SAAT INI media lokal merupakan wadah bagi demokrasi yang terjadi di Indonesia. Media lokal berperan sebagai penghubung interaksi antara kelompok sosial, individu, masyarakat, lembaga, institusi, dan lainnya dengan memberikan berbagai informasi terutama dalam bidang politik. Oleh karena itu, media telah menjadi wadah dalam menampung opini-opini publik dan memunculkan wacana-wacana di dalam masyarakat.
Adanya media lokal membantu masyarakat untuk mengetahui berbagai informasi keputusan yang dihasilkan oleh pengambil kebijakan. Bagi pemerintah, adanya media lokal dapat membantu diperolehnya masukan dari publik demi tercapainya tujuan dalam pemerintahan.
Media massa memiliki kebijakan masing-masing dalam menyampaikan berita atau peristiwa dalam sudut pandangnya. Sudut pandang tersebut berupa apakah peristiwa tersebut layak diberitakan atau tidak dan penting tidaknya suatu berita.
Melalui analisa media massa diharapkan segala bentuk wacana bisa dibaca dengan baik oleh masyarakat, terutama dari dominasi pemberitaan di Aceh akibat perselisihan antara kepentingan pemerintah pusat dan pemerintah daerah. Pada pemilihan umum kepala daerah (Pemilukada) Aceh 2012, terdapat dua media massa yang mengusung realitas polemik calon independen Pemilukada.
Dalam Pemilukada, calon independen diberikan hak perseorangan untuk mencalonkan diri sebagai kepala daerah dan wakil kepala daerah tanpa harus melalui partai politik (parpol) sesuai dengan pasal 67 ayat 2 Undang-Undang (UU) Pemerintah Aceh. Hak perseorangan tersebut membuat masyarakat sadar terkait keikutsertaannya dalam konstitusi. Pada Undang-undang No 31 Tahun 2022 berbunyi bahwa partai politik merupakan salah satu wujud pastisipasi masyarakat yang penting dalam mengembangkan kehidupan demokarsi.
Pencalonan secara perseorangan baik dilakukan karena jabatan sebagai Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah adalah jabatan perseorangan dimana hal itu memberikan peluang agar Pemilukada menjadi lebih demokratis.
Framing dalam media massa sangat penting digunakan untuk menyeleksi isu dan melakukan pemberitaan. Dengan adanya framing, media dapat menentukan fakta-fakta yang akan diambil, opini yang diberitakan atau di hilangkan serta tujuan arah berita. Hal tersebut dilakukan dengan tujuan memanipulasi dan mendominasi suatu peristiwa agar tak terelakkan dan menjadi perhatian publik.
Seseorang melakukan framing dengan menonjolkan aspek-aspek tertentu dari realita agar infomasi yang berikan menjadi lebih bermakna, menarik, berarti, serta diingat oleh masyarakat. Framing dapat dilakukan dengan strategi pengulangan, penggunaan grafis yang mendukung, penempatan yang mencolok, pemakaian label tertentu dan penekanaan akan simbol seperti budaya.
Perselisihan kepentingan antara media lokal dengan elit politik dalam polemik Aceh 2012 disebabkan oleh berita pada media massa dalam mengkonstruksi dan membingkai polemik calon independen. Terdapat pengaruh internal dan eksternal pada media massa dalam memberitakan suatu hal. Faktor eksternal tersebut seperti faktor ekonomi yaitu pemodal, khalayak, dan pengiklan.
Hal tersebut secara tidak langsung menyatakan bahwa media massa merupakan produsen budaya dengan tujuan bisnis untuk mencari keuntungan dengan ideologi kapitalisme yang dimilikinya. Berita pada media massa memang tidak mencerminkan kapitalisme tersebut, namun berita yang disampaikan lebih mementingkan untuk melayani akan kepentingan pasar. Kenyataannya, bisnis media telah menjangkau kemana-mana namun kontrol kepemilikan hanya terpusat kepada beberapa orang saja. Sedangkan, pada faktor internal berupa sikap, nilai, kepercayaan jurnalis dalam ideologi, politik, agama, dan etnisitas.
TERIMA KASIH SUDAH MEMBACA LINTASATJEH.COM
Beberapa pemodal, penguasa elite, dan pengusaha saling berkolaborasi untuk mengatur isi media massa yang diberitakan. Oleh karena itu, kebebasan para jurnalis maupun pers dipengaruhi oleh propaganda-propaganda dari beberapa tokoh penting dalam masyarakat dengan kepentingan pribadinya masing-masing. Setiap berita telah dikonstruksi oleh para pemodal, penguasa elite, dan pengusaha dengan kekuatan politik dan ekonomi bisnisnya. Hal tersebut dilakukan semata-mata untuk memperoleh keuntungan pribadi saja.
Pemberitaan Media: Polemik Demokrasi Pemilukada Aceh 2012
Pada polemik calon independen pada Pemilukada di Aceh pada tahun 2012, terdapat dua media massa yang memberikan konstruksi berbeda di setiap pemberitaannya dengan tujuan memberikan citra positif masing-masing. Terdapat pemberitaan akan penolakan calon independen dalam Pemilukada memberikan dampak yang cukup besar dalam perpolitikan di Aceh yang menyebabkan pemerintah memberi kebijakan untuk mengundurkan Pemilukada.
Oleh karena itu, Raqan Qanun akhirnya belum disahkan. Penolakan akan calon independen pada Pemilukada oleh para anggota DPRA dan sebagian besar anggota partai politik lokal terjadi karena calon independen dianggap telah terwadahi oleh partai-partai lokal. Berbeda dengan partai-partai nasional yang menganggap bahwa adanya calon independen adalah baik akibat tidak terwadahinya aspirasi masyarakat Aceh oleh partai lokal selama ini. Partai lokal dianggap sibuk akan kemajuan partainya masing-masing dan lebih mementingkan kepentingan partainya sendiri.
Masyakarat percaya bahwa adanya calon independen akan meningkatkan kesejahteraan masyarakat yang sempat kecewa akan kinerja partai-partai lokal yang tidak mendengarkan aspirasi mereka sehingga aspirasi masyarakat tidak tersampaikan. Berbagai berita akan peristiwa yang diampaikan oleh media akan membentuk dan menyuarakan opini publik. Di dalam lingkungan masyarakat yang demokratis, sebuah pers tidak bisa memanipulasi berita dengan seenaknya sendiri.
Dua media massa yaitu Serambi Indonesia dan Modus Aceh memberitakan terkait pro dan kontra adanya kehadiran calon independen kembali. Menurut berita pada media Serambi Indonesia, Partai Aceh dan calon independen sama-sama memberikan citra yang positif namun berita yang disampaikan lebih pro kepada calon independen dan tidak memihak.
Dalam memberi berita, Serambi Indonesia melihat realita bahwa partai Aceh merupakan satu-satunya partai lokal yang memenangkan Pemilukada 2009 sehingga menguasai parlemen ditingkat kabupaten/kota dengan kenyataan bahwa pihak-pihaknya telah melakukan korupsi dan menyebabkan kemiskinan di Aceh. Serambi Indonesia juga lebih mementingkan kepentingan pasar dengan meningkatkan minat masyarakat akan berita yang disampaikan serta tidak terjebak dalam politik lokal yang tidak stabil. Mahkamah Konstitusi (MK) juga memutuskan bahwa calon independen diperbolehkan untuk mengikuti Pemilukada di Aceh pada tahun 2012.
Berbeda dengan Modus Aceh yang lebih pro kepada Partai Aceh karena lebih mendominasi seluruh wilayah Aceh dan merupakan bentuk perjuangan dari rakyat Aceh. Ditundanya calon independen dalam pemilukada di Aceh merupakan penyebab terjadinya polemik. Namun, dengan pro dan kontra tersebut masalah ini dimenangkan oleh Serambi Indonesia sebagai media massa yang pro akan calon independen. Di dalam politik, motif ekonomi sangat berpengaruh terutama pada media massa.
Tanpa adanya dorongan dan motif ekonomi, mustahil suatu pemberitaan akan berhasil. Dalam pemberitaan akan konflik tersebut, membuktikan bahwa terdapat pihak yang bekerja sama dengan suatu media untuk mendapatkan keuntungan pribadi. Media pun akan diuntungkan dengan adanya imbalan berupa upah, semakin naiknya upah pemberitaan maka akan semakin untung suatu media dalam menyajikan suatu berita.
Dalam penyampaian berita, media juga didasarkan pada masa depan Aceh. Hal itu karena media pun merupakan masyarakat Aceh dan terjalin solidaritas antara masyarakat di Aceh. Sesuai dengan tahapan hegemoni Gramsci, yang pertama yaitu adanya korporat ekonomis yang bermain dengan isu dengan perantara media, yang kedua adanya kelompok masyarakat yang merasakan adanya kepentingan yang sama, dan yang ketiga adanya adanya propaganda agar masyarakat menerima nilai-nilai baru.
Sumber :
Nusuary, F. M. dan Meutia, F. S. (2017). Polemik Calon Independen pada Pemilukada Aceh 2012 dalam Framing Media Sosial. Jurnal UGM.
Penulis: Rahmah Izzatul Jannah (Mahasiswi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Syiah Kuala)