Foto: Fuad Hasim/detikcom
LINTAS ATJEH | JAKARTA - Dalam satu pekan terakhir ini publik diramaikan dengan adanya dugaan kebocoran draf Putusan Mahkamah Konstitusi (MK), akibat pernyataan di media sosial dari seorang ahli hukum tata negara, yang juga mantan Wakil Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia, Prof. Denny Indrayana.
Denny mengemukakan dirinya mendapatkan informasi dari luar instansi MK bahwa dalam perkara pengujian materil (judicial review) tentang sistem pencalonan legislatif, MK akan mengabulkan permohonan pemohon, sehingga ada dugaan kuat bahwa konsep Pemilu Legislatif dalam Pemilihan Umum 2024 (Pemilu 2024) akan kembali seperti pada masa Orde Baru yang hanya cukup mencoblos partai politik tanpa mengetahui kandidat daftar nama calon anggota DPR/DPRD yang akan menjadi legislator di Senayan maupun di DPRD Provinsi dan/atau Kabupaten/Kota.
Pernyataan Denny tersebut mendapat respons yang beragam dari berbagai elemen masyarakat publik, mulai dari Mantan Hakim Konstitusi Jimly Ashiddiqie, Menko Polhukam Mahfud Md, Presiden ke-6 Susilo Bambang Yudhoyono, bahkan belakangan DPR melalui 8 (delapan) fraksi --kecuali PDIP-- mengecam MK jika putusan tersebut memang benar seperti yang dikemukakan oleh Denny Indrayana.
Artikel ini mencoba mengulas pikiran dan tindakan Denny Indrayana yang cukup menyita perhatian tersebut, khususnya berkaitan dengan sistem Pemilu Legislatif yang saat ini jamak terlupakan atau terabaikan, akibat konsentrasi publik yang relatif tertuju secara masif hanya kepada Pemilihan Eksekutif (Calon Presiden dan Wakil Presiden).
Memahami Pernyataan Denny
Untuk memahami maksud tindakan dan pikiran Denny, maka terlebih dahulu harus dilihat dari pernyataan lengkapnya di media sosial, sebab banyak pihak yang justru memfokuskan dirinya pada aspek kerahasiaan negara tanpa melihat statement tersebut sebagai strategi melempar bola liar ke hadapan publik.
Rancangan (draf) putusan memang tidak boleh diumumkan sebelum pembacaan putusan oleh Majelis Hakim. Namun apakah pernyataan tersebut merupakan indikasi atas bocornya rahasia negara, berupa draf putusan MK?
Dalam akun Twiter-nya @dennyindrayana mengemukakan: Pagi ini saya mendapatkan informasi penting. MK akan memutuskan pemilu legislatif kembali ke sistem proporsional tertutup, kembali memilih tanda gambar partai saja. Info tersebut menyatakan, komposisi putusan 6 berbanding 3 dissenting. Kemudian, dalam cuitan selanjutnya dirinya mengemukakan bahwa sumber informasi tersebut didapatnya dari orang yang sangat dipercaya kredibilitasnya, yang pasti bukan Hakim Konstitusi.
Dalam pernyataan tersebut, Denny menggunakan frasa "mendapatkan informasi", bukan "mendapatkan bocoran". Sehingga dengan penalaran yang wajar dapat dipahami bahwa informasi tersebut masih bisa diartikan sebagai suatu pengetahuan yang dapat muncul dari hasil analisa, hipotesa, hingga spekulasi yang belum bersifat otoritatif (tidak dikeluarkan oleh pihak berwenang, dalam hal ini MK).
Terlebih pada faktanya berdasarkan jadwal persidangan (court calendar) di MK, perkara tentang pengujian materil tersebut belum sampai pada tahap rapat permusyawaratan hakim (RPH), sehingga sangat janggal jika narasi Denny menjadi dasar untuk menyatakan telah terjadi pembocoran draf putusan MK, padahal proses tersebut belum berlangsung saat pernyataan Denny dibuat di media sosial.
TERIMA KASIH SUDAH MEMBACA LINTASATJEH.COM
Melawan Proporsional Tertutup dengan Hegemoni Politik
Persoalan Pemilihan Legislatif merupakan isu yang tidak kalah pentingnya dari proses penetapan calon presiden dan wakil presiden pada Pemilu Eksekutif. Oleh karena itu, tidak mengherankan ketika digaungkannya informasi mengenai kemungkinan penerapan sistem proporsional tertutup pada pemilu mendatang. Berbagai partai politik maupun elemen masyarakat kembali merasa terusik dan menentang atas wacana pengembalian sistem proporsional tertutup.
Sebaliknya, berbagai pihak yang dinilai pro terhadap pemberlakuan sistem proporsional tertutup kini mencoba mengaburkan substansi atas pelemparan isu tersebut dengan persoalan bocornya kerahasiaan negara, in aquo Putusan MK. Kondisi demikian yang memang dari awal sengaja diciptakan Denny, sebab secara teoretis melempar isu publik yang disertai dengan berbagai kemungkinan tersebut, secara efektif dapat memunculkan peta kekuatan dalam menilai spirit masyarakat melalui public opinion.
Alhasil, berbagai respons yang bersifat kontra terhadap sistem proporsional tertutup kian mulai bermunculan sebagai upaya pengawasan terhadap persoalan yang saat ini masih atau sedang bergulir disengketakan di MK. Mungkin ada pertanyaan nakal (genit) yang akan muncul di benak berbagai pihak dari postulat tersebut. Mengapa sekelas profesor hukum harus melakukan tindakan demikian? Bukankah jika memang proporsional tertutup tidak sejalan dengan semangat pemilu langsung, umum, bebas, r ahasia, jujur dan adil pasti MK dengan sendirinya akan memutus menolak penerapan proporsional tertutup?
Sebelum menjawab pertanyaan tersebut dengan uraian singkat, penting untuk diketahui sejarah kelahiran sistem proporsional terbuka. Dalam praktik kepemiluan di Indonesia, sistem proporsional terbuka semula dilaksanakan secara bertahap, sebagai antitesis terhadap konsep pemilu Orde Baru yang bersifat ofensif terhadap lawan politik ketika itu. Alhasil, ketika pemilu masa reformasi, tepatnya pada 2004, melalui UU Nomor 12 Tahun 2003 diperkenalkan sistem proporsional dengan daftar nama calon terbuka, atau ketika itu biasa disebut sebagai relatively closed open list system.
Dengan demikian, kendati daftar caleg terbuka namun persyaratan keterpilihan masih harus didasari pada Bilangan Pembagian Pemilihan (BPP) dari partai politik. Hal yang menarik adalah ternyata pada 2008 sebelum diselenggarakannya Pemilu 2009, MK menyatakan bahwa sistem proporsional dengan membuka daftar caleg yang masih harus disesuaikan dengan BPP sebagai syarat keterpilihan tersebut dinilai tidak sejalan dengan prinsip kedaulatan rakyat.
Bahkan melalui Putusan Nomor 22-24/PUU-VI/2008, MK berpendapat bahwa sistem proporsional semi terbuka tersebut dinyatakan inkonstitusional sehingga harusnya penyelenggara pemilu menerapkan sistem proporsional terbuka secara murni (most open).
Putusan MK tersebut setidaknya menjadi dasar pembentuk undang-undang (DPR dan Presiden) untuk kemudian menetapkan skema proporsional terbuka secara murni, seperti pada Pemilu 2014 (melalui UU Nomor 8 Tahun 2012) dan Pemilu 2019 (melalui UU Nomor 7 Tahun 2017). Dengan kata lain, persoalan mengenai sistem proporsional terbuka atau tertutup dalam Pemilu Legislatif sebenarnya telah mencapai pada tahap pengujian yang final.
Artinya, jika kini terdapat permohonan uji materiil berkaitan dengan penerapan sistem proporsional tertutup, seharusnya MK sejak awal dapat menolak permohonan dengan alasan objek permohonan sudah pernah diujikan. Namun demikian, ternyata permohonan tersebut masih berlanjut bahkan sampai pada tahapan pemeriksaan hingga putusan yang mungkin sebentar lagi akan dibacakan.
Dengan demikian, tidak heran jika upaya mempertahankan penerapan proporsional terbuka dalam pemilu legislatif yang final tersebut kembali diganggu gugat, maka dibutuhkan manuver alternatif selain dimensi hukum, yaitu penggiringan opini publik agar senantiasa mengawal proses hukum yang dilakukan oleh MK dan tetap menempatkan dirinya sebagai the guardian of the constitution dan bukan sebagai the guardian of political interest.[detikNews.com]