Alangkah indahmu ...
Merah kuning hijau ....
Di langit yang biru ...
Pelukismu agung ...
Siapa gerangan ...
Pelangi ... Pelangi ... Ciptaan Tuhan.
Tak pernah lekang dari ingatan, bait lagu masa kanak-kanak yang acapkali dinyanyikan atau sekadar jadi senandung kecil. Sayang seribu sayang, pelangi yang menjadi judul lagu dan penampakannya selalu ditunggu-tunggu setelah hujan baru reda, di zaman now juga merujuk pada hal yang tidak pernah dibayangkan bahkan terbersit dalam pikiran sekali pun.
Pemerintah Indonesia diharapkan tidak terpengaruh dengan kebijakan sejumlah negara Asia Tenggara (ASEAN) yang melegalkan hubungan sesama jenis. Pemerintah juga disarankan menggandeng organisasi keagamaan guna memantau perkembangan lesbian, gay, biseksual, dan transgender (LGBT) di Tanah Air.
Wakil Ketua Umum Persatuan Islam (Persis), KH Jeje Zaenudin meminta kepada pemerintah Indonesia untuk tidak ikut melegalkan perilaku LGBT tersebut.
“Kita sebagai bangsa Indonesia yang memiliki konstitusi berbeda dengan Vietnam dan Singapura, tentu saja tidak boleh latah ikut ikutan melegalkan perilaku LGBT yang terkutuk dalam pandangan semua agama yang dianut di Indonesia,” ujar Kiai Jeje saat dihubungi Republika.co.id, Senin (22/8/2022). Menurut dia, masyarakat Indonesia harus terus diberikan edukasi tentang larangan seks di luar ikatan pernikahan.
Dilansir dari BBC, Singapura akan mencabut undang-undang yang melarang seks gay, yang secara efektif membuatnya legal untuk menjadi homoseksual di negara kota itu. Keputusan yang diumumkan oleh Perdana Menteri Lee Hsien Loong di TV nasional tersebut muncul setelah bertahun-tahun menjadi perdebatan sengit. Baca link.
Sangatlah wajar kekhawatiran merebak karena mau dibantah sedemikian rupa pun, negeri ini sememangnya tidak melandaskan hukumnya dengan agama (baca : Islam). Sistem sekuler liberal, diakui atau tidak, jelas terbaca dijadikan standar tingkah laku. Sistem yang menihilkan peran agama dalam mengatur kancah kehidupan dan memuja kebebasan tanpa batas dalam berpikir dan bersikap, tak terkecuali ketika memenuhi naluri seksualitas yang semestinya merupakan fitrah yang dianugerahkan Allah Taala dalam setiap diri manusia. Landasan halal-haram dipandang bak belenggu yang harus disingkirkan. Standar kebahagiaan bukan lagi mencari ridho Allah SWT, tetapi kesenangan belaka yang jelas mengacu pada akal dan hawa nafsu manusia yang serba lemah dan terbatas.
TERIMA KASIH SUDAH MEMBACA LINTASATJEH.COM
Islam telah menggariskan, hikmah penciptaan jenis kelamin laki-laki dan perempuan adalah untuk kelestarian jenis manusia dengan segala martabat kemanusiaannya (QS. An-Nisa [4] : 1). Perilaku kaum pelangi jelas berkebalikan dengan tujuan itu. Islam dengan tegas melarang semua perilaku seksual yang menyimpang dari syariah.
Islam mengkategorikan hubungan sejenis sebagai perbuatan kriminal. Pelakunya mendapatkan dosa besar. Al-Qur'an menyebut perbuatan demikian sebagai "fahisyah" dan pelakunya disebut sebagai "kaum yang melampaui batas". Allah SWT berfirman yang artinya : "Dan Kami yang telah mengutus Luth (kepada kaumnya). Ingatlah tatkala ia berkata kepada mereka 'Mengapa kamu mengerjakan perbuatan faahisyah itu, yang belum pernah dikerjakan oleh seorang pun (di dunia ini) sebelummu?' Sesungguhnya kamu mendatangi lelaki untuk melepaskan nafsumu (kepada mereka), bukan kepada wanita, malah kamu ini adalah kaum yang melampaui batas." (QS. Al-A'raf [7] : 80-81).
Sebagaimana layaknya perbuatan kriminal, maka hubungan sejenis itu harus dijatuhkan hukuman. Dalam Islam, pelaku homoseksual dijatuhi hukuman yang sangat keras dan berat, yakni hukuman mati. Rasulullah SAW bersabda: "Barangsiapa yang kalian mendapati melakukan perbuatan kaum Luth (liwath), maka bunuhlah fa'il (pelaku) dan maf'ul bih (pasangan) nya. (HR. Abu Dawud dari Ibnu Abbas). Ketika hukuman keras ini diterapkan, maka penyimpangan seksual ini bisa dicegah dan dibasmi.
Memang ada upaya menghambat laju pertumbuhan kaum pelangi seperti Peraturan Daerah (Perda), Tindak Pidana Ringan (Tipiring), kurungan badan maupun denda. Namun sekian tahun sudah berlaku, alih-alih menurun kuantitasnya atau paling tidak melambat, malah jumlahnya meningkat tajam!
Hukum produk buatan manusia yang berlandaskan HAM, demokrasi, kesetaraan gender dan serupanya terbukti tidak mampu memberantas penyakit sosial ini sampai ke akar. Dalih negeri ini bukan negara agama selalu mengemuka atas penolakan hukuman mati untuk diterapkan atas tindakan dan perilaku penyimpangan seksual.
Sistem sekuler liberal tidak akan pernah mampu mengatasi persoalan yang timbul di masyarakat, termasuk masalah penyimpangan seksual, karena justru sistem ini memandang kaum pelangi memiliki hak untuk dilindungi dan didukung keberadaannya.
Mata dan hati mereka sudah buta, bagaimana massifnya penyakit sosial ini menghancurkan peradaban manusia. Gelimang jenis penyakit baru bermunculan, ancaman punahnya manusia, bahkan kematian sudah sedemikian menghantui.
Islam tidak akan pernah memberi peluang sedikit pun atas eksistensi kaum pelangi karena sudah jelas ianya terkategori tindakan kriminalitas, bahkan sanksi berat pun sudah disediakan untuk dijatuhkan atas pelakunya. Ini menjadi bukti bahwa penerapan sistem Islam harus secara total bukan parsial, yang artinya diemban sampai level negara.
Karena itu jangan pernah termakan dengan aneka kampanye hitam yang disemburkan para pembenci agama Allah Taala. Hanya Islam yang sanggup menjaga bahkan melejitkan peradaban dunia. Masih belum cukup kah belitan masalah yang mencekik leher kita membuat kita sadar untuk segera tunduk berhukum hanya kepada syariah-Nya? Wallahu'alam.
Penulis: Dyan Indriwati Thamrin, S.Pd (Pemerhati Masalah Sosial dan Politik)