BUDAYA NGOPI atau Jeep Kupie di Aceh memang sudah mengakar di kalangan masyarakat, tidak heran dengan adanya julukan “Negeri 1000 Kedai Kopi” untuk Aceh sekarang ini. Hampir semua permasalahan yang ada dikalangan masyarakat diselesaikan di warung kopi, seperti musyawarah, menghabiskan waktu weekend, memutuskan suatu masalah, transaksi keuangan, dan lainnya.
Namun apakah budaya ini sudah ada sejak masa kejayaan Aceh? Atau hanya sebatas budaya baru. Penulis nantinya akan membagi pembahasan ini menjadi dua bagian, bagian pertama adalah awal mula kopi di Aceh dan bagian kedua munculnya tren ngopi di Aceh.
A. Awal Mula Kopi di Aceh
Pada masa Kesultanan Aceh Darussalam, tanaman komoditas yang mendominasi adalah tanaman lada, tanaman ini merupakan mata pencaharian utama sebagaimana padi. Tome Pires dalam bukunya Suma Oriental (1512-1515) mencatat bahwa pelabuhan Pidie dan Pasai ketika itu memperdagangkan lada sebanyak 16.000 bahar atau sekitar 2.718 ton pertahun. Hal yang sama juga bisa dilihat dari keterangan peta yang digambarkan oleh Kapten Laut asal Australia-Irlandia, Samuel Ashmore, ini merupakan salah satu peta maritim terpenting dari tahun 1821.
TERIMA KASIH SUDAH MEMBACA LINTASATJEH.COM
Peta ini menggambarkan secara akurat pelabuhan-pelabuhan lada di pantai barat-selatan Aceh, mulai Meulaboh sampai Singkil, sebuah kawasan yang pada waktu itu lebih dikenal dengan Pantai Lada (Pepper Coast). Bahkan sampai menjelang akhir abad ke-19 sebelum Belanda menyerang, Aceh merupakan produsen lada utama di dunia.
Maka dalam kurun waktu diatas belum kita jumpai adanya komoditas kopi di Aceh, baik itu di pantai timur maupun di pantai barat Aceh. Seorang orientalis yang menjadi peneliti sosial budaya, dalam catatan Snouck Hurgronje (Aceh Di Mata Kolonialis Jilid I), beliau mengungkapkan bahwa kebanyakan orang biasa di Aceh mengkonsumsi air putih sebagai satu-satunya minuman, dan sesekali mereka meminum air tebu, diperas dari batangnya dengan menggunakan alat tradisional.
Kopi baru dikenal di Aceh pada awal abad 20 (1910) yang dibawa oleh Belanda melalui Batavia ke Kuta Raja, kopi yang pertama sekali diperkenalkan di Aceh adalah jenis Arabica yang ditanam pada Utara Danau Lut Tawar Takengon, serta sebagiannya lagi ditanam diwilayah Aceh Tenggara, dan Gayo Lues. Sedangkan di wilayah Tangse, Geumpang dan Aceh Barat, masyarakat mengembangkan kopi jenis Robusta. Saat itu kedua jenis kopi ini dibedakan kelas sipenikmatnya, untuk para penjabat Kolonial Belanda mengkonsumsi kopi jenis Arabica sedangkan untuk pribumi hanya bisa mengkonsumsi kopi jenis Robusta saja.
B. Munculnya Tren Ngopi di Aceh.
“Beungoh singoh geutanyoe ta jeep kupie di keude meulaboh, atawa uloen syahid” sepenggal kata yang diucapkan oleh Pahlawan Nasional Teuku Umar ini masih terngiang-ngiang ditelinga masyarakat Aceh, dengan kata-kata itu pula akan timbul sebuah presepsi baru yang mengatakan bahwa kopi itu sudah ada di Aceh sejak tahun 1899 disaat Teuku Umar mengatakan kata-kata terakhirnya itu sebelum dia syahid. Memang betul adanya, akan tetapi saat itu kopi masih menjadi barang impor yang harganya tergolong mahal.
Pada tahun 1924 Belanda dan investor Eropa telah memulai pengerjaan menjadikan lahan yang nanti akan didominasi tanaman kopi, teh dan sayuran (John R Bowen, Sumatran Politics and Poetics, Gayo History 1900-1989). Kemudian pada tahun 1933 di Takengon ada 13.000 hektar lahan sudah ditanami kopi yang disebut Belanda sebagai komoditas “Product for future”. Masyarakat Gayo sangat cepat menerima (mengadopsi) tanaman baru dan menanaminya di lahan-lahan terbatas warga.
Pasca Kemerdekaan Republik Indonesia (1945-1949), Belanda akhirnya mengakui kemerdekaan Republik Indonesia melalui Konferensi Meja Bundar (KMB). Seperti yang terjadi di pulau Jawa, segala aset mereka termasuk perkebunan kopi yang ada di Gayo. Tapi berbeda dengan di Jawa yang operasional perkebunannya dilanjutkan oleh perusahaan pemerintah dan pekerjanya tetap dipekerjakan di Jawa. Di Gayo setelah Belanda keluar dari Aceh, kebun-kebun kopi tersebut dibagi-bagikan kepada masyarakat setempat dengan jumlah maksimum 2 hektar.
Waktu telah mengubah masyarakat Aceh. Jika di abad ke-19 masyarakat Aceh sama sekali tidak mengenal kopi, maka sampai akhir abad ke-20 Aceh masih sebatas produsen utama Kopi maka di abad ke-21 ini budaya kopi telah menjadi bagian dari tradisi orang-orang Aceh.
Pasca perjanjian damai MoU Helsinky dan musibah Tsunami 2004, Aceh sudah memasuki lembaran baru, Aceh semakin terbuka di mata dunia. Sekarang Aceh sudah banyak dikunjungi oleh para wisatawan baik dalam dan luar negeri, salah satu yang terkenal di Aceh selain Peumulia Jamee nya adalah kenikmatan dan kelezatan Kupie Aceh yang sekarang tersedia disetiap sudut kota yang ada di Aceh.
123 tahun sudah berlalu, Kupie Aceh telah menemani aktifitas masyarakat Aceh disemua lini dan tatanan. Selamat datang tuan di Aceh, dinegeri dengan sejumlah julukan dan penuh dengan kejutan. Selamat tuan menikmati kelezatan Kupie Aceh yang datang dari hasil bumi Aceh dan jangan tuan lupakan Aceh.
Sumber:
- Tome Pires, Suma Oriental 1512
- Samuel Ashmore, Mapp 1821
- Snouck Hurgronje, Aceh Di Mata Kolonialis Jilid I 1893
- John R Bowen, Sumatran Politics and Poetics, Gayo History 1900-1989
- Teungku Puteh, Asal Mula Kopi Aceh 2017
Penulis: Aris Faisal Djamin, S.H (Sekretaris Umum Majelis Pemangku Adat Kesultanan Aceh Darussalam)