Bella Disa Novita
LINTASATJEH.COM - Kekerasan Seksual terhadap anak sangat banyak terjadi di berbagai negara, termasuk di Indonesia. Apa sih yang dimaksud dengan Kekerasan seksual? Kekerasan seksual adalah bentuk tindakan yang dilakukan orang dewasa atau orang yang lebih tua terhadap anak untuk memuaskan nafsunya, salah satunya adalah pemerkosaan terhadap anak. Kekerasan seksual juga termasuk salah satu bentuk agresi, Baron & Richardson menjelaskan bahwa agresi salah satu bentuk kekerasan yang sengaja diarahkan pada orang lain, termasuk kekerasan seksual.
Kekerasan seksual pada anak terjadi di berbagai tempat dan waktu, seperti disekolah, dirumah, pesantren, lingkungan umum dan lainnya. Kekerasan seksual terus meningkat sejak 13 tahun terakhir berdasarkan data dari Kementrian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KemenPPPPA) menyatakan bahwa pada tahun 2022 kasus kekerasan seksual terhadap anak mencapai 9.588. Hal ini berarti Indonesia termasuk dalam kategori negara darurat kekerasan seksual. Nah disini penulis ingin meninjau melalui dua aspek yaitu korban dan pelaku kekerasan seksual. Dimana anak sebagai korban kekerasan seksual mengalami dampak kesehatan mental yang buruk, dan pelaku Kekerasan seksual merupakan salah satu bentuk agresi dalam tinjauan psikologi sosial.
Menurut Robert Baron (1977) agresi merupakan tindakan atau tingkah laku seseorang yang dilakukan untuk melukai atau mencelakakan orang lain yang tidak ingin dicelakai atau dilukai, sehingga kekerasan seksual pada anak ini termasuk kedalam agresi. Dan merupakan bentuk nyata dari hubungan antara seksualitas dan agresivitas. Kekerasan seksual memberikan dampak destruktif bagi korban yang mengalaminya, Mengapa kekerasan seksual bisa terjadi?Tentunya tindakan agresi dalam bentuk kekerasan seksual pada anak ini dipicu oleh beberapa faktor dan dibutuhkan upaya sebagai solusi untuk menanggulanginya, agar pelaku berhenti melakukan aksi tersebut. Apa saja faktor yang mempengaruhi tindak kekerasan seksul dan upaya yang dilakukan terhadap pelakunya?
1. Pelaku kekerasan seksual biasanya adalah laki-laki yang memiliki kedudukan dan usia yang lebih tinggi dan mempunyai harga diri (self esteem) yang rendah. Dipengarui oleh latar belakang pelaku, dimulai dari kehidupannya, hubungannya dengan keluarga serta lingkungan yang kurang mendukung.
2. Menurut Collier (1992) pelaku kekerasan seksual dibagi menjadi dua yaitu, normal dari sisi kejiwaan, berani melakukan kekerasan seksual secara berkelompok atau beramai-ramai dan tidak berani melakukannya sendiri, kemudian abnormal yaitu memiliki kelainan jiwa, berani melakukannya sendiri.
3. Terdorong hawa nafsu dan tidak mampu mengendalikannya, atau pelaku bisa saja pernah menjadi korban kekerasan/ pelecehan seksual juga
4. Kekuasaan pelaku, kekerasan seksual bukan hanya dilakukan oleh orang yang dikategorikan dalam kelas ekonomi rendah, namun juga kelas ekonomi tinggi, seperti disekolah, misalnya kepala sekolah, guru dan lainnya, membuat pelaku sewenang-wenang pada anak, serta membuat korban takut untuk melaporkan tindakannya.
5. Kebiasaan menonton film porno membuat pelaku kecanduan dan mengacu pada fantasi seksual yang tinggi, hal ini menimbulkan hasrat untuk melakukan hubungan seksualpun ikut tinggi, sehingga ketika hasratnya tidak terpenuhi, pelaku rela melakukan aksi bejatnya dengan berbagai cara, termasuk kekerasan seksual pada anak.
6. Bisa jadi karena dipengaruhi oleh konsumsi obat-obatan terlarang.
Pelaku kekerasan seksual harus segera ditindak tegas agar tidak memakan banyak korban dari kasus kekerasan seksual pada anak, bentuk upaya yang harus dilakukan tidak lain adalah kerja sama antara masyarakat dan pemerintah, sebagai pencegahan pemerintah dibantu pula oleh masyarakat haruslah meningkatkan keamanan bersama serta secara aktif melakukan sosialisasi dan kampanye baik menggunakan teknologi atau secara langsung mengenai kasus kekerasan seksual untuk meningkatkan kesadaran Bersama dalam lingkungan masyarakat. Kemudian pemerintah harus menegakkan hukum secara adil dan tegas, serta menjatuhi sanki kepada pelaku kekerasan seksual secara adil siapapun pelakunya berdasarkan Undang-undang dan hukum yang berlaku.
Dikutip dari berbagai media salah satunya Dinas Kependudukan, Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (DKP3A Kaltim Halda Arsyad) mengatakan bahwa Kekerasan seksual berdampak sangat besar terhadap korban,baik secara kesehatan mental atau psikis maupun pada fisik anak. Apa saja dampak dari kekerasan seksual pada anak? Yuk disimak:
1. Dampak pada psikis anak terlihat jelas bila anak tersebut mengalami trauma yang besar, hal ini mempengaruhi kesehatan mental anak semakin menurun, tidak nafsu makan, memicu rasa cemas berlebihan, depresi, merasa terancam dan tertekan. Tidak jarang anak yang mengalami trauma akibat dari pelecehan seksual mengurung dirinya dirumah, tidak mau kesekolah dan bertemu orang karena merasa takut dan malu atas apa yang menimpa dirinya.
TERIMA KASIH SUDAH MEMBACA LINTASATEH.COM
Hal ini juga diakibatkan dari faktor lingkungan di Indonesia, ketika seorang anak mengalami kasus kekerasan seksual, maka anak tersebut dianggap tidak suci, dan mendapatkan intimidasi serta perundungan dari masyarakat sekitarnya. Tidak heran kasus kekerasan seksual sering kali dianggap momok bagi korbannya, merasa kehilangan harga dirinya dan kehidupannya dianggap menjadi suram. Apalagi kasus kekerasan seksual ini terjadi pada anak yang menginjak usia remaja, pola pikir mereka yang sudah mengerti keadaan lingkungan sekitar, membuat korban putus asa dan merasa ingin mengakhiri hidupnya.
2. Dampak yang di alami anak pada fisiknya yaitu, Sakit pada area kemaluan, kesehatan fisik menurun, mengalami lebam akibat tindak kekerasan dan paksaan dari pelaku, rentan terjangkit penyakit seksual, dapat beresiko kehamilan, anemia, diare, insomnia, migran dan penyakit serius lainnya.
Kesehatan mental yang buruk terjadi pada anak berdampak pada kesehatan dan kondisi tubuh anak. Tekanan psikis yang terus menerus dialami, mengakibatkan kelelahan pada kondisi tubuhnya sehingga rentan terserang penyakit serius.
Bila hal ini sudah terjadi apa yang harus dilakukan?
Ada beberapa hal yang harus diperhatikan dan dilakukan untuk menyelamatkan anak dari traumanya, yaitu:
1. Melakukan terapi baik secara obat-obatan ataupun psikiater pada korban untuk mengurangi rasa cemasnya, hal ini perlu dilakukan dengan dukungan penuh dari pemerintah sekitar, keluarga, teman, guru dan lingkungan sekitar.
2. Jauhkan anak dari lingkungan toxic yang suka membulinya, serta dari pelaku pelecehan seksual, bila pelaku berasal dari keluarga korban, upayakan anak tidak bertemu dengannya selama masa pemulihan mental
3. Pengawasan ketat dari keluarga, jangan biarkan anak merasa sendiri dan kesepian, hal ini bisa mengakibatkan anak terus memikirkan kekerasan seksual yang dialaminya
4. Bantu anak untuk pulih dengan sabar dan dukung anak untuk mampu mengutarakan perasaannya dan mendapatkan keadilan untuk dirinya
5. Ajak anak melakukan kegiatan positif lainnya seperti bermain agar membantu anak menghilangkan trauma
6. Memotivasi dan meyakinkan korban demi menghilangkan traumanya, bahwa kehidupannya tidak berhenti sampai disini, sebagai korban kekerasan seksual bukan berarti masa depan anak ikut terhenti.
Butuh kesabaran dan waktu yang sedikit lama untuk melakukan upaya tadi, apabila upaya diatas telah dilakukan, anak pasti akan mengalami perubahan kesehatan mental kearah yang lebih baik lagi dari sebelumnya.
Perlu diketahui bahwa bukan hanya korban yang membutuhkan terapi namun pelaku juga membutuhkan rehabilitasi, agar menyadarkan pelaku untuk tidak melakukan kekerasan seksual yang lainnya serta dapat mengurangi kecanduaan fantasi seksnya. Nah untuk mengurangi kasus kekerasan seksual haruslah benar-benar diupayakan kerja sama antara pemerintah, lembaga pendidikan, keluarga, dan masyarakat semua untuk saling menjaga kemanan dan kenyamanan bersama dari kasus kekerasan seksual. Bila semua mengambil serta menjalankan peran sebenar-benarnya maka diharapkan kasus kekerasan seksual dapat berkurang. Dan inilah yang menjadi PR kita mengapa kasus kekerasan seksual terus meningkat, tidak ada yang bisa disalahkan karena dalam hal ini baik pemerintah dan masyarakat sama-sama tidak mengambil tanggung jawab secara menyeluruh. Semoga kesadaran pemerintah dan masyarakat semakin terbuka, Aamiin.
Penulis: Bella Disa Novita, Mahasiswi Pascasarjana, UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta (Putri Aceh)