MENURUT bahasa Alas mangekhi artinya tepung tawar atau peusijuek dalam bahasa Aceh pesisir. Mangekhi dilakukan pada malam hari setelah shalat isya sekitar pukul 08.00 wib sampai dengan pukul 10.00 wib. Pada saat dipangekhi baik pengantin laki-laki maupun pengantin perempuan harus menggunakan pakaian menurut adat istiadat suku Alas, yaitu mengenakan pakaian seperti pakaian yang dikenakan pada waktu tangis dilo. (Umi Salamah, Skripsi: Budaya Tangis Dilo Pada Upacara Perkawinan Suku Alas di Kabupaten Aceh Tenggara,53-45)
Teknik meramu tawakh (alat yang digunakan untuk mangekhi) yaitu menyediakan baskom atau cambung kaca agak besar berisi air tawar setengah, lalu masukkan satu ikat ramuan daun tawakh, kemudian masukan lagi putih dan merah telur ayam kampung satu sendok teh saja ke dalam air tawakh, boleh juga digantikan supaya tidak anyir, telur ayam kampung digantikan dengan seekor siput air yang hidup yang boleh di gulai (ciihsitu dalam bahasa Alas) pada air tepung tawar itu. Sediakan juga sebuah piring putih berisi beras agak penuh.
Lalu buatkan cambung satu lagi berisi air dan masukkan cincangan jeruk purut untuk mencuci tangan setelah menepung tawari. Satu serbet bersih atau akhir-akhir ini disediakan kertas tisu putih mengeringkan tangan. Letakkan berurutan, pertama sebelah kanan adalah beras makan, baskom dan tawar, kemudian air jeruk purut, terakhir serbet atau tisu pengelap tangan.( Thalib Akbar, Sekilas Adat Tawakh (Tepung Tawar) Majelis Adat Aceh (MAA) Kabupaten Aceh Tenggara:2020:11)
Cara mangekhi atau tepung tawari mendekati pengantin yang akan di tepung tawari lalu mengambil beras dengan ujung jari dan membacakan selawat Nabi dan berdo‟a dengan tujuan mangekhi untuk minta keselamatan kepada Allah, lalu beras tersebut ditaburkan di atas ubun-ubunnya yang diadati sekali saja, selebihnya taburkan ke pangkuannya, terakhir sedikit ditaburkan di atas telapak tangan yang diadati.
Selanjutnya memercikkan air tawakh dengan menggunakan seikat daun-daun kayu tawakh mulai dari ubun-ubunnya sekali. Lalu kemudian bahu kanan, bahu kiri, dan di lanjutkan memercikkan air tawakh pada kedua telapaknya sebanyak tiga kali. Terakhir mencuci tangan dalam air jeruk purut dan mengelap tangan boleh disalamkan anak yang diadati itu.
TERIMA KASIH SUDAH MEMBACA LINTASATJEH.COM
Yang menjadi indikasi permasalahan pada adat ini adalah pada saat proses salam-salaman antara pengantin perempuan dengan tamu yang hadir serta pengantin perempuan membuka aurat rambutnya (tidak berhijab) yang tersentuh oleh para tamu. Tamu yang hadir bukan saja dari keluarga (mahram) dari pengantin wanita tersebut, melainkan juga adanya kalangan bukan mahram dari pengantin perempuan tersebut yang hadir.
Tentu saja hal tersebut tidak dihalalkan bagi laki-laki untuk menyentuh wajah, rambut dan telapak tangan perempuan yang bukan mahramnya menurut ulama, adapun yang memperbolehkannya tanpa disertai syahwat, karena menyentuh memiliki pengaruh yang lebih dari memandang dalam menimbulkan syahwat, boleh memandang bukan berarti boleh menyentuh, karena para ulama sepakat keharaman berjabat tangan dengan seorang perempuan muda yang bukan mahram.
Jadi, terapkanlah adat itu sesuai dengan peraturan yang tidak bertentangan dengan Syari`at Islam dengan cara menghadirkan para-para Ulama dan tokoh-tokoh adat yang mempunyai pengetahuan tentang adat yang sebenarnya supaya adat yang ada di tengah masyarakat sesuai dengan qanun dan ajaran islam.
Adapun yang tidak sesuai maka bisa dipelajari dan didiskusikan dengan tokoh adat bagaimana seharusnya suatu adat tersebut dilaksanakan. Serta Majelis Adat Aceh (MAA) Aceh Tenggara agar tidak hentinya melakukan bimbingan dan pembinaan adat yang ada di tengah masyarakat dan Majelis Adat Aceh (MAA) Aceh Tenggara perlu meneliti adat-adat lainnya terkait praktik adat tersebut sudah benar atau belum, dan sesuai atau belum dengan qanun dan syariat islam.
Penulis: Mhd. Iqbal (Mahasiswa Ilmu Administrasi Negara FISIP UIN Ar-Raniry)