“Amar putusan, mengadili, mengabulkan permohonan Pemohon untuk sebagian,” kata Ketua MK Anwar Usman membacakan petikan amar Putusan Nomor 42/PUU-XIX/2021.
Mahkamah dalam amar putusan juga menyatakan Penjelasan Pasal 39 UU Desa bertentangan dengan UUD NRI 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat secara bersyarat sepanjang tidak dimaknai, “Kepala desa yang sudah menjabat 1 (satu) periode, baik berdasarkan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa maupun berdasarkan undang-undang sebelumnya masih diberi kesempatan untuk menjabat 2 (dua) periode. Begitu pula, bagi kepala desa yang sudah menjabat 2 (dua) periode, baik berdasarkan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa maupun berdasarkan undang-undang sebelumnya masih diberi kesempatan untuk menjabat 1 (satu) periode”.
Sehingga, Penjelasan Pasal 39 UU Desa yang semula berbunyi “Kepala Desa yang telah menjabat satu kali masa jabatan berdasarkan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 diberi kesempatan untuk mencalonkan kembali paling lama 2 (dua) kali masa jabatan. Sementara itu, Kepala Desa yang telah menjabat 2 (dua) kali masa jabatan berdasarkan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 diberi kesempatan untuk mencalonkan kembali hanya 1 (satu) kali masa jabatan” menjadi selengkapnya berbunyi “Kepala desa yang sudah menjabat 1 (satu) periode, baik berdasarkan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa maupun berdasarkan undang-undang sebelumnya masih diberi kesempatan untuk menjabat 2 (dua) periode. Begitu pula, bagi kepala desa yang sudah menjabat 2 (dua) periode, baik berdasarkan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa maupun berdasarkan undang-undang sebelumnya masih diberi kesempatan untuk menjabat 1 (satu) periode”.
Mahkamah melalui Hakim Konstitusi Enny Nurbaningsih dalam membacakan pertimbangan hukum mempertanyakan cara penghitungan paling banyak 3 (tiga) kali masa jabatan kepala desa pada Penjelasan Pasal 39 UU 6/2014 tersebut. Menurut Mahkamah, dalam praktik atas ketentuan tersebut memunculkan kepala desa yang menjabat lebih dari 3 periode, yang merupakan prinsip utama pembatasan masa jabatan kepala desa yang dianut oleh UU 6/2014. Kemudian praktik tersebut dimungkinkan pula muncul berdasarkan pada undang-undang sebelum berlakunya UU 32/2004. Keadaan ini, kata Enny, rentan berakibat munculnya kesewenang-wenangan dan berbagai macam penyimpangan oleh kepala desa. Untuk menghindari hal ini, penghitungan periodesasi masa jabatan kepala desa tidak hanya mendasarkan pada UU 32/2004.
“Artinya, bagi kepala desa yang sudah menjabat tiga periode, meskipun mendasarkan pada undang-undang yang berbeda, termasuk undang-undang sebelum berlakunya UU 6/2014, jika telah pernah menjabat selama 3 (tiga) periode sudah terhitung 3 (tiga) periode. Sehingga, penghitungan 3 (tiga) kali berturut-turut atau tidak berturut-turut dalam norma Pasal 39 ayat (2) UU 6/2014 didasarkan pada fakta berapa kali keterpilihan seseorang sebagai kepala desa. Selain itu, periodesasi 3 (tiga) kali masa jabatan dimaksud berlaku untuk kepala desa, baik yang menjabat di desa yang sama maupun yang menjabat di desa yang berbeda,” sampai Enny.
TERIMA KASIH SUDAH MEMBACA LINTASATJEH.COM
Oleh karena itu, Penjelasan Pasal 39 UU 6/2014 harus dilakukan penyesuaian agar tidak menimbulkan multitafsir dan ketidakpastian hukum dan harus dinyatakan bertentangan dengan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945 sepanjang tidak dimaknai Kepala Desa yang sudah menjabat 1 (satu) periode, baik berdasarkan UU 6/2014 maupun berdasarkan undang-undang sebelumnya, masih diberi kesempatan untuk menjabat 2 (dua) periode. Kemudian, bagi kepala desa yang sudah menjabat 2 (dua) periode, baik berdasarkan UU 6/2014 maupun berdasarkan undang-undang sebelumnya, masih diberi kesempatan untuk menjabat 1 (satu) periode.
“Dengan demikian, permohonan Pemohon sepanjang berkenaan dengan Penjelasan Pasal 39 UU 6/2014 adalah beralasan menurut hukum untuk sebagian,” ucap Enny membacakan akhir dari pertimbangan hukum Mahkamah dalam Putusan Nomor 42/PUU-XIX/2021 ini.
Sebagai informasi, Nedi Suwiran (Pemohon) mengujikan Pasal 39 ayat (2) UU Desa yang menurutnya bertentangan dengan Pasal 28D Ayat (3) UUD 1945. Dalam kasus konkret, Pemohon menceritakan bahwa dirinya terpilih menjadi kepala desa (kades) untuk satu periode masa jabatan selama 5 tahun pada 2005–2009, sesuai dengan ketentuan UU 22/1999. Kemudian ia kembali terpilih untuk satu periode masa jabatan 6 tahun pada 2009–2015 sesuai dengan ketentuan UU 32/2004. Selanjutnya ia kembali terpilih dan menjabat sebagai kades dengan masa jabatan 6 tahun pada 2015–2021 sesuai dengan ketentuan UU 32/2004.
Menurut Pemohon, materi muatan dalam Pasal 39 ayat (2) UU Desa dan Penjelasan Pasal 39 UU Desa, di satu sisi telah memberikan kepastian hukum atas pembatasan masa jabatan kepala desa yang menjabat paling banyak 3 (tiga) kali masa jabatan berdasarkan UU 32/2004. Tetapi di sisi lain, telah menimbulkan keragu-raguan (multitafsir) sepanjang penghitungan pemberian kesempatan mencalonkan kembali sebagai kepala desa. Hal ini disebabkan oleh Penjelasan Pasal 39 UU Desa yang dibuat dengan sistematika kalimat yang tidak sederhana, berbelit-belit dan bersayap yang justru dapat membuat orang bingung dalam menafsirkannya, semestinya hanya ada satu tafsir ketentuan tersebut yang penghitungan secara berturut-turut atau tidak didasarkan pada UU 32/2004.
Menurut Pemohon, karena ada tafsir yang berbeda tersebut maka proses pemilihan kepala desa yang akan diikuti Pemohon ditunda disebabkan adanya Surat Bupati Ogan Komering Ilir Nomor 140/458/D.PMD/II.1/2021 tanggal 21 Juli 2021 karena menganggap adanya ketidakjelasan Penjelasan Pasal 39 UU 6/2014.
Berdasarkan alasan-alasan tersebut di atas, Pemohon memohon kepada Mahkamah agar Pasal 39 ayat (2) dan Penjelasan Pasal 39 UU Desa dinyatakan bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat secara bersyarat sepanjang tidak dimaknai, “Kepala Desa dapat menjabat 3 (tiga) kali masa jabatan baik secara berturut-turut atau tidak secara berturut-turut yang penetapannya sebagai kepala desa didasarkan pada Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004”[Industry.co.id]