LINTAS ATJEH | BANDA ACEH - Dikabarkan bahwa Presiden Joko Widodo Selasa 27 Juni 2023 akan berkunjung ke Aceh, kunjungan tersebut dalam rangka kunjungan kerja (Kunker) Presiden yang berlokasi di tempat Tragedi Rumoeh Gedong, Desa Bili Kemukiman Aron, Kecamatan Glumpang Tiga, Kabupaten Pidie.
Namun kunjungan tersebut menyayat hati bagi keluarga korban Pelanggaran HAM berat di Aceh, pasalnya tragedi Beutong Ateuh sebagai pelanggaran HAM Berat tidak masuk dalam pengakuan dan penyesalan negara.
"Hal ini patut disayangkan, karena tragedi pembantaian terhadap Ulama Tgk. Bantaqiyah dan santrinya yang dilakukan oleh oknum aparat keamanan paling sadis, bahkan masih menyisakan luka yang mendalam, namun tidak masuk dalam pengakuan negara yang diumumkan oleh Presiden beberapa waktu lalu," ungkap Muhammad Hasbar selaku Koordinator Kaukus Peduli Aceh (KPA) kepada media ini, Senin (26/06/2023).
Hasbar menyebutkan, kasus Tragedi Beutong Ateuh tersebut merupakan pelanggaran HAM berat di masa lalu, bahkan sekarang masih menyisakan bukti dan saksi sejarah. Secara umum kita ketahui bersama, Tengku Bantaqiah adalah seorang ulama Aceh yang memimpin sebuah pesantren yang terletak di Beutong Ateuh. Pesantren yang bernama Babul Al Nurillah tersebut dituduh oleh Oknum Aparat TNI sebagai tempat penyembunyian alat logistik GAM.
TERIMA KASIH SUDAH MEMBACA LINTASATJEH.COM
Namun tuduhan ini tidak pernah terbukti, kata Hasbar, justru kasus tersebut adalah pembantaian terhadap warga sipil yang merupakan jamaah pesantren, pembantaian Tengku Bantaqiah sendiri dilakukan oleh oknum TNI yang berada di bawah kendali operasi (BKO) Korem 011/Lilawangsa yang terdiri dari pasukan Yonif 131 dan 133 dengan didukung satu pleton pasukan dari Batalyon 328 Kostrad.
Dalam peristiwa tersebut, lanjut Hasbar, tercatat lebih kurang 56 orang tewas dan hilang. Selain itu, ratusan orang trauma atas tragedi tersebut.
"Tentu ini tidak adil, jika Presiden mengakui pelanggaran HAM berat hanya 3 lokasi di Aceh, yaitu tragedi Rumoeh Gedong Pidie, tragedi Simpang KKA Aceh Utara dan Tragedi Jamboe Kepoek Aceh Selatan, sedangkan kasus tragedi Pelanggaran HAM berat lainnya tidak dimasukkan kedalam catatan Negara, padahal bukti dan saksi sejarah masih ada," ujar Hasbar.
Anehnya lagi, jelas Hasbar, Pemerintah Aceh sudah membentuk lembaga Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR) Aceh berdasarkan Qanun Aceh Nomor 17 Tahun 2013, dimana Tugas KKR Aceh adalah sebagai penginput data pelanggaran HAM berat di Aceh. Dalam tugas tersebut, KKR Aceh berkoordinasi dengan Komnas HAM Aceh dan melaporkan langsung kepada Kementerian Hukum dan HAM (Kemenkumham), selanjutnya kepada Presiden.
"Kenapa kasus Tragedi Beutoeng Ateuh tidak masuk dalam pengakuan Presiden sebagai pelanggaran HAM berat atau memang tidak dilaporkan ?. Jika tidak dilaporkan pun tidak mungkin, karena Tragedi Beutoh Ateuh dunia pun mengakuinya, bahkan masih ada catatan sejarah dan rekam jejak digitalnya," tegas Hasbar.
Jika Tragedi Beutoh Ateuh, kata Hasbar, tidak masuk dalam pengakuan Presiden Joko Widodo sebagai Pelanggaran HAM berat masa lalu, maka kami menuntut kepada Pemerintah bubarkan saja Lembaga KKR Aceh dan copot Komnas HAM Aceh karena dinilai tidak mampu mengakomodir keadilan bagi Korban HAM berat di wilayah Beutong Ateuh Nagan Raya.
"Kami apresiasi atas kinerja KKR Aceh bersama Komnas HAM Aceh, terkait input data Korban Pelanggaran HAM yang sudah 5 ribu lebih, namun tindak lanjutnya masih lambat dan lemah mengadvokasinya ke pemerintah pusat. Oleh karena itu Kami bersama keluarga Korban Tragedi Betong Ateuh mengecam Pihak lembaga KKR Aceh dan Komnas HAM Aceh atas kinerja pilih kasih keadilan terhadap pelanggaran HAM berat Aceh, " Ucap Hasbar.
Hasbar menambahkan, dalam Kunker Presiden Joko Widodo ke Aceh, ia bersama keluarga korban Tragedi Beutoeng Ateuh akan melakukan upaya advokasi langsung, apapun resikonya.
"Kami akan mengajak semua LSM dan lembaga Organisasi Mahasiswa untuk menyampaikan tuntutan ini secara langsung kepada Presiden Jokowi agar Tragedi Beutong Ateuh di akui oleh Negara sebagai Pelanggaran HAM berat masa lalu, dan Negara harus meminta maaf serta melakukan upaya pemulihan masa troma bagi Korban," tuturnya.[*/Red]