"Berpikirlah seperti orang Minang, bekerjalah seperti orang Jawa, berbicaralah seperti orang Batak".
Untuk sebagian kita, ungkapan Presiden Pertama RI itu tentu cukup familiar.
Namun pernahkan kita mencoba untuk mencari tahu dan menggali, mengapa Bung Karno menyarankan kita agar berpikir seperti orang Minang ? Seperti apakah cara berpikir orang Minang tersebut ?
Filosofi orang Minang “Alam takambang jadi guru” menunjukkan bahwa bagi orang Minang pelajaran tentang kehidupan tidak harus diperoleh dari bangku sekolah atau lembaga pendidikan, namun segala apa yang terjadi di alam dan pengalaman, adalah pelajaran hidup yang paling berharga. Alam dijadikan "universitas terbesar" untuk bisa belajar tentang hidup dan kehidupan.
Contoh saja Buya Hamka, dari literatur yang ada, pendidikan formal yang ditempuh buya Hamka hanya sampai kelas dua Sekolah Dasar Maninjau. Setelah itu, saat usia beliau 10 tahun, beliau lebih memilih untuk mendalami ilmu agama di Sumatera Thawalib di Padang Panjang, sekolah yang didirikan ayahnya sekembalinya dari Makkah.
Namun kita bisa lihat, hasil pemikiran Buya Hamka yang beliau tuangkan dalam bentuk buku, banyak dijadikan rujukan bahkan menjadi buku wajib yang harus dipelajari oleh mahasiswa-mahasiswa perguruan tinggi terkenal di negeri ini.
Kemudian seorang konglomerat asal Minang, Bapak Basrizal Koto, yang konon katanya pendidikan formalnya hanya sampai tamat Sekolah Dasar karena keterbatasan ekonomi, tapi belajar dari alam dan pengalaman, beliau berhasil menjadi pengusaha sukses yang tentu saja memiliki banyak karyawan, dimana para karyawan tersebut tentu saja banyak yang memiliki gelar sarjana.
TERIMA KASIH SUDAH MEMBACA LINTASATJEH.COM
Filosofi alam takambang jadi guru" adalah kekuatan kognitif yang sesuai dengan aliran filsafat positivisme atau Naturalisme.
Filosofi kedua adalah " Dima bumi dipijak, disinan langik dijunjuang" bukan " dima bumi dipijak, disitu kito bakodak".
Filosofi "dima bumi dipijak, disitu langik dijunjuang" menunjukkan kemampuan beradaptasi orang Minang dengan lingkungan dimana mereka berada, orang Minang selalu berusaha untuk menyesuaikan diri dengan lingkungan sekitar. Menghargai dan bahkan mencoba menyelami budaya ranah rantau, sehungga muncullah ungkapan " masuak kandang kambiang mangembek, masuak kandang harimau mangaum". Hal ini meruoakan kekuatan Afektif yang diimplementasikan dalam cara bertindak.
Selanjutnya orang Minang, juga terkenal dengan istilah "Alue jo Patuik" yang berarti dalam memutuskan atau melakukan sesuatu orang Minang itu selalu memperhatikan prosedur yang pantas dilakukan atau tidak ( Psikomotor ).
Oleh karena itu, sejak dari dahulu falsafah-falsafah orang Minang itu, yang dijadikan sebagai pedoman dalam kehidupan, dimana falsafah falsafah tersebut bersumberkan dari kitabullah " Adat basandi syara', Syara' basandi Kitabullah" telah fokus untuk mengembangkan tiga dimensi manusia yakni kognitif, afektif dan psikomotor.
Kembali pada ungkapan "Bung Karno" tersebut, "berpikirlah seperti orang Minang" menunjukkan bahwa sebenarnya orang Minang itu memiliki memiliki ketajaman dalam berpikir.
Pertanyaannya : Apakah ketajam berpikir orang minang itu masih ada sampai sekarang ? Atau jangan-jangan saat ini kita orang Minang sudah tergeser dari pertempuran peradaban dan pemikiran dinegri ini.
Atau karena kita masih terlena dengan kesuksesan masa lalu, sehingga menjadikan kita hanya sebagai pengikut untuk masa ini.
Jika memang benar. Apakah hal mendasar yang menjadi penyebab hal itu terjadi ?
Tentu kita perlu untuk melakukan refleksi.
Siapakah yang bertanggung jawab untuk mengembalikan marwah ini ?
Penulis: Minas Syajidin [Mahasiswa Jurusan Sastra Minangkabau Fakultas Ilmu Budaya Universitas Andalas]
Jamberita.com