PRESIDEN JOKOWI menyebut bahwa G20 harus terus mendorong penguatan peran UMKM dan perempuan melalui sejumlah aksi nyata. Hal ini dikatakan Jokowi saat berpidato pada side event KTT G20.
"Pertama, meningkatkan inklusi keuangan UMKM dan perempuan. Inklusi keuangan adalah prioritas Indonesia. Indeks keuangan inklusif kami telah mencapai 81 persen dan kami targetkan mencapai 90 persen di tahun 2024," kata Joko Widodo dalam acara yang digelar di La Nuvola, Roma, Italia, dikutip pada Minggu (31/10/2021).
Menurutnya, peran perempuan dan usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM) bagi kemajuan bangsa merupakan keniscayaan. Bagi Indonesia, UMKM adalah sendi utama perekonomian.
"Indonesia memiliki lebih dari 65 juta unit UMKM yang berkontribusi terhadap 61 persen perekonomian nasional," ujarnya.
Di saat yang sama, 64 persen pelaku UMKM Indonesia adalah perempuan sehingga bagi Indonesia, memberdayakan UMKM berarti juga memberdayakan perempuan. (Viva.co.id, Minggu. 31/10/2021)
Apa yang disampaikan oleh Presiden Jokowi, yakni dorongan peningkatan peran UMKM di atas sejatinya bisa mengalihkan dari merevisi kebijakan pengelolaan SDA dan asset negara (BUMN) yang kapitalistik dan terbukti gagal menyolusikan problem kemiskinan.
Kapitalisme dengan konsep pengelolaan sumber daya alam (SDA)nya menjadikan barang milik dan kebutuhan publik diprivatisasi para pemodal yang bersekutu dengan rezim-rezim korup.
Karena itu, kekayaan alam yang seharusnya menjadi exit strategy bagi penanganan pandemi maupun menyejahterakan rakyat, saat ini tak bisa dimanfaatkan untuk kepentingan pemilik sahnya, yakni rakyat. Sehingga perempuan harus memeras keringat demi memenuhi nafkahnya.
Padahal jika SDA dikelola sesuai sistem politik ekonomi Islam, niscaya seluruh Muslim memiliki sumber daya yang cukup untuk bertahan bahkan memberikan mereka peluang untuk mengongkosi segala keperluan ekonomi dan kesehatan.
Keterlibatan perempuan yang lebih besar sebagaimana yang disolusikan sistem kapitalisme malah akan melahirkan masalah baru terkait tanggung jawabnya sebagai pendidik generasi. Kebijakan ini jelas bukan solusi justru mempertahankan kesalahan pengelolaan dan memunculkan problem ikutan.
Sangat berbeda dengan Islam. Islam telah menempatkan perempuan dalam kemuliaan dan keutamaan. Potensi perempuan yang cenderung penyayang dan lemah lembut menjadikan peran domestiknya sangatlah penting bagi lahirnya sebuah peradaban. Seorang penyair ternama Hafiz Ibrahim mengungkapkan, “Ibu adalah madrasah (sekolah) pertama bagi anaknya. Jika engkau persiapkan ia dengan baik, maka sama halnya engkau persiapkan bangsa yang baik pokok pangkalnya.”
Pemberdayaan perempuan dalam Islam bukanlah tuntutan kesetaraan gender atau mesin pendongkrak ekonomi. Pemberdayaan perempuan dalam Islam tercakup dalam dua peran. Pertama, peran domestik, yakni sebagai istri dan ibu bagi anak-anaknya. Peran ini tidak akan bisa digeser oleh siapa pun.
Allah telah menempatkan potensi perempuan sebagai pendidik generasi. Mengandung, melahirkan, menyusui, mengasuh, serta mendidik anak adalah serangkaian tugas pokok bagi para ibu. Meski ayah pun memiliki kewajiban mendidik anak-anaknya, hanya saja potensi pengasuhan anak memang Allah fitrahkan pada kaum ibu.
Islam memandang perempuan dengan tepat dan menempatkannya pada posisi mulia, yakni sebagai ibu dan pengatur rumah tangga. Posisi yang sangat strategis, sebab masa depan generasi dan sebuah bangsa sangat ditentukan oleh posisi ini. Proses pendidikan pada anak yang dilakukan oleh kaum ibu menjadi kunci utama tingginya peradaban sebuah bangsa.
Adapun kewajiban mencari nafkah, dibebankan pada kaum laki-laki. Bukan untuk menunjukkan kekuatan laki-laki dan kelemahan perempuan. Peran ini diberikan sesuai dengan kemampuan fisik dan tanggung jawab yang diberikan Allah SWT. pada laki-laki.
Kedua, peran publik. Dalam hal ini, baik laki-laki maupun perempuan memiliki hak dan kedudukan yang sama dalam mengenyam pendidikan, menuntut ilmu, mengajarkan ilmu, dan berdakwah. Adapun jika terdapat ketentuan hukum yang berkaitan dengan predikatnya sebagai laki-laki dan perempuan, hal itu tidak bermakna tak setara. Allah Swt. memberikan diferensiasi atas peran laki-laki dan perempuan dalam kehidupan pernikahan dan bermasyarakat tidak didasarkan pada pengertian hierarki gender, tetapi pada apa yang diperlukan secara efektif untuk mengatur kehidupan keluarga dan masyarakat secara proporsional dan berkeadilan. Sehingga, tercipta kehidupan yang harmoni dan sinergi.
Perbedaan ketentuan hukum ini bukan berarti diskriminasi. Namun, disinilah rasa keadilan yang Allah beri untuk makhluk-Nya sesuai kapasitas dan potensi masing-masing.
Allah berfirman, “Dan janganlah kamu iri hati terhadap karunia yang telah dilebihkan Allah kepada sebagian kamu atas sebagian yang lain. (Karena) bagi laki-laki ada bagian dari apa yang mereka usahakan, dan bagi perempuan (pun) ada bagian dari apa yang mereka usahakan. Mohonlah kepada Allah sebagian dari karunia-Nya. Sungguh, Allah Maha Mengetahui segala sesuatu.” (TQS An-Nisa: 32)
Yang tak kalah penting adalah pemberdayaan perempuan dalam aktivitas dakwah amar makruf nahi mungkar. Laki-laki maupun perempuan memiliki kewajiban yang sama, yakni mengoptimalkan peran dan potensinya untuk kepentingan perjuangan Islam.
Pemberdayaan perempuan haruslah diarahkan pada upaya pencerdasan politik umat dengan membentuk kesadaran Islam di tengah masyarakat, mengubah pemikiran rusak seperti sekularisme, liberalisme, feminisme, dan turunannya. Juga mengubah peta hidupnya dengan menjadikan Islam sebagai way of life. Para muslimah harus memberdayakan perannya untuk mewujudkan sistem kehidupan Islam, yakni sebagai ibu pendidik generasi, sahabat bagi suaminya, dan penyelamat kaum ibu dari sesatnya pemikiran yang bertentangan dengan Islam.
Inilah pemberdayaan hakiki. Bukan sekadar mencari cuan. Namun, lebih kepada mengaktifkan jati dirinya sebagai hamba Allah SWT. Melakukan amar makruf nahi munkar di lingkungan keluarga, masyarakat, dan negara. Berdakwah dan membina umat ini agar menjadikan Islam sebagai jalan hidup yang harus dipilih hingga kaum muslimah merasa bangga berislam kafah.
Wallahu a'lam.
Penulis: Djumriah Lina Johan (Lingkar Studi Perempuan dan Peradaban)