LINTAS ATJEH | BANDA ACEH - Permohonan Komite Peuralihan Aceh(KPA) kepada Presiden RI, Ir. H. Joko Widodo dalam Surat Nomor : 16/KPA/VI/2023 tanggal 19 Juni 2023 yang ditandagangi Wakil Ketua KPA H Kamarudin Abu Bakar atau Abu Razaq yang menolak pembangunan 2 mesjid oleh presiden RI di lokasi rumoh geudong dan pos Sattis 1998 di Gampong Billi, Kemukiman Aron, Kecamatan Geuleumpang Pidie, Kabupaten Pidie.
"Permintaan Wakil Ketua KPA yang menolak pembangunan mesjid dari pemerintah pusat ini tentunya sangat tidak logis dan terkesan tidak menghargai itikad baik dan ketulusan pemerintah pusat untuk Aceh," ungkap Koordinator Gerakan Mahasiswa dan Pemuda Untuk Rakyat (GeMPuR), Asrinaldi, Kamis (22/06/2023).
Menurut Asrinaldi, sangat miris tentunya mesjid yang akan dibangun dari wakaf pemerintah pusat dan diharapkan dapat menjadi amal jariyah bagi para korban konflik di wilayah itu justru ditolak oleh wakil ketua KPA, kemudian Wakil ketua KPA justru menyampaikan permintaan yang tidak rasional.
"Sungguh memilukan ketika pemerintah pusat beritikad akan membangun mesjid sebagai bentuk wakaf bagi para korban konflik, justru Wakil Ketua KPA meminta hal itu dibatalkan dan malah meminta pembangunan museum replika rumah gedung dan dana abadi mencapai Rp 3 Triliun," ujarnya.
TERIMA KASIH SUDAH MEMBACA LINTASATJEH.COM
Asrinaldi mengatakan, sejak perdamaian 2005 silam hingga saat ini sudah begitu banyak bahkan ratusan triliun rupiah dikucurkan namun hal itu sepertinya belum menyentuh secara maksimal korban konflik yang ada di Aceh.
"Ketika uang yang begitu banyak yang sudah diberikan tak menyentuh, tentunya tidak rasional jika diminta Rp 3 Triliun lagi dengan dalih untuk pendidikan korban konflik. Nanti ujung-ujungnya dikhawatirkan juga tak dapat menjawab persoalan korban konflik," jelasnya.
Asrinalidi melanjutkan, seharusnya sebagai masyarakat Aceh bersyukur bahwa Presiden RI dengan ketulusan hatinya bersedia menghibahkan pembangunan mesjid di 2 titik yang terindikasi telah terjadi pelanggaran HAM di masa lalu.
Pembangunan mesjid itu, kata Asrinaldi, merupakan i'tikad pemerintah pusat terhadap Aceh sebagai bentuk permintaan maaf bahkan ketika kasus pelanggaran HAM di lokasi itu belum ditetapkan keputusan tentang benar atau salahnya.
"Sebagai masyarakat kita tentunya harus menyambut itiqad baik pemerintah pusat itu. Kita berharap pembangunan mesjid oleh orang nomor satu di Indonesia itu tetap dilakukan dengan harapan dapat menjadi amal jariyah bagi korban konflik dan keluarganya," pungkasnya.[*/Red]