DI INDONESIA banyak anak-anak di bawah umur yang terpaksa bekerja pada usia mereka yang seharusnya menduduki kursi sekolahan. Namun, dikarenakan untuk bertahan hidup ia harus berjuang untuk mencari rezeki demi sesuap nasi.
Berdasarkan data Survei Angkatan Kerja Nasional (Sakernas) pada Agustus 2020, diketahui 3,36 juta anak Indonesia bekerja dan 1,17 juta anak di antaranya adalah pekerja anak.
Terutama di Aceh, banyak kita jumpai anak-anak kecil yang terpaksa mencari rezeki, mulai dari berjualan seperti delima, kerupuk, kacang kacangan di lampu merah ataupun mengahampiri setiap toko hingga yang mengemis bahkan memulung sampah.
Ini terjadi karena beberapa faktor yaitu ekonomi, kemiskinan, pendidikan, sehingga membuat orang tua si anak mempekerjakan anaknya dan yang terakhir adalah karena perceraian orang tua yang membuat si anak terlantar dan hidup sendirian.
Dimana kita ketahui pekerja anak di bawah umur telah di atur pada Undang-Undang Ketenagakerjaan Pasal 68 menegaskan bahwa pengusaha dilarang memperkerjakan anak di bawah umur dan dapat di pidana. Sedangkan berdasarkan ketentuan umur, anak yang dimaksud adalah yang berusia di bawah 18 tahun. Pidana bagi mereka paling singkat 1 tahun dan paling lama 4 tahun. Bagi yang membayar denda paling sedikit RP.100 juta dan paling banyak RP.400 juta.
TERIMA KASIH SUDAH MEMBACA LINTASATJEH.COM
Kasus anak bekerja di bawah umur ini banyak disorot oleh media dikarenakan adanya rasa belas kasihan ketika melihat mereka yang harus menerima kenyataan kerasnya dunia pada umur yang belum semestinya. Pada hakikatnya anak tidak dapat melindungi diri sendiri dari berbagai macam tindakan yang menimbulkan kerugian mental, fisik dalam kehidupannya. Dimana hal ini terdapat pendapat berdasarkan Undang-Undang Negara Republik Indonesia tahun 1945 pasal 28B ayat (2) tentang setiap anak berhak atas kelangsungan hidup, tumbuh, dan berkembang serta berhak atas perlindungan dan kekerasan diskriminasi.
Bekerjanya anak di bawah umur dapat menimbulkan bahaya yang tidak diharapkan seperti terjadinya penculikan, pemerkosaan, pembunuhan hingga pengambilan organ dalam untuk dijual oleh manusia yang tidak bertanggung jawab.
Penulis menyatakan bahwa dengan meningkatnya angka pekerja anak menjadi ketakutan terhadap penerus bangsa sampai kemiskinan yang berkelanjutan. Seharusnya anak di bawah usia 18 hanya memikirkan pendidikan sekolahnya seperti tugas yang guru berikan bukan memikirkan tentang kerasnya kehidupan. Namun, sangat dikasihani dikarenakan orangtua mereka yang belum sepenuhnya bisa bertanggung jawab atas diri sendiri lalu menjadikan anak nya sebagai tumpuan hidup.
Penulis berharap agar pihak berwajib seperti dinas sosial lebih memperhatikan anak-anak yang terlantar di jalanan dan memberikan bantuan kepada mereka baik berupa tempat tinggal, pendidikan sekolah yang gratis hingga mereka tamat, juga memberikan pelatihan skill kepada orangtua yang minim kemampuan dalam bidang apapun sehingga mereka dapat mempergunakannya untuk bekerja. Hal tersebut, dengan adanya tanggungjawab dan kesadaran dari orangtua maka pekerja anak dibawah umur perlahan dapat berkurang.
Penulis: Rozatul Jannah (Mahasiswa Ilmu Administrasi Negara FISIP UIN Ar-Raniry)