KEBERADAAN minyak goreng subsidi di berbagai ritel modern maupun pasar tradisional belakangan selalu habis. Membuat pembeli yang datang kerap gigit jari karena tak kedapatan meski telah mencari di tempat lainnya.
Di bagian rak hanya tersedia minyak goreng dengan merek Barco seharga Rp 34.500 per 1 liter. “Habis belum ada kiriman lagi. Kapan datangnya kami juga enggak tahu,” ucap penjaga Indomaret di kawasan Kilometer 5, Balikpapan Utara, Kamis (3/3).
Begitupun dengan di pasar tradisional, minyak goreng mengalami kelangkaan. Beberapa toko besar yang kerap menjual minyak goreng kemasan Bimoli, Fortune, Rose Brand maupun Filma juga tak memiliki banyak stok. (Kaltim Post, Jumat, 4/3/2022)
Kelangkaan minyak goreng akibat meningkatnya harga Crude Palm Oil (CPO) dunia ikut memicu CPO domestik dan ketersediaannya.
Pemerintah Provinsi Kalimantan Timur memastikan ketersediaan minyak goreng aman dengan total kuota capai 1,67 juta liter yang dipasok dari 23 produsen se-Kaltim.
Minyak goreng itu pun didistribusikan kepada 39 distributor untuk diteruskan ke 543 toko swalayan dan 17 pelaku pedagang besar.
Balikpapan mendapatkan jatah sebanyak 421.823 liter, terbanyak kedua setelah Samarinda yang merupakan 1,09 juta liter.
Pada tanggal 1 Februari 2022 pemerintah menetapkan Harga Eceran Tertinggi (HET) kepada minyak goreng mulai Rp11.500 per liter, untuk kemasan sederhana Rp13.500 per liter dan untuk kemasan premium Rp14.500.
Kepala Dinas Perindustrian, Perdagangan dan Koperasi (Disperindagkop) UKM Kaltim, Robyan Noor mengatakan, kebutuhan harian minyak goreng Kaltim sebesar 15,06 ton per hari, dan rata-rata pasokan masuk ke Kaltim dari tanggal 25 Februari 2022 adalah sebesar 118.762 liter per hari.
“Seharusnya cukup untuk memenuhi kebutuhan masyarakat Kaltim,” ungkapnya.
Namun ternyata kebijakan tersebut tidak sampai ke pedagang pasar di seluruh pelosok tanah air. Hal ini karena harga minyak goreng masih mahal di sejumlah wilayah Indonesia.
Beberapa pedagang minyak masih memberlakukan harga di atas HET walaupun sudah dilakukan pemantauan harga. Hal ini juga berimbas pada harga pangan di sejumlah pasar tradisional di Balikpapan seperti kedelai, dan daging. (Tribun Kaltim, Kamis, 3/3/2022)
Ombudsman RI (ORI) menyebutkan ada tiga faktor yang menyebabkan minyak goreng langka dan mahal di pasaran, yaitu penimbunan, pengalihan penjualan minyak goreng dari ritel modern ke pasar tradisional agar harganya lebih mahal, dan panic buying oleh masyarakat.
Terkait penimbunan, terdapat banyak temuan yang mencengangkan. Seperti yang terjadi di Sumatera Utara, Kementerian Perdagangan (Kemendag) menyatakan pasokan minyak goreng surplus hingga 33 juta liter. Namun, minyak goreng tetap langka dan mahal, diduga karena penimbunan.
Benar saja, kepolisian menemukan penimbunan 1,1 juta liter lebih minyak goreng di gudang di Lubuk Pakam, Deli Serdang, Sumatera Utara. Pemiliknya adalah adalah PT Salim Ivomas Pratama Tbk (SIMP), anak usaha PT Indofood Sukses Makmur Tbk.
TERIMA KASIH SUDAH MEMBACA LINTASATJEH.COM
Dengan maraknya penimbunan oleh pelaku usaha, Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) mengungkap adanya praktik kartel minyak goreng. Perusahaan bermaksud memengaruhi harga minyak goreng dengan menahan pasokan ke pasar. Perusahaan sengaja memanfaatkan kenaikan harga CPO untuk mengerek harga minyak goreng demi meraup cuan berlipat-lipat.
Data menunjukkan bahwa pada kuartal III tahun 2021, tiga perusahaan yaitu PT Salim Ivomas Pratama Tbk (SIMP), PT Indofood Sukses Makmur Tbk (INDF), dan PT Sinar Mas Agro Resources and Technology Tbk (SMAR) mencatat penurunan persentase beban pokok terhadap penjualan dan meraih loncatan laba bersih hingga berkali-kali lipat (detik.com, 15/2/2022).
Balada minyak goreng di negeri kaya sawit menunjukkan adanya persoalan pada tata kelola komoditas ini oleh pemerintah. Melalui Kemendag, pemerintah mengakui bahwa ada kesalahan kebijakan yang menyebabkan harga minyak goreng melonjak. Selama ini harga minyak goreng domestik bergantung pada harga CPO internasional sehingga ketika harga CPO dunia naik, harga minyak goreng di dalam negeri ikut melonjak.
Persoalan tata kelola minyak goreng bukan pada aspek itu saja, tetapi juga pada aspek distribusi. Jalur distribusi minyak goreng di Indonesia dikuasai oleh segelintir konglomerat pengusaha.
KPPU mencatat, berdasarkan data Concentration Ratio (CR), 40 persen pangsa pasar minyak goreng di Indonesia dikuasai oleh empat konglomerat. Mereka adalah Anthony Salim, Sukanto Tanoto, Martua Sitorus, dan Bachtiar Karim. (tempo.co, 28/1/2022).
Akibat penguasaan minyak goreng dari hulu hingga hilir, pengusaha leluasa mengatur harga minyak goreng. Inilah potret hubungan penguasa dan pengusaha dalam sistem kapitalisme, pengusaha mampu mengatur kebijakan negara, sementara penguasa tidak bisa berbuat apa-apa. Negara dikuasai pengusaha.
Kebijakan pemerintah menetapkan harga eceran tertinggi (HET) minyak goreng juga bermasalah. Penetapan HET justru menjadi celah pengusaha untuk melempar stok minyak ke sektor yang lebih menjanjikan keuntungan, seperti ke pasar tradisional atau ke anak perusahaannya sendiri.
Ironis menyaksikan polemik naik-turunnya harga minyak goreng. Semuanya tidak lepas dari akal bulus para kapitalis. Terlebih, keberadaan harga adalah salah satu aspek yang sangat penting dalam ekonomi kapitalisme untuk memainkan produksi, konsumsi, dan distribusi.
Jadi, adanya polemik minyak goreng bukan hanya soal kelangkaan sehingga penetapan HET menjadi solusi pemerintah. Namun, berhubung harga adalah alat pengendali dalam sistem kapitalisme, pada titik inilah para kapitalis sangat leluasa bermain sehingga dapat meraih profit sebesar-besarnya dalam wujud kebijakan apa pun.
Tidak heran, para pemodal dalam kapitalisme akan menciptakan mekanisme harga atau struktur harga komoditas di pasaran, karena menurut mereka harga akan mempengaruhi keseimbangan ekonomi secara otomatis.
Hal ini tentu berbeda dengan tata aturan dalam sistem ekonomi Islam. Dalam Islam, Allah Swt. telah memberikan hak kepada setiap orang untuk membeli dengan harga yang ia sukai. Ini sebagaimana hadis, “Sesungguhnya jual beli itu (sah karena) sama-sama suka.” (HR Ibnu Majah)
Namun, ketika negara mematok harga untuk umum maka Allah Swt. telah mengharamkan. Allah melarang tindakan pemberlakuan harga tertentu barang dagangan untuk memaksa masyarakat agar melakukan transaksi jual-beli sesuai harga patokan tersebut.
Ini sebagaimana hadis, “Harga pada masa Rasulullah SAW pernah membumbung. Lalu mereka melapor, ‘Ya Rasulullah, seandainya saja harga ini engkau patok (tentu tidak membumbung seperti ini).’ Beliau SAW menjawab, ‘Sesungguhnya Allahlah Maha Pencipta, Maha Penggenggam, Maha Melapangkan, Maha Pemberi Rezeki dan Maha Menentukan Harga. Sesungguhnya aku sangat ingin menghadap ke hadirat Allah sementara tidak ada seorang pun yang menuntutku karena suatu kezaliman yang aku lakukan kepadanya dalam masalah harta dan darah.’” (HR Ahmad)
Kondisi melambungnya harga barang memang suatu realitas yang kadang tidak bisa kita hindari. Hal ini misalnya terjadi pada masa peperangan, krisis politik, dsb. yang memang merupakan akibat tidak tercukupinya barang di pasaran karena adanya penimbunan barang atau karena barangnya memang sedang langka. Namun, solusi masalah ini bukan dengan mematok harga.
Jika kelangkaan barang terjadi karena penimbunan, penimbunan tersebut jelas Allah haramkan. Jika kelangkaan barang terjadi karena barangnya memang langka, penguasa harus melayani kepentingan umum tersebut.
Penguasa semestinya berusaha mencukupi pengadaan barang tersebut di pasaran dengan cara mengusahakannya mengambil dari kantong-kantong logistik barang yang bersangkutan sehingga keberadaan barang terjaga, tidak harus menjadi langka. Dengan demikian, melambungnya harga dapat terhindarkan. Wallahu a'lam.
Penulis: Djumriah Lina Johan (Lingkar Studi Perempuan dan Peradaban)