LINTAS ATJEH | BANDA ACEH - Setahun setelah kisruh pengesahan Undang-Undang Nomor 11 tahun 2020 tentang Cipta Kerja (UUCK), Yayasan Hutan Alam dan Lingkungan Aceh (HAkA) ajukan permohonan Uji Materiil ke Mahkamah Konstitusi. Permohonan Uji Materiil yang diajukan oleh HAkA adalah pada Pasal 22 angka 5 UUCK terkait perubahan ketentuan Pasal 26 ayat (3) Undang-Undang Nomor 32 tahun 2009 tentang Perlindungan dan pengelolaan Lingkungan Hidup (UU PPLH) yang mengatur tentang ruang partisipasi publik dalam proses Amdal.
Pasal 22 angka 5 UUCK mengatur bahwa dalam penyusunan Amdal dilakukan dengan melibatkan masyarakat terkena dampak langsung. Padahal sebelumnya Pasal 26 ayat (3) UU PPLH mengatur bahwa penyusunan Amdal dilakukan dengan melibatkan masyarakat terkena dampak, pemerhati lingkungan, dan/atau yang terpengaruh atas segala bentuk keputusan dalam proses Amdal.
Dihapusnya hak partisipasi bagi pemerhati lingkungan dan/atau yang terpengaruh atas segala bentuk keputusan dalam Amdal pada proses penyusunan Amdal inilah yang menjadi alasan Yayasan HAkA mengajukan Permohonan Uji Materiil UUCK terhadap Undang-Undang Dasar.
Menurut Yayasan HAkA, pelibatan masyarakat pada proses Amdal yang hanya terbatas pada masyarakat terdampak langsung dari suatu pembangunan dikhawatirkan akan menurunkan kualitas dokumen yang seharusnya disusun secara kritis.
TERIMA KASIH SUDAH MEMBACA LINTASATJEH.COM
Selain itu, lanjut dia, pembatasan partisipasi ini juga menyebabkan Yayasan HAkA ataupun masyarakat lainnya kehilangan Hak untuk memperjuangkan atau mempertahankan haknya terhadap lingkungan yang baik dan sehat sebagaimana dijamin oleh konstitusi.
“Lingkungan yang baik dan sehat itu adalah hak konstitusional yang dijamin oleh konstitusi kita. Dihapusnya hak partisipasi pemerhati lingkungan pada proses amdal telah menyebabkan hilangnya hak konstitusional kami selaku Lembaga Pemerhati Lingkungan,” sebut Badrul Irfan, Sekretaris Yayasan HAkA.
Permohonan uji materiil yang diajukan oleh Yayasan HAkA melalui Kuasa Hukumnya yakni Harli, S.H., M.T., Nurul Ikhsan, S.H., M. Fahmi, S.H., Jehalim Bangun, S.H., dan Irwan Lalegit, S.H., didasari atas legal standing lembaga lingkungan selaku wali lingkungan.
Menurut Kuasa Hukum Yayasan HAkA, Harli, S.H., hak atas lingkungan untuk Lembaga lingkungan berbeda dengan hak masyarakat terdampak langsung. Hak Lembaga lingkungan terhadap lingkungan memiliki arti yang luas, hak tersebut seperti hak memperjuangkan kelestarian hutan, kelangsungan keaneka ragaman hayati.
"Kelestarian dan kelangsungan keanekaragaman hayati tidak dapat dinilai dengan rupiah, maka kerugian karena kehilangan hal tersebut juga tidak dapat dinilai dengan rupiah. Bagi seorang peneliti, kehilangan objek penelitiannya merupakan kerugian yang dangat besar yang tidak dapat dinilai," tukasnya.
Permohonan uji materiil ini telah didaftarkan oleh Kuasa Hukum Yayasan HAkA pada hari Kamis, tanggal 7 Oktober 2021.[*/Red]