-->

Problematika Anggota KPPS Banyak yang Jatuh Sakit dan Meninggal pada Pemilu Tahun 2019

28 Mei, 2023, 11.39 WIB Last Updated 2023-05-28T04:39:32Z
PEMILIHAN UMUM (Pemilu) termasuk juga pemilihan kepala daerah (plikada/pemilihan) secara langsung oleh rakyat merupakan sarana perwujudan kedaulatan rakyat guna menghasilkan pemerintahan negara yang demokratis berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945. penyelenggaran pemilu dan pilkada  secara langsung, umum, bebas, rahasia, jujur,  dan adil dapat terwujud apabila dilaksakan oleh penyelenggara pemilu yang mempunyai integritas, profesionalitas, dan akuntabilitas.

Pemilu merupakan salah satu elemen terpenting untuk merawat kedaulatan rakyat, karena meletakan rakyat  sebagai titik utama yang memegan kedaulatan primer. Indonesia telah meyelenggarakan lima kali pemilu legislatif dan empat kali pemilu presiden pasca reformasi, yang dimulai tahun 1999, 2004, 2009, 2014 dan tahun 2019..

Pemilu tahun 2019 merupakan penyelenggaran pemilu serentak pertama yang menggabungkan pemilihan anggota DPR, DPD, dan DPRD serta pemilu Presiden dan Wakil Presiden. 

Pemilu 2019 tersebut dilaksanakan  bedasarkan Undang Undang Nomor 7 Tahun 2017 Pemilihan Umum (UU Pemilu). UU Pemilu ini meyederhanakan dan menyelaraskan  beberapa pengaturan pemilu dalam satu Undang-Undang. Pengaturan pemilu yang disatukan tersebut adalah: UU Nomor 42 tahun 2008 tentang pemilihan Presiden dan Wakil Presiden, UU Nomor 15 tahun 2011 tentang penyelenggara Pemilihan Umum, dan UU Nomor 8 tahun 2012 tentang Pemilihan Umum Anggota  DPR, DPD, dan DPRD.

Kini, kita telah memulai Tahapan Pemilu 2024. pelaksanaan pemilu serentak di tahun 2024 masih menggunakan Undang-Undang Pemilu yang menjadi dasar pelaksanaan Pemilu 2019.  Berdasarkan pengalaman di tahun 2019, terdapat beberapa problema yang harus diantisipasi dengan memperbaiki atau menyempurnakan regulasi untuk Pemilu 2024.

Namun, kita ketahui bersama belum ada revisi yang dilakukan untuk mengantisipasi dan mencegah kelemahan dan permasalah yang akan timbul pada pelaksanaan pemilu serentak tahun 2024.

Lebih dari 400 anggota KPPS tercatat meninggal dunia pasca Pemilu 2019 ada yang menilai kecapekan dan juga menduga karena diracuni, bagaimana fakta sebenarnya. Pemilu 2019 adalah pemilu yang paling melelahkan, pemilu serentak pertama dimana memilih Presiden dan Wakil Presiden berbarengan memilih Anggota DPR RI, DPR Provinsi, DPR Kabupaten/Kota dan DPD.

Ada 5 surat suara yang harus di coblos berbareng oleh para pemilih, para pemilih saja banyak yang kualahan membuga ragam surat suara apalagi petugas pelaksana, dari mengamankan, menyediakan tempat penmunggutan suara, mengawal pelaksana pemilu hingga rekapitulasi. 

Sungguh padat rangkaiannya, banyak yang tidak tidur dibuatnya. Pesta demokrasi ini harus membayar mahal dengan hilangnya 450an pahlawan pemilu petugas KPPS. Beberapa investigasi yang mereka lakukan itu cukup mengagetkan. Karena modus dari meninggalnya juga sebagiannya ada kemungkinan adanya racun.

Pemilu serentak tahun 2019 memang telah amat melelahkan, tapi ya, tidak menilai adanya indikasi petugas KPPS tewas karena diracuni. Dari data KPU RI ada 400 orang lebih meninggal dunia, dan sekitar 4.310 orang sakit sementara dari pihak kepolisian ada 22 anggota yang gugur karena keletihan.

Petugas KPPS yang meninggal ini tersebar 30 Provinsi di Jawa Barat tertinggi ada 100 orang meninggal dunia disusul di Jawa Timur 39 orang meninggal dunia dan banten 21 orang meninggal dunia.

Jika kita bandingkan dengan Pemilu tahun 2014 ada 144 orang meninggal dunia memang jumlahnya jauh lebih sedikit, namun kita bandingkan dari sisi pekerjaan petugas KPPS hanya menampung 4 surat suara. Dan yang terpenting lagi bahwa sebelumnya bukan pemilu serentak, sehingga bebannya tidak seberat di pemilu 2019.

Pesta demokrasi 17 April 2019 mengisakan cerita duka, pemilu serentak ini terasa begitu mahal sampai harus menelan korban jiwa hingga  1 Mei 2019 tercatat ada 380 anggota petugas KPPS meninggal dunia dan 4310 anggota petugas KPPS sakit.

Over time atau waktu kerja yang berlebihan di kritisi menjadi penyebab banyak korban yang meninggal dan sakit, banyaknya petugas KPPS  meninggal dunia maupun sakit menjadi catatan kelam KPU selaku penyelenggara pemilu. Atas peristiwa ini KPU berjanji akan segera menyelesaikan prosedur santunan untuk keluarga yang bersangkutan. Dua pekan pasca pemilihan umum 17 April 2019 jumlah petugas pemilu meninggal dunia dan sakit bertambah. 

TERIMA KASIH SUDAH MEMBACA LINTASATJEH.COM 

Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia turut menyoroti banyaknya petugas KPPS yang meninggal dunia dan sakit saat bertugas, FKUI menyatakan kinerja para petugas KPPS saat pemilu luar batas kemampuan manusia.

Didampingi Ketua KPU Arif Budiman Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia akan melakukan penelitian lebih dalam atas insiden petugas KPPS pasca pemilu. Dekan FKUI juga menyarankan adanya sistem shif dalam bekerja KPPPS selain itu juga menghimbau memeriksa kesehatan sebelum dan setelah bertugas.

Menteri Kesehatan RI melakukan pertemuan dengan ketua KPU untuk membahas penyebab ratusan petugas KPPS yang meninggal dunia, sementara itu KPU menilai usulan membentukan tim investigasi meninggalnya petugas KPPS tak relevan dengan kondisi saat ini. 

Berdasarkan hasil audit medis yang dilakukan Kementrian Kesehatan dari data yang diperoleh dari Dinas Kesehatan DKI Jakarta tercatat sebanyak 18 petugas KPPS DKI Jakarta meninggal dunia dan 2641 petugas KPPS jatuh sakit, 8 dari 18 petugas KPPS disebabkan sakit jantung mendadak sementara beberapa petugas yang lainnya meninggal karen penyakit hati dan gagal pernafasan.

Dari segi usia sebagian besar meninggal di atas usia 50 tahun, bila menilai  faktor banyanya petugas meninggal bisa di sebabkan oleh ketidaktahuan mereka akan kondisi kesehatan, sehingga  saat dibebani jam kerja panjang dan stres dapat memicu gangguan kesehatanya dapat menyebabkan fatal.

Pembentukan investigasi menduga kejanggalan meninggalanya rastusan petugas KPPS sebelumnya diusulkan oleh Wakil Ketua DPR Fahri Hamzah. KPU mengakui saat ini pihaknya bersama Kementrian Kesehatan sedang melakukan audit medis untuk mengetahui penyebab meninggalnya. Sekretatiat KPU mengatakan sudah ada  456 petugas KPPS meninggal dunia dan 4310 petugas KPPS sakit.

Ikatan Dokter Indonesia (IDI) menyebut penyebab utama kematian ratusan petugas KPPS pada pemilu 17 April bukanlah kelelahan, penyakit sebelum diderita seperti jantung dan juga saraf menjadi pemicu meninggalnya petugas KPPS.

Ketua IDI menyatakan dalam diskusi terbuka di kantor Ikatan Dokter Indonesia banyaknya petugas KPPS yang meninggal memang perlu di teliti lebih jauh, hal ini juga sebagai dasar untuk memberikan rekomendasi kepada komisi pemilihan umum dalam penyelenggaraan pemilu yang akan datang. 

Menurut Ketua Umum DPP Advokasi Rakyat untuk Nusantara (ARUN), Bob Hasan terdapat hal janggal dari gugurnya mereka, sebab penyelenggara pemilu tahun 2019 tidak berbeda jauh dibandingkan dengan pemilu lima tahun lalu. Sementara itu, Sekjend DPP ARUN Bungas T Fernando mengatakan kejadian serupa  juga terjadi di lima tahun lalu, seharusnya KPU dapat mengantisipasinya.

Selain itu, pihaknya juga melihat masih adanya masalah pada saat pemungutan suara saat pemilu. Bungas menegaskan, KPU harus bertanggungjawab atas banyaknya korban jiwa tersebut. Pesta demokrasi harusnya tidak menghadirkan korban, Wakil MPR RI Hidayat Nur Wahid menyayangkan banyaknya korban meninggal dunia yang kelelahan saat bertugas menjadi anggota kelompok penyelenggara pemungutan suara (KPPS).

Ia mengatakan hal tersebut tak seharusnya terjadi. Sebab, pemilu merupakan pesta demokrasi yang harus disambut dengan suka cita tanpa ada duka. “sistem pemilu yang sekarang sedang diberlakukan ini adalah tidak sesuai dengan harapannya, bahkan harus dievaluasi karena pastilah  demokrasi adalah pesta dan pesta itu harusnya tidak menghadirkan korban dan ini korbannya sudah sangat banyak”.

Departemen Politik dan Pemerintahan Fisipol UGMsudah melaksakan penelitian terkait penyebab kematian KPPS dalam Pemilu 2019. Penelitian ini melibatkan Fakultas Kedokteran dan Fakultas Psikologi UGM. Abdul Gaffar Karim,  dari Departemen tersebut menyatakan di DIY tercatat ada 12 KPPS dan 2 pengawas yang meninggal. Seluruh korban berjenis kelamin laki laki, dalam rentang usia 46-67 tahun dan 90%  diantaranya perokok aktif.

Penelitian forensik verbal ini dilakukan dengan menanyakan aktivitas selama 24 jam terakhir dari mereka yang meninggal itu. “Kesimpulannya memang, terutama karena kelelahan, bebang kerja yang terlalu berat tapi juga karena kesehatan yang tak prima. Jadi semua yang meninggal itu punya faktor resiko kesehatan. Bahkan ada yang punya istilahnya multiple morbidities, kata para dokter yang sakit lebih dari satu. Ada diabetes, ada yang jantung, ada juga yang sebelumnya mengalami stoke," kata Gaffar.

Para penelitian ini juga menyimpulkan, beban kerja yang berat memicu kelelahan. Dampak lanjutan dari kelelahan adalah penyakit penyakit para petugas muncul ke permukaan. Penelitian berkeyakinan, para petugas sebelumnya memang memiliki masalah kesehatan  seperti diabetes atau jantung.

Namun jika tidak tekanan kerja yang berlebihan, faktor resiko dimungkinkan tidak muncul begitu cepat. Selain itu,  hoax selama pemilu juga berperan karena terbukti membuat stress sejumlah petugas KPPS. Banyaknya korban yang meninggal dan sakit anggota KPPS di Tahun 2019 menjadi pembelajaran untuk kita semua dan khususnya untuk KPU itu sendiri. 

Pemilu serentak 2019 dikritik sejumlah pihak karena tidak mengantisipasi beban kerja Kelompok Penyelenggara pemungutan Suara (KPPS), menenggelamkan informasi tentang kandidat calon anggota legislatif, dan membuat hak memilih warga Negara Indonesia di luar negeri hilang.

Persoalan tersebut menjadi catatan penting bagi pemerintah. Jika dalam pelaksanaan pemilu selanjutnya Tahun 2024 dinilai untuk menambah anggota KPPS, maka hal itu bisa saja dilakukan dengan merevisi Undang Undang pemilu. 

Hanya saja, jika merujuk pada Undang Undang Pemilu saat ini, jumlah KPPS tak bisa diutak atik lagi yang hanya berjumlah tujuh orang. Itu semua ada di Undang undang kita tidak bisa sembarangan menambah petugas petugas itu, semua sudah ditetakan di undang-undang. 

Pemerintah juga harus menyiapkan beberapa opsi pelaksanaan Pemilu 2024, melihat pada masalah yang timbul pada Pemilu 2024, yakni mengubah sistem keserentakannya, dibagi menjadi serentak nasional dan serentak daerah atau serentak eksekutif dan serentak legislatif.

Permaslahan permasalahan diatas dapat diantisipasi dengan adanya regulasi yang memadai agar tercipta pemilu yang rasional, manusiawi, dan menejemen pemilu yang lebih baik untuk menjamin kualitas pemilu yang langsung, umum, bebas, rahasia, jujur dan adil. 

Selain itu juga dapat menghindarkan penyelenggara dari beban kerja yang berlebihan sehingga terhindar dari hal-hal yang berakibat buruk bagi kesehatan bahkan mengancam keselamatan jiwa. 

Pelaksanaan tahapan pemilu pada Tahun 2024 tidak akan berjalan lancar sebagaimana yang diharapakn jika tidak dilakukan rekontruksi (penataan ulang)  dan harmonisai regulasi. Dengan tidak berubahnya UU pemilu dan UU pilkada. Maka harapan pengaturan regulasi terhadap teknis setiap tahapan pemilu kini ada pada Peraturan KPU (PKPU).

Baik UU Pemilu maupun UU Pilkada memberikan kewenangan kepada KPU untuk membentuk PKPU sebagai pelaksana undang-undang. Kewenangan tersebut menjadi peluang bagi KPU untuk mengatur sekaligus mengantisipasi persoalan persoalan pada penyelenggara pemilu dan pemilihan sebelumnya. 

Meskipun demikian bedasarkan prinsip  hirarki norma hukum, tentu saja norma norma dalam PKPU tidak boleh bertentangan dengan perangkat regulasi diatasnya, dalam hal ini UU Pemilu dan UU Pilkada serta undang-undang terkait lainnya. PKPU yang akan disusun dan di undangkan haruslah memerhatikan kerangka waktu dan pembahasannya juga harus dilakakuan dengan matang. 

Maksudnya, waktu penetetapan PKPU harus dilakukan jauh hari sebelum dimulainya tahapan, agar supaya terdapat masa waktu bagi penyelenggaran untuk memahami substansi pengaturan dalam norma norma PKPU. Internalisasi dan Bimbingan Teknis (Bimtek) harus detail agar supaya persepsi  penyelenggara benar benar peripurna untuk menghindari kesalahan dan pelanggaran dalam pelaksanaan tugas.

Disamping itu, harus terdapat waktu yang cukup untuk melakukan penyuluhan dan sosialisasi PKPU kepada pemilih dan peserta pemilu serta para pemangku kepentingan. Sosialisasi dan penyuluhan yang sangat terbatas, akan menyebabkan pemahaman dari berbagai pemangku kepentingan menjadi tidak sama dan berpotensi akan banyak terjadi sengketa dalam penyelenggara pemilu maupun pilakada.

Pasca penetapan jadwal dan penetapan Pemilu 2024, baik pemilu nasional maupun pilkada 2024. Maka KPU sebagai salah satu penyelenggara pemilu perlu mempersiapkan diri dalam mengahadapi pesta demokrasi yang akan dilaksanakan serentak. KPU tidak boleh lenggah dalam melakukan persiapan agar pemilu dan pilkada 2024 berjalan dengan baik, dibandingkan dengan pemilu dan pilkada 2019.

Salah satu aspek yang harus menjadi perhatian dalam persiapan adalah guide dalam penyelenggaraannya. Penyusunan peraturan sebagai bagian dari tahapan pemilu harus mampu menjadi solusi bagi persoalan persoalan yang dialami dalam pemilu dan pilakada sebelumnya. 

Meskipun PKPU memiliki keterbatasan karena tidak bisa mengatur hal yang telah jelas diatur oleh undang undang. Namun setidaknya terdapat peluang peluang yang dapat dimanfaatkan Ketika rekontruksi terhadap regulasi. Kita berharap regulasi dalam hal ini PKPU akan bisa direkontrksi lagi dan mampu membuka pintu solusi bagi permasalahan permasalahan dalam pemilu dan pemilihan seretak 2024.

Penulis: Raja Khairul Ihsan Siregar (Pemerhati Demokrasi)
Komentar

Tampilkan

Terkini