Safaruddin (kiri), Baron Feriso Pandiangan (dua dari kiri), Hasan Basri M. Nur (tiga dari kiri) dan Prof Hamin Sarong (paling kanan).
LINTAS ATJEH | BANDA ACEH - Pemberlakuan Syariat Islam dalam peradilan di Aceh menjadi hal menguntungkan bagi sejumlah penganut agama lain. Beberapa penganut agama selain Islam di Aceh, dengan suka rela dan tanpa paksaan memilih diterapkan hukum syariah atas diri mereka demi mempercepat urusan peradilan.
Penerapan syariat Islam beserta aspek keistimewaan dan kekhususan lainnya di Aceh tidak menjadi halangan bagi umat agama lain, terutama agama Katolik, dalam beraktifitas di Aceh, baik dari aspek ekonomi hingga karir sekalipun. Umat Katolik menghormati dan menjunjung tinggi keistimewaan Aceh yang diakui regulasi Indonesia.
Demikian intisari pertemuaan pembina umat Katolik di Aceh, Baron Ferison Pandiangan, S.Ag, MTH dengan Ketua Yayasan Advokasi Rakyat Aceh (YARA) Safaruddin, SH, Ketua Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB) Aceh Prof. Dr. H. A Hamid Sarong, SH, MH dan juga Dosen Fakultas Dakwah dan Komunikasi UIN Ar-Raniry Hasan Basri M. Nur, di sebuah cafe di Banda Aceh, Senin (04/10/2021).
TERIMA KASIH SUDAH MEMBACA LINTASATJEH.COM
“Beberapa waktu lalu ada penganut Katolik di Banda Aceh yang ditangkap polisi karena melakukan pelanggaran yaitu perdagangan minum keras. Dia berkonsultasi dengan saya apakah dia telah keluar dari agama Katolik jika memilih untuk diterapkan hukum syariah dalam persidangan,” ujar Baron.
Setelah saya beri pemahaman, kata dia, lalu yang bersangkutan memilih diterapkan pasal yang ada qanun jinayah atas dirinya. Yang bersangkutan menginginkan keluar dari penjara secepatnya agar dapat kembali mencari nafkah untuk mengepulkan asap dapur bagi anak isterinya.
Baron melanjutkan, setelah yang bersangkutan dicambuk sebanyak 36 kali cambukan dan potong masa tahanan, lalu dia dibebaskan dan dapat kembali berkumpul dengan keluarga.
“Jadi dalam kasus ini tidak ada paksaan. Dia memilih sendiri untuk diterapkan hukum syariah atas kesalahan yang telah diperbuatnya,” ujar Baron yang hampir 11 tahun bermukim di Aceh.
Dalam kesempatan itu, Safaruddin dan Hamid Sarong meminta penduduk Aceh yang bukan beragama Islam dan bukan dari suku bangsa Aceh untuk dapat terus menghormati keistimewaan Aceh yang diatur dalam UU Nomor 44 Tahun 1999 serta kekhususan Aceh yang diartur dalam UU Nomor 11 Tahun 2006.
“Ada dua status yang dimiliki Aceh yang membedakannya dari semua provinsi lain di Indonesia. Pertama dalam UU nomor 44 Tahun 1999 diatur tentang keistimewaan Aceh. Kedua dalam UU Nomor 11 Tahun 2006 diatur tentang kekhususan Aceh,” papar Safaruddin yang bertekad menjadi pengawal keistimewaan Aceh.
Adapun keistimewaan Aceh terdapat dalam empat aspek utama, yaitu dalam bidang agama (syariah), pendidikan, adat-istiadat dan kepemimpinan ulama.
“Hanya saja keistimewaan dalam aspek pendidikan Aceh masih sangat gelap gulita. Mutu pendidikan Aceh tahun 2021 versi Perguruan Tinggi berada di rangking 25, terendah di Pulau Sumatera dan rangkingnya jauh di bawah Papua Barat,” kata Safaruddin.
“Padahal dana otsus untuk sektor pendidikan sangat besar, terbesar di Pulau Sumatera. Pasti ada kesahalan fatal dalam pengelolaan dana pada Dinas Pendidikan Aceh. Mungkin pihak terkait perlu mengusut masalah ini sehingga mutu pendidikan Aceh tak lagi terpuruk,” pungkas Safaruddin yang juga Ketua Ikatan Advokat Indonesia (IKADIN) wilayah Aceh.[*/Red]