SUDAH jatuh ketimpa tangga. Pribahasa ini rasanya sangat pas untuk menggambarkan kondisi masyarakat Indonesia saat ini. Setelah diterpa pandemi covid-19, lalu himpitan ekonomi, kini ditambah lagi biaya tes PCR yang menjebol Kantong.
Sektor kesehatan adalah sektor yang sangat dibutuhkan oleh masyarakat, apalagi dengan pandemi yang sampai saat ini belum usai. Rakyat harus beraktivitas di luar dan terbiasa hidup berdampingan dengan covid-19 ,serta mematuhi berbagai peraturan yang ditetapkan oleh pemerintah. Salah satunya adalah melakukan tes usap Polymerase Chian Reaction (PCR) yang merupakan tes untuk menentukan ada atau tidaknya virus Covid di dalam tubuh seseorang. Tes PCR ini juga tak jarang dijadikan sebagai syarat dalam melakukan perjalanan jauh. Masalahnya adalah adanya penetapan harga untuk tes PCR yang berbeda-beda baik di Jawa-Bali dan di luar Jawa-Bali, inilah yang membuat rakyat menjerit.
Hal ini seperti yang di kutip dari Kumparan.com (Sabtu, 13/11/2021). Pemerintah menetapkan harga eceran tertinggi (HET) tes usap Polymerase Chian Reaction (PCR) di Jawa-Bali sebesar Rp 275,000 dan Rp 300.000 untuk luar Jawa-Bali. Para pengusaha yang bergerak di bidang kesehatan menilai harga tersebut cukup memberatkan pelaku usaha kesehatan.
Rumah sakit, klinik, dan Laboratorium terdesak ketika melakukan PCR. Apabila tidak memberikan layanan PCR maka izinnya akan ditutup, tetapi jika mereka melakukannya akan “buntung”. Hal ini seperti yang disampaikan oleh sekretaris jenderal Perkumpulan Organisasi Perusahaan Alat-alat Kesehatan dan Laboratorium (Gakeslab) Indonesia, Randy H.Teguh. Ia menilai pemerintah harus dilibatkan dalam penentuan harga tes PCR demi keberlangsungan layanan kesehatan selama pandemi. (Kumparan, 13/11/2021).
Jika para pengusaha kesehatan merasa “buntung” dengan HET tes PCR, sebaliknya begawan ekonomi Fuad Bawazier menilai ada banyak keuntungan dibalik bisnis PCR. Perusahaan yang saat ini tengah bangkrut saja beralih menjadi pebisnis PCR karena mendapat limpahan proyek. Ia juga mempertanyakan, mengapa bisnis yang menggiurkan ini tidak di serahkan ke BUMN farmasi atau BUMN yang sedang “berdarah-darah” mengalami kerugian? (Eksbis. rmol, 26/10/2021)
Indonesia Corruption Watch (ICW), Wana Alamsyah menyebutkan bahwa penyedia jasa tes PCR meraup keuntungan puluhan triliun selama pandemi. Tak tanggung-tanggung, keuntungan penyedia jasa PCR di hitung mulai Oktober 2020 sampai Agustus 2021 mencapai Rp 10,45 triliun. Angka yang cukup fantastis.
Tentu pernyataan ini berbanding terbalik dengan pernyataan para pengusaha kesehatan yang mengatakan mereka akan mengalami kerugian jika tetap melakukan tes PCR yang mana mereka harus menyiapkan alat-alat pendukung.
Bahkan selama pandemi banyak pengusaha beralih ke bisnis ini, sebab keuntungan yang didapatkan sangat menjanjikan, bayangkan saja sekali melakukan tes PCR bisa memperoleh bayaran yang cukup tinggi, meski akhirnya pemerintah menurunkan harga HET tes PCR. Yang mana sebelumnya ada istilah PCR Ekspres, hasilnya lebih cepat di ketahui dan harganya pun terbilang cukup mahal dari PCR biasa yang memerlukan waktu minimal 1x24 jam bagi konsumen untuk mengetahui hasilnya.
TERIMA KASIH SUDAH MEMBACA LINTASATJEH.COM
Meski pemerintah kemudian menurunkan harga, namun bagi masyarakat, harga yang ditetapkan pemerintah masih cukup memberatkan. Pasalnya kondisi ekonomi masyarakat jauh di atas kata sejahtera, apalagi ditambah dengan hantaman pandemi sampai saat ini menambah kondisi ekonomi masyarakat semakin memprihatinkan. Alih-alih untuk membayar tes PCR untuk bertahan hidup saja mereka cukup kewalahan.
Adanya harga tes PCR yang cukup memberatkan rakyat, disebabkan layanan kesehatan yang dimainkan oleh pengusaha atau swasta bukan ditangani langsung oleh negara. Dalam sistem kapitalis sekuler negara hanya sebagai regulator. Pemerintah cukup mengamati kondisi yang ada, jika masyarakat merasa berat dengan harga yang ditetapkan pengusaha maka pemerintah cukup memberikan himbauan atau membuat aturan terkait penetapan harga, bukan berpikir bagaimana layanan kesehatan ini bisa dikelola langsung oleh negara secara gratis, sehingga tidak memberatkan rakyat.
Layanan kesehatan sudah seharusnya menjadi tanggung jawab negara, baik di masa pandemi ataupun tidak. Bukan justru menyerahkan kepada swasta, menjadi lahan bisnis. Paling miris adanya pejabat negara yang ikut andil memiliki usaha mandiri tes PCR. Patut di pertanyakan bagaimana mungkin mereka melayani rakyat sepenuh hati, sementara mereka sendiri mengambil keuntungan di tengah kondisi masyarakat yang terpuruk.
Inilah buah dari penerapan sistem kapitalis, standar keuntungan menjadi prioritas utama dalam meriayah rakyat, tidak peduli dengan kondisinya. Dalam sistem ini pula yang memberikan ruang bebas untuk para pengusaha untuk ikut andil dalam memainkan peran di berbagai sektor, salah satunya sektor kesehatan yang nyata-nyata adalah sektor pokok untuk rakyat.
Berbeda dengan sistem Islam yang sangat memperhatikan sektor urgen salah satunya kesehatan. Bahkan kebutuhan pokok menjadi tanggung jawab negara mulai dari sandang, pangan dan papan.
Untuk memenuhi semua itu, negara akan mengelola SDA (sumber daya alam) yang melimpah ruah secara mandiri, hasilnya akan di salurkan untuk kesejahteraan rakyat, membiayai sektor kesehatan, pendidikan dan lain-lain.
Negara menyiapkan fasilitas dan pelayanan kesehatan terbaik serta gratis tanpa membedakan status sosial ekonomi masyarakat nya. Selama ia menjadi warga negara daulah maka hak dan kewajiban yang diperoleh sama.
Negara tidak memberikan peluang kepada individu maupun swasta untuk mengambil peran sebagai ladang bisnis di sektor kesehatan yang mana nantinya akan melepaskan tanggung jawab negara serta memberatkan masyarakat seperti yang ada pada sistem saat ini dengan mengomersialkan tes PCR dan menjadi ladang bisnis.
Hal ini pernah di contohkan oleh Rasulullah Saw. Pada saat menjadi kepala negara. Beliau menyediakan dokter gratis untuk mengobati Ubay. Pada saat beliau mendapatkan hadiah seorang dokter dari Muqauqis, raja Mesir, beliau menjadikan dokter tersebut sebagai dokter umum bagi masyarakat. (HR. Muslim)
Begitu juga pada masa kepemimpinan Umar Bin Khattab ra. Sang Khalifah menyiapkan dokter gratis untuk mengobati Aslam.
Inilah gambaran bagaimana negara Islam meriayah warganya. Masyarakat tidak dibiarkan berjuang sendiri dan menjadi target pasar para oligarki yang tamak. Sudah saatnya kita berupaya semaksimal mungkin untuk kembali kepada sistem Islam Kaffah, karena hanya dengan penerapan sistem tersebut masyarakat akan merasakan ri’ayah yang sesungguhnya.
Wallahu a’alam Bisshawwab
Penulis: Widiawati, S.Pd (Ibu Rumah Tangga dan Aktivis Muslimah)