PEKAN ini Presiden Joko Widodo kembali membuka keran ekspor produksi sawit. Presiden menilai pasokan serta harga minyak goreng sudah stabil. Presiden juga membenahi tata niaga produk sawit agar di masa depan kepentingan rakyat tak lagi dipermainkan.
Menindaklanjuti kebijakan presiden tersebut di atas, Menteri Koordinator bidang Perekonomian Airlangga Hartarto menyatakan, pemerintah akan menerbitkan lagi kebijakan Domestic Market Obligation atau DMO dan Domestic Price Obligation atau DPO.
Kebijakan ini Airlangga umumkan seiring dengan dibukanya lagi ekspor minyak goreng dan bahan baku turunannya. Namun, Airlangga memastikan kebijakan yang baru ini sebagai langkah untuk menjamin ketersediaan bahan baku minyak goreng dan keterjangkauan harga di masyarakat.
“Kebijakan tersebut akan diikuti upaya untuk tetap menjamin ketersediaan bahan baku minyak goreng. Saya tegaskan untuk menjamin ketersediaan bahan baku minyak goreng dengan penerapan peraturan DMO oleh Kementerian Perdagangan dan DPO yang mengacu pada kajian dari BPKP ini akan ditentukan Kemendag,” katanya dalam konferensi pers virtual di Jakarta. (Inilahcom, Jumat, 20/5/2022)
Utak-atik kebijakan tata niaga minyak goreng berlanjut. Pemerintah membuka kembali keran ekspor minyak goreng setelah sempat disetop kurang dari sebulan. Dikatakan, karena pasokan dalam negeri aman dan pertimbangan kesejahteraan petani sawit.
Padahal rakyat masih mengalami kesulitan karena harga migor yang sudah terlanjur tinggi, ditambah belum ada kejelasan penuntasan kasus-kasus mafia yang mengambil untung dari ekspor dan kenaikan harga di dalam negeri.
Kebijakan membuka kembali keran ekspor jelas menguntungkan pengusaha eksportir dan produsen sawit. Maka mungkinkah kebijakan pembukaan kembali ini karena desakan mafia?
Menguak Akar Masalah
Akar masalah minyak goreng tidak lain akibat permainan korporasi. Drama kelangkaan minyak goreng tidak lepas dari intervensi mereka, sebagaimana anjloknya harga sawit adalah skenario korporasi dengan menjadikan petani sawit sebagai tumbal.
Inilah watak kapitalisme. Negara laksana wasit yang menjadi penengah antara pengusaha dan rakyat. Padahal, negaralah yang berperan memenuhi kebutuhan rakyat. Dalam rangka melaksanakan amanah sebagai pelayan rakyat, sudah selayaknya negara memerhatikan aspek produksi hingga distribusi.
Dengan hadirnya negara, aktivitas seperti penimbunan, monopoli, penipuan, curang, spekulasi, dan sejenisnya (yang kerap ada) akan tereduksi.
Di sinilah peran negara. Negara tidak akan melakukan ekspor sebelum kebutuhan dalam negeri rakyat terpenuhi. Negara juga tidak akan membiarkan korporasi mendominasi—apalagi menjadi pemain tunggal—dalam memenuhi kebutuhan pokok masyarakat. Inilah masalah mendasar karut-marutnya pemenuhan kebutuhan rakyat saat ini.
TERIMA KASIH SUDAH MEMBACA LINTASATJEH.COM
Tugas pemerintah sejatinya adalah melayani dan memenuhi kebutuhan rakyatnya, individu per individu dengan pemenuhan yang sempurna. Negara berkewajiban memenuhi kebutuhan mendasar rakyatnya. Sandang, pangan, papan, kesehatan, dan pendidikan adalah segelintir kebutuhan pokok yang wajib negara penuhi.
Negara juga wajib memahami bahwa jati dirinya adalah pelayan rakyat, bukan pedagang. Bukan hanya memastikan kebutuhan rakyat tersedia di pasar, tetapi juga bahwa seluruh rakyat mampu mengakses kebutuhan tersebut.
Dengan sendirinya, negara akan menempuh sejumlah skenario untuk mengadakan bahan baku secara mandiri, mengolahnya, dan mendistribusikan kepada rakyat. Peran ini seharusnya tidak didominasi pihak swasta karena negaralah yang berkewajiban melaksanakan. Jika swasta berkontribusi, inilah yang membuka celah hadirnya para mafia.
Dominasi individu bahkan berpotensi besar untuk munculnya permainan harga dan terjadinya kelangkaan. Selain itu, mindset bisnis para pengusaha membuat rakyat harus mengakses kebutuhannya dengan harga yang fantastis.
Inilah realitas sistem ekonomi kapitalisme, negara memang berperan sebagai fasilitator semata. Dalam kondisi terendah, negara bahkan lepas tangan dalam mengurus rakyat.
Lantas, bagaimana skenario Islam dalam memenuhi kebutuhan rakyat dan mencegah terjadinya kelangkaan?
Solusi Islam
Islam menempatkan penguasa sebagai pelayan rakyat. Atas dasar ini, negara berperan penting dalam memenuhi kebutuhan rakyat, mulai dari penyediaan bahan baku hingga dalam bentuk jadi.
Selain tugas pokok tersebut, negara wajib melakukan langkah preventif jika sejumlah kebutuhan pokok rakyat mengalami kelangkaan dan terjadi penimbunan oleh segelintir oknum.
Para penimbun harus menjual barangnya sesuai harga pasar. Jika barang tersebut tidak ada kecuali pada orang yang menimbun dan terjadi pengendalian harga, dalam kondisi ini, negara bertanggung jawab menyediakan barang tersebut di pasar.
Adapun jika terjadi kenaikan harga karena kondisi tertentu, misalnya perang atau kondisi lain karena krisis politik hingga kebutuhan pokok menjadi langka, Khalifah wajib mengambil langkah-langkah strategis dalam rangka memelihara kemaslahatan masyarakat.
Khalifah wajib menyediakan barang itu di pasar dengan mendatangkannya dari berbagai tempat. Dengan ini, kenaikan harga bisa dicegah dan kelangkaan pun dapat terantisipasi.
Khalifah Umar bin Khaththab pada masa paceklik yang disebut tahun kekeringan—kelaparan di Hijaz akibat kelangkaan makanan pada tahun itu, sementara harga telah melonjak akibat kelangkaannya—tidak mematok harga tertentu untuk makanan. Khalifah Umar mengirim surat dan mendatangkan makanan dari Mesir dan Syam ke Hijaz sehingga harga turun tanpa perlu melakukan pematokan harga.
Jadi, permasalahannya hari ini adalah negara kurang berperan dalam menyediakan kebutuhan rakyat, bahkan individu menjadi pemain yang dominan. Selain itu, tidak adanya visi politik dalam memenuhi kebutuhan rakyat membuat pengelolaan minyak goreng yang berlimpah di negeri ini justru langka dan diakses dengan harga fantastis. Jika sudah begini, apakah kita masih betah dengan kapitalisme? Wallahu 'alam.
Penulis: Djumriah Lina Johan (Lingkar Studi Perempuan dan Peradaban)