan pandangan Islam menjadi kunci solusi agar Karhutla berakhir.
Wallahu'alam...
Penulis: Rahmi Surainah, M.Pd (Alumni Pascasarjana Unlam)