-->

Sistem Pemilu Proporsional Tertutup: Ditolak Semua Partai Kecuali PDIP dan PPP

29 Mei, 2023, 00.45 WIB Last Updated 2023-05-28T17:45:48Z

Sistem Proporsional Tertutup: Ditolak Semua Partai Kecuali PDIP dan PPP

LINTAS ATJEH | JAKARTA - Sistem pemilu proporsional terbuka yang sedang digugat ke MK agar menjadi tertutup, belakangan ramai diperdebatkan sejumlah pihak khususnya parpol.

Dalam proporsional tertutup, penentuan calon anggota legislatif di semua tingkatan akan menjadi kewenangan parpol; pemilih hanya mencoblos partai, bukan caleg.

Ketua KPU Hasyim Asyari meminta sejumlah parpol mengantisipasi kemungkinan tersebut, seandainya gugatan ini dikabulkan oleh MK. Meski, ia menegaskan ini bukan berarti dukungan bagi perubahan sistem tersebut.

“Daripada buang-buang energi, buang-buang uang, lebih baik ditahan dulu sampai ada kepastian sistemnya tetap seperti ini (proporsional terbuka) atau ganti jadi (proporsional) tertutup,” kata Hasyim di Kantor KPU, Jakarta, Jumat (30/12).

Lantas, bagaimana sikap para parpol?

PDIP
PDIP adalah pihak yang menyuarakan pemilu proporsional terbuka diubah ) proporsional tertutup. Pengurus PDIP Cabang Probolinggo, Demas Brian Wicaksono, adalah salah satu pemohon gugatan sistem pileg yang saat ini diajukan ke MK.

Dorongan agar sistem diubah menjadi tertutup pun merupakan keputusan Kongres V PDIP. Sekjen PDIP Hasto Kristiyanto mengatakan sistem terbuka lebih banyak menimbulkan dampak negatif.

"Kita tahu bagaimana saat ini dengan praktik-praktik pemilu dengan sistem proporsional terbuka telah menciptakan liberalisasi politik," kata Hasto dalam konferensi pers virtual, Jumat (30/12).

"Saya melakukan penelitian secara khusus dalam program doktoral di UI, bagaimana liberalisasi politik mendorong partai menjadi partai elektoral dan menciptakan dampak kapitalisasi politik, munculnya oligarki politik, kemudian persaingan bebas dengan segala cara," tutur Hasto.

Ketua DPP PDIP Said Abdullah mengatakan pemilu proporsional tertutup lebih sesuai dengan kultur Indonesia dan bisa menghentikan caleg satu partai saling jegal.

"Kami ingin pemilu itu [hanya] mencoblos gambar [partai]. Karena itulah sesuai dengan kultur kita. Tapi kita dipaksa liberal betul melebihi Amerika. Satu partai pun calonnya saling bunuh. Jangankan dengan partai lain. Di nomor urut kami saja saya dengan Pak Rudi satu dapil, saya [ibarat] saling bunuh. Kan, salah kaprah keputusan itu," kata Said di Gedung DPR Senayan, Senin (21/11).

PPP
Sekjen PPP Arsul Sani menilai pemilu dengan sistem proporsional tertutup bisa dipahami dasar konstitusinya karena di UUD NKRI 1945 ditetapkan bahwa peserta pemilu untuk DPR/DPRD adalah partai politik.

Apalagi sistem proporsional terbuka yang diterapkan selama ini menurutnya hanya menguntungkan sosok yang modal finansialnya kuat.

"Dari sisi empiris, setelah beberapa kali pemilu, kita lihat bahwa yang akhirnya terpilih jadi anggota DPR adalah yang modal finansialnya lebih kuat karena mampu membiayai sepenuhnya pencalegan," kata Arsul kepada kumparan, Senin (2/1).

"Akibatnya, para kader parpol yang hanya punya modal sosial tapi cekak modal finansialnya banyak yang tersingkir," imbuhnya.

TERIMA KASIH SUDAH MEMBACA LINTASATJEH.COM

Golkar
Waketum Partai Golkar Ahmad Doli Kurnia menilai perubahan sistem pemilu menjadi terbuka menjadi tertutup bisa memunculkan persoalan baru. Doli berharap MK dapat mengambil posisi yang netral, objektif, dan memahami posisi UU Pemilu yang sangat kompleks.

"Bila terjadi perubahan pasal secara parsial dan sporadis satu atau dua pasal berdasarkan putusan MK, apalagi dalam masa kita sudah memasuki tahapan pemilu seperti saat ini, maka itu akan dapat menimbulkan kerumitan baru dan bisa memunculkan ketidakpastian hukum dalam pelaksanaan Pemilu 2024," kata Ketua Komisi II DPR RI itu kepada wartawan, Kamis (29/12).

"Hukum pemilu kita seperti tambal sulam. Tidak mencerminkan bangunan sistem politik yang establish dan futuristik. Itu yang harus menjadi dipertimbangkan oleh MK," ujar Doli.

Gerindra
Waketum Partai Gerindra Habiburokhman memilih pemilu dengan proporsional terbuka. Menurutnya, sistem ini membuktikan caleg mana yang betul-betul bekerja keras.

"Kenapa? Karena dengan sistem [proporsional terbuka] tersebut, siapa yang benar-benar kerja keras pasti akan mendapatkan hasilnya," kata Habiburokhman dalam pernyataan tertulisnya, Selasa (3/1).

"Sepanjang tiga pemilu terakhir, banyak sekali tokoh-tokoh yang aktif di arus bawah bisa dapat kursi, walau nomor urutnya di bawah. Dengan sistem terbuka, semua caleg [jadi] bekerja keras," sambungnya.

Ketua Harian DPP Gerindra Suami Dasco Ahmad pun menegaskan partainya mengedepankan asas keadilan dan pemerataan. Menurutnya partai baru yang ingin berkontestasi dalam Pemilu 2024 akan sulit apabila sistem pileg proporsional tertutup.

"Kita juga memberikan kesempatan kepada kader-kader partai itu untuk lebih giat melakukan sosialisasi, kampanye, apabila dilakukan itu dalam proporsional terbuka," kata Dasco di Komplek Parlemen Senayan, Selasa (3/1).

"Namun apapun itu, kami akan ikut ketentuan dari MK apabila sudah diputuskan," tandas Dasco.

NasDem
Sekjen Partai NasDem Johnny G Plate tidak habis pikir ada parpol yang ingin pemilu proporsional tertutup. Menurutnya, hal itu sama saja seperti merampas hak konstitusi masyarakat.

"Yang mendukung proporsional tertutup kemungkinan berasal dari kelompok oligarki dari tokoh-tokoh galau internal parpol yang ingin merebut kekuasaan secara paksa, tidak melalui pemilihan umum legislatif yang terbuka dan fair," kata Plate saat dikonfirmasi, Jumat (30/12).

"Negosiasi coblos caleg dan tanda gambar parpol merupakan bagian dari paket kesepakatan pansus atas beberapa butir isu krusial termasuk isu Presidential Threshold saat pembahasan kodefikasi UU Pemilu oleh Pansus Pemilu DPR RI 2014/2019," kata Plate.

Ketua DPP Partai NasDem Willy Aditya pun menilai pemilu proporsional tertutup tidak demokratis dan menutup peluang rakyat mengenal caleg.

"Selain menutup peluang rakyat untuk mengenal caleg, rakyat juga dipaksa memilih 'kucing dalam karung'," ungkap Willy dalam pesan tertulisnya, Jumat (30/12).

Demokrat
Sekretaris Majelis Tinggi Partai Demokrat Andi Mallarangeng mengkritik keras wacana Pemilu 2024 kembali ke sistem proporsional tertutup. Menurutnya, sistem ini memangkas hak rakyat dalam memilih wakil daerah dan merupakan kemunduran demokrasi.

"Kalau benar kita kembali ke sistem proporsional tertutup, itu adalah kemunduran demokrasi di Indonesia. Yang muncul adalah kader-kader jenggot yang berakar ke atas, tidak mengakar ke rakyat," kata Andi dalam pernyataannya, Kamis (29/12).

"Selama Orde Baru, dengan sistem proporsional tertutup, yang terjadi adalah tampilnya anggota-anggota parlemen yang tidak dikenal oleh rakyat yang diwakilinya. Resepnya [saat itu] adalah dekat-dekatlah kepada pimpinan partai. Dekat kepada rakyat tidak penting," ujar dia.

PKB
Wakil Ketua Komisi II DPR RI Fraksi PKB Yanuar Prihatin menilai putusan Mahkamah Konstitusi terkait sistem pemilu proporsional terbuka pada 2008 sudah tepat. Jika MK mengabulkan gugatan judicial review dan mengembalikan sistem pemilu menjadi proporsional tertutup, maka menurutnya ada yang salah pada MK.

"Harus diingat bahwa sistem proporsional terbuka juga adalah putusan Mahkamah Konstitusi menjelang Pemilu 2009. Jika nanti MK mengabulkan gugatan judicial review ke arah proporsional tertutup, hal ini akan menjadi aneh. MK berarti punya standard ganda tentang tafsir konstitusi terkait sistem pemilu," kata Yanuar dalam keterangannya dikutip kumparan, Selasa (3/1).

Yanuar menegaskan, untuk mengubah sistem pemilu seperti judicial review, MK harus diperhitungkan dampaknya. Sebab dampak perubahan sistem proporsional ke arah yang tertutup pasti besar, bahkan bisa berimbas pada hubungan masyarakat dengan caleg.

"Bukan saja mengubah hal-hal teknis tetapi juga mempengaruhi suasana mental kebatinan dan cara kampanye partai politik. Secara teknis, proporsional tertutup memang lebih memudahkan KPU dalam mempersiapkan pemilu. Khususnya yang berkaitan dengan logistik pemilu. Namun harga yang harus dibayar cukup mahal," papar Yanuar.

PKS
PKS juga menolak usul sistem diubah menjadi tertutup. Ketua Fraksi PKS DPR RI Jazuli Juwaini menilai sistem pemilu proporsional terbuka harus dipertahankan karena lebih representatif dan demokratis.

"Rakyat bisa berinteraksi dan mengenal langsung calon anggota legislatif yang akan mereka pilih. Bisa membangun kontrak politik dan mengawal kinerja mereka selama lima tahun. Setelah itu, pada pemilu berikutnya rakyat bisa mengevaluasi apakah wakil mereka tersebut layak dipilih kembali atau tidak," kata Jazuli dalam keterangannya, Jumat (30/12).

"Kita semua berharap MK akan memutuskan secara cermat gugatan yang saat ini bergulir dengan menimbang nilai-nilai kedaulatan rakyat, representasi, dan demokrasi. Pemberlakukan sistem proporsional terbuka layak dipertahankan," pungkas Jazuli.

PAN
Ketua Fraksi PAN DPR Saleh Daulay menyebut sistem proporsional terbuka, atau memilih caleg, masih relevan bagi pemilu di Indonesia.

Ia memahami sistem proporsional terbuka mungkin dinilai tidak sempurna, salah satunya karena dianggap membuka peluang money politics. Namun, kata dia, seharusnya instrumen pengawasan yang diganti untuk meminimalisir politik uang bukan sistem pemilu.

"Demokrasi itu intinya adalah partisipasi dan keterbukaan. Semakin tinggi partisipasi publik, semakin bagus kualitasnya. Sebaliknya, demokrasi akan mundur jika keterlibatan publik dipinggirkan. Apalagi penentuan calon wakil rakyat dilakukan secara tertutup dan terkonsentrasi pada lingkup internal partai politik," kata Saleh.

Ketua Umum Perempuan Amanat Nasional (PUAN) Intan Fauzi menial sistem terbuka memenuhi prinsip.equality before the law (persamaan di hadapan hukum). Sebab berkaca pada pemilu sistem proporsional tertutup, lanjut Intan, caleg perempuan seringkali ditempatkan di nomor urut buntut, setelah petahana legislator, pengurus harian partai, dan kalangan elite partai.

“Dalam sistem proporsional terbuka, semua kader punya kesempatan yang sama untuk terpilih. Hal ini baik bagi caleg perempuan,” kata Intan Fauzi, Selasa (3/1).

“Sistem proporsional terbuka adalah solusi tepat untuk memenuhi keterwakilan 30 persen perempuan di parlemen, tanpa menciderai hak masyarakat untuk menentukan wakil-wakilnya di parlemen,” beber Intan.[kumparanNEWST]

Komentar

Tampilkan

Terkini