EKONOMI POLITIK adalah cabang ilmu ekonomi yang mempelajari interaksi antara kekuatan politik dan kekuatan ekonomi dalam masyarakat. Dalam hal ini, ekonomi politik mempertimbangkan dampak kebijakan ekonomi terhadap kekuatan politik dan sebaliknya. Kebijakan proteksi adalah kebijakan ekonomi yang dilakukan oleh suatu negara untuk melindungi produksi dalam negeri dari persaingan asing, misalnya dengan memberlakukan tarif dan quota impor. Kebijakan proteksi sering kali dipertentangkan dengan prinsip-prinsip pasar bebas dan perdagangan internasional yang terbuka, namun dalam beberapa situasi dapat menjadi alat penting untuk membangun industri domestik dan meningkatkan kesejahteraan ekonomi negara.
Kebijakan proteksi seringkali terkait dengan isu populisme dan nasionalisme ekonomi. Populisme ekonomi adalah kecenderungan untuk mengadopsi kebijakan-kebijakan yang populer di kalangan masyarakat, tanpa mempertimbangkan implikasi jangka panjangnya. Sementara itu, nasionalisme ekonomi adalah ideologi yang mengedepankan kepentingan nasional di atas kepentingan internasional, terutama dalam hal perdagangan.Namun, kebijakan proteksi juga dapat menjadi strategi yang efektif untuk memperkuat industri dalam negeri dan mencapai tujuan nasional yang lebih besar. Oleh karena itu, penting bagi pengambil kebijakan untuk mempertimbangkan dampak jangka panjang dari kebijakan proteksi, dan memastikan bahwa kebijakan tersebut tidak melanggar prinsip-prinsip pasar bebas yang fundamental.
Kebijakan proteksi melalui pembatasan impor, kuota impor atau pajak tinggi terhadap barang asing sering didorong oleh argumen untuk melindungi industri dalam negeri dari persaingan global dan dominasi ekonomi asing. Namun demikian, kebijakan semacam ini dapat dipertanyakan apakah benar bertujuan melindungi ekonomi nasional atau hanya memuaskan sentiment populistik kelompok tertentu. Proteksi ekonomi dapat meningkatkan harga barang dan merugikan konsumen serta menghambat peningkatan produktivitas dan daya saing oleh karena terisolasi dari persaingan internasional. Di sisi lain, proteksi diperlukan untuk melindungi industri strategis nasional dari dominasi asing (Krueger, 1993). Proteksionisme dapat bertentangan dengan prinsip liberalisasi perdagangan dan globalisasi ekonomi dalam jangka panjang (Irwin, 2005).
Nasionalisme ekonomi, yaitu kebijakan ekonomi didorong kepentingan nasionalisme bangsa, dapat bertentangan dengan globalisasi ekonomi (Anderson dan Silver, 1987). Proteksi sering didorong nasionalisme ekonomi namun tak selalu rasional dari perspektif ekonomi (Krueger, 1993). Relasi antara populisme, nasionalisme dan proteksi perlu dikaji kritis. Kapan proteksi menjadi pelindung ekonomi bangsa dan kapan menjadi alat ambisi politik?
Beberapa faktor mempengaruhi pilihan proteksi ini termasuk: tekanan lobi domestik, persepsi ancaman impor, sikap konservatif terhadap perubahan, dan kepentingan elit politik (Irwin, 2005). Ketika proteksi menjadi populisme dan alat kekuasaan, bukannya perlindungan ekonomi, maka dapat merugikan perekonomian nasional jangka panjang. Sebaliknya, ketika diperlukan untuk melindungi industri vital dari pengambilalihan asing, proteksi dapat membantu menjaga kedaulatan ekonomi dan keamanan nasional.
Relasi antara ekonomi dan politik dalam kebijakan proteksi ini kompleks. Tantangan terletak pada mempertemukan kepentingan nasionalisme dengan prinsip globalisasi, serta mengendalikan proteksionisme demi kemanfaatan ekonomi rakyat. Penyusunan kebijakan proteksi semestinya didasarkan fakta dan analisis, bukan retorika populis semata.
Pertama, kebijakan proteksi berpotensi meningkatkan harga barang impor dan menurunkan konsumsi, karena terbatas pilihan dan persaingan harga. Kenaikan harga dapat memukul daya beli rakyat dan memperparah kemiskinan. Sebaliknya, perdagangan bebas menyebar manfaat ekonomi lebih luas ke seluruh lapisan masyarakat.
Kedua, proteksi berisiko menutup pasar negara ini dari gagasan baru, teknologi canggih dan praktik bisnis inovatif dari luar. Inovasi dan produktivitas, motor pertumbuhan ekonomi jangka panjang, menjadi terhambat. Sebagai negara berkembang, Indonesia sangat membutuhkan investasi asing dan transfer teknologi untuk mendorong daya saing.
Ketiga, proteksi kerap dimanipulasi untuk menguntungkan kelompok tertentu, bukan kepentingan umum. Bea masuk tinggi dijadikan alat `rent-seeking' para pelaku usaha untuk memperoleh keuntungan di atas rata-rata. Atau digunakan sebagai `politicking tool' untuk memuaskan tentangan dalam proses pengambilan kebijakan proteksi.
Keempat, hubungan antara proteksi ekonomi, populisme dan nasionalisme erat namun kompleks. Proteksi tidak selalu berasal dari kerinduan populisme 'mengutamakan produk dalam negeri'. Namun kerap dijadikan senjata politik untuk mengangkat isu populis dalam kampanye. Sementara nasionalisme ekonomi bisa mendorong proteksi substansial, tetapi proteksi populistik tidak selalu bermanfaat bagi nasionalisme ekonomi jangka panjang.
TERIMA KASIH SUDAH MEMBACA LINTASATJEH.COM
Kesimpulannya, kebijakan proteksi perlu disusun dengan cermat dan didasarkan analisis komprehensif, bukan semata-mata sentiment populis atau nasionalisme sempit. Proteksi hanya dibenarkan dalam batas-batas tertentu dan untuk melindungi industri vital, bukan dalam rangka mendukung ambisi politik atau kepentingan sektoral semata. Relasi ekonomi dan politik dalam kebijakan proteksi ini sangat kompleks, sehingga penanganannya menuntut kehati-hatian.
1. Kebijakan proteksi menimbulkan dilema "populisme vs ekonomi". Proteksi didasarkan sentimen "kehormatan produk dalam negeri", dapat mengabaikan argumentasi ekonomi dan berdampak kontraproduktif, misalnya hambatan inovasi dan produktivitas. Pilihan kebijakan semestinya berbasis kajian ekonomi, bukan populisme belaka.
2. Proteksi mengurangi pilihan dan menaikkan harga barang konsumsi, khususnya barang impor dan barang substitusinya. Kenaikan harga dapat menekan konsumsi dan daya beli masyarakat. Sejalan dengan proses globalisasi dan perdagangan bebas, perlu diantisipasi pengaruh negatif proteksi terhadap konsumen.
3. Proteksi berpotensi menciptakan "rent-seeking" dan"moral hazard". Bila diinterpretasi sebagai alat upaya memperoleh keuntungan di atas rata-rata oleh kelompok tertentu (rent-seeking), maka akan merugikan kepentingan sosial. Sedangkan pemberian proteksi secara terus-menerus dapat menciptakan perilaku tak bertanggungjawab (moral hazard) bagi industri domestik. Perlu "exit policy" jelas dalam proteksi.
4. Terdapat tekanan perluasan proteksi dari kelompok domestik tertentu, tetapi juga tekanan peningkatan liberalisasi pasar dari mitra dagang dan institusi dunia. Kebijakan proteksi perlu berimbang mengutamakan kepentingan nasional jangka panjang tanpa berkonflik dengan komitmen negara pada perdagangan bebas dunia.
5. Proteksi kerap dilakukan atas dasar alasan keamanan nasional, ketahanan pangan, dan industri nasional strategis. Namun proteksi tanpa analisis teknis, menggunakan-motif seperti ini dapat bertentangan dengan prinsip pembangunan berkelanjutan. Perlu penetapan kriteria yang jelas dalam mengidentifikasi dan memberikan proteksi industri strategis.
6. Proteksi dapat menyebabkan ditetapkannya tarif tinggi, kuota impor maupun non-tariff barriers (NTB). Tarif tinggi membuat harga barang impor naik dan mengurangi konsumsi, sementara kuota dan NTB membatasi volume impor. Ketiga instrument ini dapat menghambat perdagangan bebas dan spesialisasi antarnegara.
7. Efek proteksi bersifat asimetris. Proteksi menguntungkan industri domestik tertentu tetapi merugikan industri lainnya dan sektor lain perekonomian. Misalnya, proteksi industri otomotif naikkan harga baja menyulitkan industri konstruksi. Analisis dampak efek menyeluruh proteksi penting untuk mengoptimalkan manfaat dan meminimalkan kerugian.
8. Proteksi kerap digunakan negara-negara maju berkembang untuk menjaga industri-industri strategis dari dominasi pemain asing. Namun proteksi secara berkepanjangan dapat menjadikan industri domestik tidak kompetitif dan ketergantungan pada proteksi. Perlu "exit policy" transparan dalam jangka waktu tertentu.
9. Isu proteksi biasanya mencuat seiring perubahan lingkungan strategis seperti perjanjian perdagangan bebas. Proteksi menjadi alat untuk menutup "celah" perdagangan akibat komitmen liberalisasi. Namun penarikan diri dari komitmen liberalisasi kerugian lebih besar bagi perekonomian.
10. Perdebatan proteksionisme vs liberalisasi perdagangan menjadi konflik klasik dalam ekonomi internasional. Kedua pendekatan memiliki pro dan kontra; pilihan semestinya berbasis analisis komprehensif, bukan dogma ideologis. Relasi negara dan pasar global erat; proteksi sekalipun tak bisa dilepaskan dari dinamika perdagangan global.
Referensi:
Anderson, K. dan Silver, P.J. 1987. Proteksianisme: Sejarah, Teori dan Praktik. Oxford University Press.
Irwin, Douglas A. 2005. Proteksionisme dan Perdagangan Dunia. Harvard UP.
Krueger, Anne O. 1993. Proteksionisme Kesayangan. MIT Press.
Penulis: Ade Alfikri (Mahasiswa Prodi Ilmu Politik Universitas Syiah Kuala)