LINTAS ATJEH | JAKARTA - Ketua Dewan Perwakilan Daerah (DPD) RI, AA LaNyalla Mahmud Mattalitti, mengaku miris dengan terus menggungnya utang pemerintah saat ini. Saat ini jumlahnya mencapai Rp8 ribu trliiun. Jika dibagi dengan jumlah penduduk, maka satu orang menanggung puluhan juta.
Meski demikian, LaNyalla mengajak seluruh lapisan masyarakat untuk terus optimistis dan berpikiran positif. Utang Indonesia saat ini mencapai Rp8.670,66 triliun, terdiri dari utang pemerintah Rp6.527 triliun perakhir April 2020 dan utang BUMN yang mencapai Rp2.24,37 triliun per kuartal IV-2020. "Tidak bisa dipungkiri jika Indonesia menghadapi masa-masa sulit sejak wabah Covid-19 melanda. Seperti negara lain, Indonesia harus merasakan terpuruknya sektor ekonomi dan kesehatan. Bahkan kondisinya bisa semakin memburuk," tutur LaNyalla, dikutip dari laman Instagram DPD RI, Senin (28/6/2021).
Senator asal Jawa Timur itu menambahkan, kondisi tersebut membuat Indonesia harus menghadapi fase di mana negara berutang sangat tinggi. Saat ini, banyak pihak khawatir utang yang tinggi tersebut dapat menyebabkan ketidakstabilan permasalahan lain seperti sosial dan politik.
"Memang kondisi ini bisa jadi preseden buruk sepanjang tahun ini. Namun, kita harus tetap optimistis dapat keluar dari masalah ini. Pemerintah sedang menggenjot iklim investasi dan menumbuhkan industri. Jadi, kita masih punya harapan besar melalui program pemulihan ekonomi nasional," katanya.
TERIMA KASIH SUDAH MEMBACA LINTASATJEH.COM
LaNyalla berharap, usaha tersebut dapat didukung pemerintah daerah dengan melakukan inovasi pengembangan potensi-potensi sumber ekonomi. Menurutnya, pemerintah pusat dan daerah harus bersinergi dan bergerak bersama. "Inovasi sangat dibutuhkan, baik di tingkat pusat maupun daerah. Karena, pemerintah perlu mendapatkan solusi untuk memecahkan defisit anggaran, dan harus kita ikhtiarkan tanpa harus membebani masyarakat," katanya.
Penerimaan negara saat ini sebesar Rp726 triliun per Mei 2021 sedangkan belanja negara mencapai Rp945 jadi kita defisit defisit APBN sebesar Rp219 triliun per akhir Mei 2021. Sementara, utang pemerintah Indonesia sebesar Rp6.418,15 triliun atau setara 40,49 persen dari Produk Domestik Bruto (PDB) per akhir Mei 2021.
Akhir-akhir ini, lonjakan utang pemerintah menjadi sorotan tajam banyak pihak. Harus diakui, tren kenaikan utang pemerintah sudah terjadi sebelum merebaknya pandemi Covid-19. Terbaru, sebagaimana dikutip dari laman APBN KiTa Juni 2021 yang dirilis Kementerian Keuangan, posisi utang pemerintah per akhir Mei 2021, yakni mencapai Rp6.418,15 triliun.
Dalam perjalannya, utang pemerintah sudah melonjak lebih dari dua kali lipat dibandingkan masa awal pemerintahan Presiden Joko Widodo (Jokowi) di peride pertamanya. Sebagai contoh, pada akhir 2014, utang pemerintah tercatat masih di level Rp2.608 triliun. Kemudian setahun setelahnya atau di akhir 2015, utang pemerintah sudah menjadi Rp3.089 triliun.
Selain kenaikan besaran total utang pemerintah, rasio utang pemerintah terhadap produk domestik bruto (PDB) di era Presiden Jokowi juga mengalami kenaikan signifikan. Di awal masa jabatannya sebagai Presiden RI, rasio utang pemerintah terhadap PDB tercatat masih di level 24,7 persen. Kini angkanya sudah naik menjadi 40,94 persen.
Dari total utang pemerintah sebesar Rp 6.418,15 triliun tersebut, sebagian besar berasal dari utang lewat penerbitan Surat Berharga Negara (SBN) sebesar Rp5.580,02 triliun. Sisanya di luar SBN, utang pemerintah berasal dari sumber pinjaman yakni sebesar Rp838,13 triliun. Terdiri dari pinjaman dalam negeri maupun pinjaman luar negeri yang meliputi pinjaman bilateral, pinjaman multilateral, commercial banks, dan suppliers.
Sementara itu jika diasumsikan dengan total keseluruhan jumlah penduduk Indonesia, maka setiap satu penduduk atau per kepala Warga Negara Indonesia (WNI) menanggung utang sebesar Rp23,75 juta. Angka tersebut didapat dengan membangi jumlah utang pemerintah Rp6.418 triliun dengan jumlah penduduk Indonesia berdasarkan Sensus Penduduk 2020 dari BPS dengan populasi sebanyak 270,2 juta penduduk.
Sebelumnya, Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) telah mengaudit laporan keuangan pemerintah pusat di era pemerintah Presiden Joko Widodo tahun lalu, termasuk penggunaan APBN 2020.
Auditor pelat merah ini, menyatakan khawatir dengan kesanggupan pemerintah dalam melunasi utang plus bunga yang terus membengkak sejak beberapa waktu terakhir. Kekhawatiran lainnya, yakni rasio utang terhadap produk domestik bruto (PDB) yang juga terus meningkat.
Ketua BPK Agung Firman Sampurna berujar, utang pemerintah semakin jor-joran akibat merebaknya pandemi virus corona (Covid-19). Pertumbuhan utang dan biaya bunga yang ditanggung pemerintah ini sudah melampaui pertumbuhan PDB nasional. ”Ini memunculkan kekhawatiran terhadap penurunan kemampuan pemerintah dalam membayar utang dan bunga utang,” ujar Agung dikutip dari Kompas.
Sejumlah indikator menunjukkan tingginya risiko utang dan beban bunga utang pemerintah. Rasio pembayaran bunga utang terhadap penerimaan negara pada 2020 mencapai 19,06 persen. Angka tersebut melampaui rekomendasi Dana Moneter Internasional (IMF) yang sebesar 7-10 persen dan standar International Debt Relief (IDR) sebesar 4,6-6,8 persen.
Adapun rasio utang terhadap penerimaan negara pada 2020 mencapai 369 persen, jauh di atas rekomendasi IMF yang sebesar 90-150 persen dan standar IDR sebesar 92-167 persen.
Selain itu, rasio pembayaran utang pokok dan bunga utang luar negeri (debt service ratio) terhadap penerimaan transaksi berjalan pemerintah pada tahun 2020 mencapai 46,77 persen. Angka tersebut juga melampaui rekomendasi IMF yang sebesar 25-35 persen. Namun, nilai tersebut masih dalam rentang standar IDR yang sebesar 28-63 persen.
”BPK merekomendasikan agar pemerintah mengendalikan pembayaran cicilan utang pokok dan bunga utang melalui pengendalian utang secara berhati-hati sembari. Ini dilakukan sembari berupaya meningkatkan penerimaan negara melalui reformasi perpajakan,” kata Agung.[Bizlaw]