Sejumlah warga di Lhokseumawe, Aceh, menggelar aksi menolak keberadaan pengungsi Rohingya, Kamis (08/12/2022).
LINTAS ATJEH | LHOKSEUMAWE - Sekelompok warga di Aceh menggelar aksi di halaman bekas Kantor Imigrasi Peunteut, Kecamatan Blang Mangat, Kota Lhokseumawe, Kamis (08/12/2022), menyatakan menolak pengungsi Rohingya.
Beni Murdani, koordinator aksi mengatakan para pengungsi ini ditempatkan di bekas kantor imigrasi tanpa adanya pemisahan laki-laki dan perempuan.
Selain itu, kata Beni, ada pengungsi yang ketahuan mengambil kelapa tanpa izin dari kebun warga.
"Yang punya kebun meminta pertanggungjawaban sama pihak yang berwenang, cuma belum ada jawaban," demikian kata Beni kepada wartawan.
Salah satu kalimat yang ada di karton yang dibawa pengunjuk rasa berbunyi, "Aceh bukan tempat meuzina", yang artinya, Aceh bukan tempat berzina.
Demonstrasi berakhir dengan penyerahan dokumen berisi tuntutan kepada perwakilan Komisioner Tinggi Perserikatan Bangsa-Bangsa untuk Pengungsi (UNHCR).
Tiga poin yang menjadi tuntutan aksi ini yaitu, mendesak Wali Kota Lhokseumawe untuk segera mengeluarkan imigran Rohingya dari Aceh.
Meminta UNHCR untuk melakukan koordinasi dengan pemerintah Lhokseumawe dalam hal penanganan para imigran.
Terakhir, dalam waktu 4x24 jam, para imigran Rohingya harus segera diangkut dari Aceh.
Sebelum aksi yang dilancarkan, satu spanduk bertuliskan "Gampong Bukan Tempat Penampungan Rohingya" terpampang di pagar bekas Kantor Imigrasi Peunteut.
Halaman kantor tersebut dalam beberapa pekan ini telah berubah menjadi lokasi kamp darurat bagi 110 pengungsi Rohingya.
Sejak mendarat di pantai Aceh pada 15 November 2022, sebanyak 110 pengungsi sempat menempati Desa Meunasah Baro, Kecamatan Muara Batu, Aceh Utara, sebelum dibawa dengan menggunakan truk ke tempat lain.
UNHCR 'Menyayangkan'
Aksi yang bertujuan "mengusir" pengungsi Rohingya itu oleh Associate Communications Officer UNHCR Indonesia, Mitra Suryono, disebut sebagai tanda-tanda memudarnya rasa kemanusiaan.
Aksi menolak pengungsi Rohingya di Aceh
Badan pengungsi PBB, UNHCR, mengatakan aksi ini "mengisyaratkan memudarnya rasa kemanusiaan".
"Sangat disayangkan bahwa saat ini kami melihat solidaritas terhadap pengungsi memudar dibandingkan pada waktu-waktu sebelumnya," kata Mitra dalam jawaban tertulis.
TERIMA KASIH SUDAH MEMBACA LINTASATJEH.COM
Mitra mengingatkan kembali seperti apa posisi etnis Rohingya saat ini, yang dia sebut orang-orang yang telah kehilangan "segala-galanya".
"Termasuk orang-orang yang mereka sayangi dan mereka terpaksa meninggalkan negara asalnya untuk mencari keselamatan di negara lain, termasuk Indonesia," kata Mitra.
Pengungsi-pengungsi itu, jelas dia, berhak mencari suaka, seperti yang diatur menurut Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia artikel 14 dan Undang-Undang Dasar Indonesia pasal 28 huruf G.
"Kami berharap semangat kemanusiaan ini akan terus ada di negeri ini, negeri yang rakyatnya dikenal baik sebagai orang-orang yang bersahabat di mata dunia," tambah Mitra.
Soal solidaritas kemanusiaan, koordinator aksi yang menolak pengungsi Rohingya di Aceh, Beni mengatakan, "Kita sudah mencoba memberi toleransi untuk bangsa Rohingya yang datang ke Aceh, ketika tidak lagi relevan, dan dianggap mengingkari kearifan lokal, maka kita mencoba ambil sikap."
Berdasarkan data yang dikumpulkan, kedatangan pengungsi Rohingya di Aceh dimulai ketika 197 orang mendarat di Sabang pada 7 Januari 2009.
Pada Februari di tahun yang sama, menyusul mendaratnya 198 pengungsi di Aceh Timur.
Pada Februari 2011, 129 pengungsi dilaporkan mendarat di Bireuen. Kedatangan pengungsi baru terjadi lagi pada Februari 2012 di Aceh Utara.
Gelombang kedatangan pengungsi terus terjadi hingga November 2022, terutama setelah 2017, ketika orang-orang Rohingya menjadi korban persekusi militer di Myanmar.
Menurut catatan lembaga kemanusiaan lebih dari 20 kali pendaratan terjadi di Aceh.
Satu hari setelah 110 pengungsi yang kini berada gedung bekas Kantor Imigrasi di Lhokseumawe tiba, perahu mengangkut 119 pengungsi mendarat di Dewantara, Aceh Utara.
Menurut Koordinator KontraS Aceh, Azharul Husna, secara sosiologis, suku Aceh memiliki adat yang dikenal dengan sebutan "peumulia jamee" atau memuliakan tamu.
Di dalamnya terdapat satu sistem kepercayaan yang berbasiskan pada agama dan statusnya setara dengan iman ketuhanan dan hari akhir.
"Bagaimana bisa masyarakat Aceh yang menganut nilai-nilai Islam yang memuliakan tamu ini mengusir tamu?" tegas Husna ditemui di kantornya, Kamis (08/12/2022).
Selain itu, tambah Husna, keberadaan pengungsi Rohingya di Aceh menjadi kesempatan untuk merefleksi diri mengingat sebagian besar masyarakat Aceh pernah mengalami fase konflik dan kekerasan militer seperti yang tengah dihadapi oleh etnis Rohingya di Myanmar.
Adapun tudingan yang disematkan kepada sejumlah oknum pengungsi menurutnya tidak lantas menjadi alasan untuk memukulratakan itu ke semua pengungsi.
Pelanggaran tersebut bersifat personal dan bukan representasi kelompok
Associate Communications Officer UNHCR Indonesia, Mitra Suryono, berharap agar masalah antara warga dan pengungsi segera menemukan titik temu.
"Seperti biasa, kami selalu mengimbau pengungsi, termasuk pengungsi Rohingya di Aceh, untuk selalu mentaati dan mengikuti norma sosial yang berlaku di Indonesia."
"Kami yakin, para pengungsi tidak bermaksud untuk bertindak tidak hormat terhadap masyarakat setempat, sebagaimana terlihat dalam pengalaman tahun-tahun sebelumnya," ujar Mitra.
Juru bicara Pemerintah Kota Lhokseumawe, Marzuki, mengatakan tidak ingin berkomentar lebih jauh soal aksi "pengusiran" pengungsi Rohingya.
"Kita enggak bisa komentar karena pengungsi yang saat ini ditampung di bekas Kantor Imigrasi bukan dikelola oleh Pemkot Lhokseumawe, tetapi pengungsi dari Aceh Utara yang ditempatkan di situ dan dikelola oleh IOM dan UNHCR," kata Marzuki.
Maret lalu, 114 pengungsi Rohingya yang terdampar di Desa Alue Buya Pasie, Kecamatan Jangka, Kabupaten, Aceh diusir warga setempat "karena tidak terima ditegur saat ketahuan ingin melarikan diri dari tempat pengungsian".
Menurut informasi, warga mengusir pengungsi "karena tidak mau diatur".
[bbcnewsindonesia.com]