Ketua Mahkamah Konstitusi Anwar Usman (Foto: Net)
LINTAS ATJEH | JAKARTA - Sejumlah pakar hukum menilai keputusan Mahkamah Konstitusi memperpanjang masa jabatan pimpinan KPK dari 4 tahun menjadi 5 tahun sarat kejanggalan. Kejanggalan tersebut dianggap sudah terlihat dari putusan yang dinilai melampaui kewenangan MK hingga pelaksanaan putusan tersebut.
Gugatan uji materi tersebut diajukan oleh Wakil Ketua KPK Nurul Ghufron. Awalnya, Ghufron mengajukan uji materi soal syarat minimal usia pimpinan KPK dalam revisi terbaru yang ditetapkan oleh DPR dan pemerintah pada 2019. Dalam UU KPK yang lama batas usia calon pimpinan KPK hanya 40 tahun sementara dalam revisi terbaru menjadi 50 tahun.
Batasan usia ini membuat Ghufron tak lagi bisa mengikuti seleksi calon pimpinan KPK yang rencananya akan digelar akhir tahun ini. Pasalnya, Ghufron masih berusia 48 tahun.
Namun pada masa perbaikan dokumen uji materi ini merembet pada masa jabatan pimpinan KPK. Nurul Ghufron ikut memasukkan Pasal 34 yang membahas soal itu.
Berikut kejanggalan putusan MK tersebut menurut sejumlah pakar hukum:
MK tak berhak jadi positive legislator
Ahli hukum dari Universitas Negeri Imam Bonjol, Rony Saputra, mempertanyakan soal putusan Mahkamah Konstitusi yang membuat norma baru dengan memperpanjang masa jabatan pimpinan KPK. Menurut dia, hal ini melampaui kewenangan MK.
Dia menjelaskan, Undang-Undang Dasar 1945 mengatur pemerintah dan DPR sebagai pembuat undang-undang dan norma di dalamnya atau positive legislator.
“Perpanjangan masa jabatan hingga penentuan syarat usia wewenang sepenuhnya pembentuk undang-undang,” kata dia.
Sementara Mahkamah Konstitusi, menurut UU MK merupakan negative legislator yang hanya berhak untuk membatalkan sebuah undang-undang atau norma di dalamnya jika bertentangan dengan UUD 1945. Hal itu, menurut dia, tercantum dalam Pasal 56 dan 57.
Soal masa jabatan merupakan Open Legal Policy
Pakar hukum tata negara dari Universitas Negeri Andalas Feri Amsari mengatakan MK pun telah melampaui wewenang karena memutuskan hal yang menyangkut open legal policy. Open legal policy merupakan kebijakan yang hanya bisa dibuat oleh pembentuk UU, yakni pemerintah dan DPR.
“Jika ada gugatan dalam ketentuan open legal policy, MK biasanya menolak memutuskan perkara itu karena memang tidak berwenang,” kata dia.
TERIMA KASIH SUDAH MEMBACA LINTASAJEH.COM
Selanjutnya, pertimbangan MK soal independensi dinilai tak tepat
Dalam putusannya, MK menyatakan perpanjangan masa jabatan pimpinan KPK dari empat tahun menjadi lima tahun perlu dilakukan untuk menjaga independensi lembaga tersebut. Hakim Konstitusi Arief Hidayat saat membacakan pertimbangan putusan mengatakan skema masa jabatan 4 tahun telah menyebabkan pimpinan KPK dapat dipilih dua kali dalam satu masa jabatan Presiden dan Anggota DPR, yaitu 5 tahun.
Arief mencontohkan untuk periode masa jabatan presiden dan DPR 2019-2024. Dalam satu periode itu, kata dia, pimpinan KPK diseleksi dan direkrut sebanyak dua kali, yakni pada Desember 2019 dan Desember 2023.
Penilaian sebanyak dua kali itu, menurut dia dapat mengancam independensi pimpinan KPK yang merupakan manifestasi dari kinerja KPK. “Pelaksanaan seleksi sebanyak dua kali tidak hanya berpengaruh pada independensi, tetapi juga beban psikologis, dan benturan kepentingan terhadap pimpinan KPK yang hendak mendaftarkan diri kembali pada seleksi calon pimpinan berikutnya,” kata dia.
Pertimbangan MK ini mendapat kritikan dari Guru Besar Hukum Tata Negara Universitas Padjajaran, Susi Dwi Harijanti. Susi menilai masa jabatan tak relevan untuk mengukur independensi KPK.
"Apakah pimpinan sebelumnya yang menjabat 4 tahun tidak menunjukkan independensi dan integritas mereka? Putusan itu tidak bisa menjawab pertanyaan ini," kata Susi
Masa berlaku putusan bermasalah karena retroaktif
MK menyatakan bahwa putusan tersebut berlaku sejak dibacakan. Dengan begitu, masa jabatan Firli Bahuri cs yang seharusnya berakhir pada Desember 2023 diperpanjang menjadi Desember 2024.
Pakar hukum tata negara Bivitri Susanti mengatakan putusan MK seharusnya berlaku untuk periode pimpinan KPK selanjutnya, bukan periode Firli Bahuri. Dia mengatakan apabila putusan tersebut mulai berlaku sekarang, maka berlaku asas retroaktif atau berlaku surut.
“Harusnya tidak diberlakukan saat ini, karena apabila diberlakukan saat ini artinya putusan itu retroaktif,” kata Bivitri saat dihubungi, Jumat, 26 Mei 2023. “Kalau diterpakan ke Firli dkk artinya kita memundurkan waktu dijalankannya putusan itu,” kata Bivitri.
Pakar hukum tata negara dari Universitas Gadjah Mada Zainal Arifin Mochtar juga berkata demikian. Dia mengatakan perpanjangan masa jabatan pimpinan KPK tidak bisa diberlakukan pada periode Firli Bahuri Cs. Terlebih, kata dia, dalam putusannya MK tidak menyebut secara lugas kapan transisi mulai berlakunya masa jabatan lima tahun tersebut.
“Artinya apa, Firli berhenti pada 2023 karena perencanaan mereka hanya empat tahun dari awal,” kata dia.[tempo.co]