LINTAS ATJEH | BANDA ACEH - Kabar membahagiakan datang dari Tanah Air. Permohonan amnesti untuk Saiful Mahdi resmi telah disetujui. Banyak pihak menyambut baik keputusan ini dan berharap kejadian serupa bisa dihindari.
Sebagai informasi, kasus Saiful Mahdi berawal dari kritiknya yang disampaikan melalui grup WhatsApp pada Maret 2019. Kala itu Saiful mengkritik proses penerimaan CPNS untuk posisi dosen di Fakultas Teknik. Dia mengkritik berkas peserta yang diduga tak sesuai syarat, tetapi tetap diloloskan oleh pihak kampus.
“Innalillahiwainnailaihirojiun. Dapat kabar duka matinya akal sehat dalam jajaran pimpinan FT Unsyiah saat tes PNS kemarin. Bukti determinisme teknik itu sangat mudah dikorup?” tulis Saiful.
Akibatnya, dia diperkarakan menggunakan Pasal 27 ayat (3) Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE), dengan dugaan pencemaran nama baik Dekan Fakultas Teknik Unsyiah.
Setelah proses berjalan, pada 21 April 2020 Pengadilan Negeri Banda Aceh menjatuhkan vonis tiga bulan penjara dan denda sebesar Rp100 juta. Saiful mengajukan banding atas putusan itu, namun Pengadilan Tinggi menolak.
TERIMA KASIH SUDAH MEMBACA LINTASATJEH.COM
Kemudian, dia mengajukan kasasi ke Mahkamah Agung (MA) yang juga ditolak pada 29 Juni 2021. Awal September 2021, jaksa mengeksekusi Saiful Mahdi ke LP Aceh. Koalisi Advokasi pun memutuskan meminta amnesti ke Jokowi.
Kejanggalan
Pakar Hukum Tata Negara Universitas Gadjah Mada, Zainal Arifin Mochtar, menilai, selain telah mengundang polemik, kasus Saiful Mahdi mengandung beberapa kejanggalan.
Dia berpendapat, kasus Saiful tidak melalui proses pidana yang wajar, bahkan bukan hal yang patut diberikan sanksi. Saiful, menurutnya, menyampaikan sesuatu sebagai pendapat semata.
Bahkan pendapat itu ada titik kebenarannya karena memang ada serangkaian keanehan. Kemudian, menurut Zainal, keanehan itu diikuti lagi dengan keanehan lain, yakni mereka melaporkan itu sehingga berujung pada proses pidana.
Meski panjang dan berliku, kini Saiful bisa bernapas lega. Akhirnya permohonan amnestinya telah disetujui oleh DPR RI. Proses yang dilakukan pun terbilang progresif karena hanya berjarak 8 hari pasca Presiden Joko Widodo (Jokowi) mengirimkan surat presiden ke DPR RI untuk meminta pertimbangan.
Persetujuan DPR RI atas amnesti untuk Saiful Mahdi itu dilakukan dalam Rapat Paripurna DPR RI Ke-7 Masa Persidangan I Tahun Sidang 2021-2022 yang digelar Kamis (7/10/2021).
Pimpinan sidang, Muhaimin Iskandar mengatakan pimpinan DPR telah menerima Surat Presiden tertanggal 29 September 2021 berkaitan pertimbangan atas permohonan amnesti Saiful Mahdi.
“Presiden mengajukan surat kepada DPR RI untuk meminta pertimbangan atas rencana pemberian amnesti kepada saudara Saiful Mahdi,” kata Muhaimin.
Sehubungan dengan keterbatasan waktu dan urgensi surat tersebut, Muhaimin pun langsung meminta persetujuan kepada anggota DPR. Pasalnya, DPR akan memasuki masa reses.
Anggota dewan yang hadir kemudian serempak menyatakan setuju. Muhaimin pun langsung mengetuk palu pimpinan sebagai tanda persetujuan.
Wujud negara hadir
Istri dari Saiful Mahfdi, Dian Rubianty menilai pemberian amnesti merupakan wujud negara yang hadir untuk rakyat, ketika keadilan tidak hadir dan kebenaran dibungkam.
Koalisi Advokasi Saiful Mahdi mengapresiasi Presiden dan DPR dalam merespon cepat dan mengabulkan permohonan amnesti tersebut, termasuk Koordinator Paguyuban Korban UU ITE (Paku ITE) Muhammad Arsyad.
Meski demikian, Arsyad menilai kasus-kasus seperti yang dialami Saiful Mahdi masih banyak dan akan terus bertambah jika pemerintah tidak menyelesaikan akar permasalahannya.
Di sisi lain, Koalisi Advokasi Saiful Mahdi juga mengucapkan terima kasih kepada masyarakat yang bersama-sama memberikan dukungan untuk membebaskan Saiful Mahdi.
Sebanyak lebih dari 85 ribu orang telah menandatangani petisi secara daring di laman Change.org dengan tajuk “Amnesti Untuk Saiful Mahdi”. Selain itu, terdapat juga lebih dari 50 lembaga serta individu memberikan dukungan pemberian amnesti.
Tak hanya itu, Koalisi Advokasi Saiful Mahdi juga menyampaikan terima kasih atas dukungan Lembaga Penelitian Pendidikan dan Penerangan Ekonomi dan Sosial (LP3ES), Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (KOMNAS HAM), Akademisi Ilmuwan Muda, Forum 100 Ilmuwan Indonesia, Asosiasi Profesor Indonesia (API), serta lembaga-lembaga lainnya.[Bentengsumbar]