PENERBITAN Peraturan Pemerintah Pengganti Undang Undang (Perppu) No. 2 tahun 2022 tentang Cipta Kerja telah menuai gelombang protes karena dinilai merupakan langkah “pembangkangan” pemerintah terhadap putusan Mahkamah Konstitusi yang menyatakan UU Cipta Kerja inkonstitusional bersyarat dan harus diperbaiki.
Namun, Pemerintah melalui Menkopolhukam Mahfud MD mengatakan Perppu Cipta Kerja ini sebagai bentuk perbaikan sebagaimana perintah MK, termasuk dikeluarkan dengan dalih kegentingan.
"Nah, kalau isinya yang mau dipersoalkan silakan gitu, tetapi kalau prosedur sudah selesai," kata Mahfud,” kata Mahfud MD seperti dikutip dari Kompas.
BBC News Indonesia mengurai isi Perppu terbaru dari kacamata ahli hukum ketenagakerjaan, kelompok buruh, dan keterangan asosiasi pengusaha.
Sebagian dari mereka mengatakan aturan ini justru menciptakan “ketidakpastian hukum”.
Sebagian besar isi Perppu Cipta Kerja yang diteken Presiden Joko Widodo ini merupakan salinan dari Undang Undang No. 11 tahun 2020 tentang Cipta Kerja yang disebut "inkonstitusional bersyarat“ oleh MK.
"Jadi kritik-kritik yang dulu sudah dilontarkan dalam pasal-pasal di dalam UU Ciptaker itu kan tersalin lagi ke Perppu No.2 tahun 2022 ini, yang pastinya memberikan permasalahan warisan,“ kata Nabiyla Risfa Izzati, ahli hukum ketenagakerjaan dari Universitas Gadjah Mada.
Sejumlah pasal yang benar-benar baru di dalam Perppu Cipta Kerja justru menciptakan "ketidakpastian hukum,“ kata Nabiyla.
Berikut penjabaran beberapa pasal yang dinilai bermasalah atau tidak jelas:
Pasal 64
Pasal yang mengatur tentang tenaga kerja alih daya atau outsourcing ini kembali dihidupkan dalam Perppu Cipta Kerja dengan perubahan. Pasal ini berasal dari UU Ketenagakerjaan No. 13 tahun 2003 yang kemudian dihapus dalam UU Cipta Kerja tahun 2020.
Dengan kata lain, dalam UU Cipta Kerja tahun 2020 setiap sektor pekerjaan bisa menggunakan tenaga alih daya. Tapi dengan Perppu terbaru ini, ada kemungkinan jenis-jenis pekerjaan tertentu saja yang boleh diisi tenaga alih daya.
Tapi pemerintah tidak secara rinci menjelaskan tentang “menetapkan sebagian pelaksanaan pekerjaan”.
"Apakah ini maksudnya menjadi peraturan pemerintah akan dibatasi jenis-jenis pekerjaan yang dilakukan alih daya, atau dia sedang mengatur pembicaran mekanisme alih daya, atau apa? Itu serba tidak jelas,” kata Nabiyla.
Pasal 88C
Di dalam Perppu Cipta kerja, terdapat frasa “dengan syarat tertentu“ yang dihapus di akhir kalimat ayat dua. Kemudian penjelasan berikutnya gubernur dapat menetapkan upah minimum di tingkat kabupaten dan kota itu kalau jumlahnya lebih besar dari upah minimum provinsi.
Tidak ada yang terlalu signifikan dalam perubahan ini, kata Nabiyla. Tapi perubahan klausul ini tidak diikuti dengan penjelasan.
“Konsekuensinya apa ketika frasa syarat tertentu ini dihapus, dan alasannya kenapa? Itu tidak ada justifikasi,” ujarnya.
Pasal 88D
Pengaturan upah minimum buruh dalam lima tahun terakhir ini menggunakan variabel inflasi dan pertumbuhan ekonomi, termasuk diatur dalam UU Cipta Kerja.
Tapi, dalam Perppu Cipta Kerja ditambahkan variabel baru yaitu “indeks tertentu”. Variabel baru ini ditolak oleh Apindo yang disebut akan memberatkan dunia usaha.
Sementara itu, Said Iqbal mengatakan variabel ini “menimbulkan ketidakpastian”.
“Indeks tertentu ini apa? Kan nggak jelas. Inflasi, pertumbuhan ekonomi dan indeks tertentu ini apakah pengurang, pertambahan, pengalih atau pembagi, kan nggak jelas formulanya,”
Pasal 88F
Ini adalah pasal yang benar-benar baru dan paling krusial. Besaran upah buruh yang ditetapkan tiap tahun bisa suatu saat secara absolut ditentukan pemerintah pusat.
"Jadi yang punya kuasa besar itu adalah pemerintah pusat. Jadi kesannya sangat sentralisasi, jadi kayak apa pun yang nanti terjadi yang mengetok palu terakhir itu adalah pemerintah pusat,” kata Nabiyla.
Dampak ke aturan turunan dalam Pasal 184 dan 185
Serikat Pekerja Media dan Industri Kreatif untuk Demokrasi (SINDIKASI) menyerukan Perppu ini dicabut dan dibatalkan.
Dalam keterangan tertulis, lembaga ini menilai keberadaan Perppu Ciptaker setebal 1.117 halaman menambah ketidakpastian hukum bagi pekerja.
Ketentuan penutup Perppu Ciptaker Pasal 184 menyatakan peraturan pelaksanaan (PP) UU No 11/2020 tentang Cipta Kerja tetap berlaku. Akan tetapi, pasal 185 pada Perppu Ciptaker menyatakan UU No 11/2020 tentang Cipta Kerja dicabut dan dinyatakan tidak berlaku.
"Jika hal itu dilaksanakan, empat PP klaster ketenagakerjaan UU Cipta Kerja tidak memiliki dasar undang-undang di atasnya,” kata kata Nur Aini, ketua Sindikasi dalam keterangan tertulis, Rabu (04/01).
Berbagai pihak menunjukkan penolakan terhadap Perppu Cipta Kerja disebut menjadi cermin pemerintah tidak memberikan ruang partisipasi yang bermakna, kata Nabiyla.
“Ini menunjukkan pembuatan kebijakan yang sangat krusial, strategis, tapi tidak partisipastif. Itu sebenarnya merugikan bagi semua pihak,” katanya.
TERIMA KASIH SUDAH MEMBACA LINTASATJEH.COM
Semua hal tersebut, sedemikian jelasnya menunjukkan kepada kita, ketika penetapan hukum diserahkan kepada manusia yang akalnya terbatas, maka yang terjadi adalah carut marut peraturan, menindas satu pihak dan mendukung pihak lain melahirkan ketidakadilan. Terbukti dari undang-undang yang berubah-ubah, tergantung perubahan waktu dan zaman. Serta menunjukkan karena tidak ada standar yang jelas, yang dijadikan patokan penilaian baik buruk, sehingga timbullah ketidakadilan, dinilai adil kepada satu golongan namun ternyata menindas golongan yang lain.
Itulah kenapa, manusia itu tidak berhak membuat hukum. Itulah kenapa kedaulatan, standar baik dan buruk itu, hanya dimiliki oleh syariat islam, aturan kehidupan yang datang dari Sang Pemilik Kehidupan. Dan aturan yang datang itu adalah hal terbaik bagi manusia, karena datang dari Dzat Maha Baik dan Pencipta Manusia.
Adalah hal fitrah ketika manusia ingin terpenuhi kebutuhan asasinya, maka akan mendorongnya untuk bekerja. Namun Undang-Undang Ciptaker ini yang dinilai para pengamat, tidak memberikan solusi penciptaan lapangan pekerjaan. Yang terjadi justru sebaliknya, menutup lapangan kerja, meningkatkan pengangguran yang bisa berakibat naiknya angka kemiskinan, kriminalitas, bahkan gizi buruk. Dan itu semua adalah buah pahit penerapan sistem kapitalisme, yang meminggirkan panduan agama dalam kehidupan bermasyarakat.
Para pekerja dan majikan/pengusaha, menempati posisi setara dalam pandangan islam. Mereka adalah manusia ciptaan Allah, yang juga memiliki perasaan sebagai manusia. Karena itu, landasan upah kontrak kerja dalam islam, adalah besarnya manfaat yang diberikan oleh pekerja kepada majikan. Dan ada ahli upah (khubaro') yang akan menilai besarnya manfaat/jasa tersebut, yang berkolerasi dengan besaran upah pekerja yang akan diterima. Sehingga upah pekerja bersifat tetap, tidak berubah-ubah mengikuti harga komoditas bahan pangan.
Sejarah mencatat ketika Umar Bin Khattab menjadi Khalifah, Kepala Negara Daulah Islam, memberikan gaji guru sebesar 15 dinar. Hal ini karena manfaat guru sangat besar, yakni sebagai suri tauladan kebaikan dan pengajar kebaikan. Sehingga besarnya upah, selaras dengan manfaat yang diberikan. Para qadhi/hakim, juga diberikan upah. Para tentara/militer dalam daulah islam, juga diberikan gaji dan mendapat pembagian harta rampasan perang, baik ghanimah ataupun fai, karena sudah ikut berperang/jihad fii sabilillah. Dan berbeda dengan penguasa, semisal khalifah, mu'awin, wali atau amir, mereka tidak diberikan upah.
Karena status mereka bukan pekerja, tapi mereka adalah pengurus/pelayan masyarkat. Yang ada adalah mereka diberikan santunan harta karena sudah full 24 jam melayani kepentingan masyarakat sehingga mereka tidak sempat mencari nafkah untuk menghidupi keluarga mereka.
Membebani pengusaha untuk memenuhi tuntutan para pekerja seperti jaminan hari tua, jaminan kesehatan, sejatinya itu adalah kedzaliman dalam pandangan islam. Karena tugas itu sejatinya adalah tugas negara. Negara berfungsi sebagai pelayan kepentingan masyarakat, maka wajiblah bagi penguasa/negara untuk menjamin terpenuhi kebutuhan asasi, seperti sandang, pangan, papan, pendidikan, kesehatan, keamanan. Sehingga tidak membebankan kesejahteraan pekerja di atas pundak/pengusaha.
Karena negara adalah pengurus urusan masyarakat yang akan dimintai pertanggungjawaban oleh Allah SWT. Sebagaimana hadits Rasulullah SAW "Imam (Khalifah) adalah raa'in (pengurus rakyat), dan ia bertanggungjawab atas pengurusan rakyatnya" (HR. Al-Bukhari)
Wallahu'alam bisshowwab
Penulis: Lisa Oka Rina (Pemerhati Kebijakan Publik)