DUA TAHUN lebih sudah kita merasakan momen dimana kita diwajibkan untuk menjaga jarak dengan sanak saudara kita yang dekat maupun jauh dikarenakan pandemi Covid-19 yang masuk ke Indonesia mulai tahun 2020.
Momen pandemi Covid-19 juga dirasakan oleh warga Aceh yang terpaksa tidak bisa menyambut Bulan Suci Ramadhan seperti tahun-tahun yang lalu dan bahkan sudah menjadi salah satu tradisi yang harus dilakukan sebelum ramadhan mulai.
Tradisi yang dimaksud salah satunya adalah “Meugang” atau juga disebut dengan kenduri (jamuan makan), penyembelihan daging sapi atau kerbau. Meugang adalah hal yang selalu dilakukan oleh warga di seluruh daerah Aceh. Kebiasaan rakyat Aceh untuk menyambut ramadhan satu ini jadi tidak bisa dilakukan karena wabah corona yang menyerang seluruh wilayah Indonesia.
Tradisi meugang ini dilaksanakan bersama-sama yakni dengan berjajarnya tempat berjualan daging sapi atau kerbau di sepanjang jalan di pasar-pasar di seluruh wilayah Aceh. Namun pada saat pandemi corona menyerang wilayah Aceh pada tahun 2020 yang lalu, tradisi kenduri meugang ini jadi terasa tak semeriah tahun-tahun sebelumnya. Warga-warga jadi lebih memilih untuk tidak keluar rumah demi menghindari virus menular tersebut. Sehingga pembeli daging sapi atau kerbau pun menurun secara drastis.
Menurut penulis, meugang tahun 2020 sangat berbeda rasanya seperti tidak semeriah tahun-tahun lalu sebelum corona menyerang. Beberapa warga masih ada yang membeli daging sapi atau kerbau tapi tidak banyak mungkin karena faktor ekonomi yang membuat warga jadi harus lebih menghemat. Bahkan ada warga yang lebih memilih membeli daging ayam yang dekat-dekat rumah saja daripada harus jauh-jauh pergi ke pasar untuk membeli daging meugang.
Kondisi pandemi Covid-19 seperti inilah yang menjadikan tradisi-tradisi yang sudah sejak lama yang dilakukan warga Aceh dari leluhur warga Aceh dahulu, jadi kurang meriah saat semua warga mengharapkan penyambutan ramadhan bulan suci ini yang sudah ditunggu-tunggu sejak lama.
TERIMA KASIH SUDAH MEMBACA LINTASATJEH.COM
Pihak pemerintah Aceh juga mengeluarkan peraturan yaitu tidak diperbolehkan untuk pulang kampung atau mudik karena pandemi corona tersebut. Peraturan itu juga menjadi salah satu faktor tradisi kumpul-kumpul keluarga saat ramadhan pun jadi terganggu. Warga Aceh yang di luar daerah tidak bisa kembali ke Aceh karena aturan tersebut. Begitu juga halnya dengan orang yang di Aceh memiliki kampung halaman di luar daerah Aceh juga tidak bisa pulang kampung seperti libur-libur biasanya.
Hal ini juga dirasakan oleh mahasiswa/i yang dari luar daerah Aceh, mereka juga harus terpaksa merasakan meugang atau ramadhan perdana mereka di kampung orang lain tanpa kemeriahan atau kebersamaan keluarga mereka.
Upaya yang dilakukan warga Aceh demi menjaga tradisi Aceh yakni dengan cara menyadarkan diri akan banyaknya tradisi yang ada di Aceh yang harus diperkenalkan kepada generasi-generasi selanjutnya agar tradisi tersebut tidak luput ataupun hilang ditelan masa. Menjaga tradisi juga bisa dengan cara mempraktikkan tradisi-tradisi atau budaya, mencatat hingga di masa digital seperti saat ini kita juga bisa mendokumentasikan budaya-budaya aceh ini agar bisa ditonton oleh anak muda penerus Bangsa Aceh sehingga budaya-budaya kita bisa tetap lestari dan bisa diakui oleh orang luar di seluruh dunia.
Dengan upaya-upaya di atas, penulis berharap agar pemerintah juga dapat melakukan kebijakan dengan cara dilakukannya pelaksanaan pengembangan kebudayaan untuk memperkenalkan lebih jauh tradisi atau kebudayaan-kebudayaan yang ada di Aceh kepada generasi muda. Pemerintah Aceh juga diharapkan untuk meningkatkan kompetensi sumber daya manusia yang ada kepada anak muda Aceh dengan cara tour ke tempat-tempat bersejarah atau secara pendidikan dengan penjelasan langsung, pelatihan yang dibutuhkan oleh anak muda seperti memperkenalkan pahlawan-pahlawan Aceh terdahulu, bimbingan teknis dalam hal pendidikan mewujudkan kreatifitas anak muda Aceh dan memberikan apresiasi atas kerja keras anak muda atau generasi muda yang telah berantusias mengikuti pendidikan tradisi atau kebudayaan Aceh dengan memberikan sertifikat resmi kepada mereka dan dengan cara lainnya.
Penulis juga berharap agar virus seperti Covid-19 ini atau mungkin penyakit-penyakit menular lainnya tidak membuat warga Aceh melupakan tradisi yang sudah dijaga sejak lama. Semoga virus-virus seperti itu tidak akan terjadi lagi yang bisa membuat ikatan tali silaturrahmi warga Aceh jadi terputus atau renggang.
Penulis: Hanunawati (Mahasiswi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Pemerintahan UIN Ar-Raniry)