RATUSAN mahasiswa mendeklarasikan Koalisi Aktivis Mahasiswa Indonesia (KAMI) di Simpang Lima Kota Banda Aceh pada hari Jumat, tanggal 04 September 2020. Begitulah bunyi pemberitaan di Serambinews. Mereka mendeklarasikan diri dengan poin-poin tuntutan yang menimbulkan pro dan kontra. Seperti dirangkum melalui Dialeksis, poin tuntutan KAMI yaitu:
1. Kami mendukung pemerintah pusat dan daerah untuk fokus kepada penanganan Covid-19.
2. Kami mengutuk keras kepada kelompok-kelompok yang mencoba memecah belah persatuan dan kesatuan negara republik Indonesia.
3. Kami mendukung pemerintah dalam upaya peningkatan kemandirian ekonomi ekonomi yang berbasis kerakyatan.
4. Kami menyatakan bahwa indonesia saat ini masih dalam keadaan baik-baik saja.
5. Kami mendukung pemerintah untuk memperkuat Pancasila sebagai dasar ideologi bangsa.
TERIMA KASIH SUDAH MEMBACA LINTASATJEH.COM
Melihat dari poin-poin tuntutan tersebut sebenarnya tidak ada yang salah dengan aksi KAMI. Apalagi, sudah seharusnya para pemuda hari ini benar-benar menjadi eskalator keamanan dan ketertiban di tengah-tengah masyarakat. Pemuda hari ini harus bisa mengajak masyarakat yang tertinggal informasi untuk naik keatas, agar tak selalu di bawah dan terjebak dengan hoax maupun dimanfaatkan oleh pihak-pihak yang ingin merusak suasana perdamaian karena politik kepentingan individu atau kelompok.
Pada poin tuntutan nomor empat yang berbunyi "Indonesia masih dalam keadaan baik-baik saja", merupakan sebuah pernyataan yang sangat optimis, dikarenakan sebagai ungkapan untuk menetralkan suasana di Indonesia yang saat ini sedang keruh dilanda dampak buruk pandemi Covid-19. Pemuda hari ini harus bisa mambangun rasa optimis untuk membangun rasa aman dan tentram di tengah masyarakat agar tak terjadi kerusuhan.
Masyarakat hari ini jangan mau diperkeruh dan dirusak perdamaiannya oleh para politikus kotor yang sengaja mencari-cari kesalahan dengan mengatakan bahwa Indonesia sedang diambang kehancuran. Sebaliknya, kita harus tetap optimis, sembari terus memperjuangkan apa yang diperlukan demi kesejahteraan rakyat Indonesia. Namun, cara-cara yang tidak melanggar hukum dan sesuai dengan Undang-undang haruslah dijunjung tinggi. Ingat, sopan santun dan kejujuran adalah budaya kita.
Namun, dibalik meletusnya deklarasi KAMI sempat membuat ketua BEM di Aceh meradang. Mereka yang mengatasnamakan diri sebagai Aliansi Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) se-Aceh mengeluarkan pernyataan sikap yang sangat mengejutkan sekaligus lucu. Mungkinkah mereka ini tak paham konteks atau malu bertanya karena merasa "paling aktivis" diantara semuanya? Entahlah.
“kami tidak ikut terlibat dalam Deklarasi KAMI (Koalisi Aktivis Mahasiswa Indonesia) wilayah Aceh yang dilaksanakan tadi siang, karena kami juga kaget dengan bertebaran informasi dari selembaran brosur mereka”, begitulah pernyataan dari Aliansi BEM se-Aceh seperti dikutip dari media Harian Rakyat Aceh yang dengan tanggal terbit 06 September 2020.
Usai deklarasi KAMI mendukung pemerintah, Nama "Sulthan Alfaraby" pun mencuat secepat kilat bak Caleg 2024 di berbagai grup Whatsaap karena diklaim sebagai dalang dibalik KAMI. Padahal, tak seorang pun dari Ketua BEM di Aceh yang memintai klarifikasi soal kebenarannya 'isu haram' tersebut kepada si "Sulthan Alfaraby" yang mendadak menjadi korban tak bersalah itu. Sungguh malang, siapa yang akan bertanggung jawab atas tuduhan ini? Tidak ada seorang pun hari ini mau mengakuinya. Yang lucunya, orang-orang yang pernah melempar tuduhan jahanam itu, kini ada yang sudah bergabung ke dalam sebuah Partai tingkat nasional dan berada dalam bagian dari kekuasaan. Awalnya anti mendukung penguasa, namun kini menjadi bagian dari penguasa. Lage pilem India!
Mari kembali kepada pembahasan kita. BEM se-Aceh awalnya menjadi 'ngamuk' bukanlah tanpa alasan, melainkan karena poin tuntutan yang pernah di utarakan oleh KAMI Wilayah Aceh itu ternyata tak sesuai dengan misi Aliansi BEM se-Aceh. Walaupun sebenarnya penulis juga masih bingung, atas dasar apa Aliansi BEM se-Aceh mengklaim mereka sebagai perwakilan dari mahasiswa Aceh.
Hasil penelusuran penulis, Aliansi BEM se-Aceh ternyata hanya berjumlah lebih kurang 17 lembaga dan pernah dipublis oleh media Harian Rakyat Aceh tanggal 06 September 2020 dengan judul "Aliansi BEM Se-Aceh Nyatakan Sikap dan Kecam Deklarasi KAMI Wilayah Aceh. Melihat jumlah mereka itu, tentu sangat bertolak belakang dengan data yang dipublis oleh media Republika pada tanggal 01 November 2014 yang menyebutkan bahwa ada sebanyak 150 perguruan tinggi negeri dan swasta beroperasi di kabupaten dan kota di Aceh. Jumlah perguruan tinggi ini tentu terus mengalami penambahan, dikarenakan saat ini sudah masuk ke tahun 2021.
Berangkat dari data tersebut, tentu saja sangat tidak elok jika mereka yang mengatasnamakan sebagai Aliansi BEM se-Aceh itu mengaku-ngaku sebagai cerminan mahasiswa atau aktivis di Aceh. Ini merupakan sikap yang sangat egois, apalagi menggunakan embel-embel "Se-Aceh".
Mereka yang mengaku sebagai "BEM se-Aceh" itu diketahui sebelumnya juga pernah melakukan aksi demonstrasi. Mereka meminta kepada pemerintah Aceh agar mempublikasikan kepada publik soal pemakaian anggaran Covid-19. Adapun tuntutan mereka seperti yang dipublikasikan oleh Kesbangpol Banda Aceh pada tanggal 01 September 2020, yaitu:
1. Segera mempublikasikan penggunaan anggaran Covid-19 ke publik secara transparan di setiap sektor yang telah dianggarkan.
2. Segera merealisasikan anggaran bantuan pendidikan dan pemenuhan fasilitas penunjang jalannya pendidikan di Aceh (terutama masa pandemi Covid-19).
3. Segera melakukan pemerataan fasilitas kesehatan (tenaga medis, alat kesehatan, tempat isolasi/rawat pasien Covid-19 yang maksimal dan sentralistik.
4. Memperjelas sistem zonasi Covid-19 di Setiap Kabupaten/Kota (penanganan untuk zona Merah, Hijau, Kuning).
5. Segera memberikan perhatian khusus terhadap pekerja yang kehilangan pekerjaan Selama masa pandemi Covid-19.
6. Segera membatalkan program-program yang tidak menjadi prioritas dan tidak pro masyarakat kecil dalam masa pandemi Covid-19.
7. Meminta pihak dalam penanganan Covid-19 Untuk mengevaluasi kinerja Tim Gugus Tugas Covid-19.
Menurut penulis, apa yang mereka minta kepada Pemerintah Aceh adalah sesuatu yang harus didukung, karena juga berhubungan dengan kepentingan masyarakat. Penulis sangat berharap mereka ini benar-benar menjadi Agent of Control selayaknya mahasiswa yang menjunjung tinggi Tri Dharma Perguruab Tinggi.
Namun, ternyata dugaan penulis salah besar, pada tanggal 13 Januari 2021 seperti diberitakan oleh Aceh Trend yakni 100 Organisasi Kepemudaan (OKP), Organisasi Masyarakat (Ormas) dan Organisasi kemahasiswaan di Provinsi Aceh, mendapatkan dana hibah refocusing APBA 2020. Lembaga-lembaga tersebut mendapatkan dana ‘hibah’ dalam konteks penanganan Covid-19.
Selain organisasi pemuda, ternyata pihak dari "Aliansi BEM se-Aceh" juga mendapatkannya. Hal ini tertuang dalam SK Pemerintah Aceh Nomor: 426/1675/2020, tentang Penetapan Penerima dan Besaran Dana Hibah Kepada Badan/Lembaga/Organisasi Swasta Dalam Rangka Penanganan Corona Virus Dease 2019 Provinsi Aceh Tahun 2020. Adapun total anggaran yang dihabiskan oleh Pemerintah Aceh untuk 100 lembaga tersebut yakni lebih kurang Rp.9,6 miliar.
Rata-rata per lembaga mendapatkan 100 juta, termasuk BEM di Aceh yang pernah melakukan demo soal transparansi dana Covid-19. Dengan beredarnya daftar penerima dana hibah itu, ternyata secara tak langsung sudah menjawab tuntutan mereka soal transparansi anggaran, yang dalam hal ini dapat dianggap karena bocornya data penerima ke publik melalui grup Whatsapp dan terlihatlah nama BEM di Aceh yang masuk ke dalam daftar penerima dana hibah alias uang rakyat Aceh itu.
Sungguh mencengangkan sekaligus memalukan! Terlebih, rekan-rekan mereka sesama aktivis mahasiswa sepertinya enggan untuk mengkritik Ketua BEM yang menerima dana hibah itu, apakah karena takut atau karena juga 'terciprat' oleh uang rakyat itu sehingga mereka hanya diam? Hanya Allah yang mengetahui.
Memang sangat ironis, namun ini juga merupakan salah satu bentuk kesuksesan BEM, yang dimana usai capek-capek melakukan demo soal anggaran Covid-19. Kemudian mereka akhirnya menerima dana hibah untuk penanganan Covid-19. Walaupun banyak sekali masyarakat Aceh yang kecewa bahkan memaki mereka karena dianggap telah mengkhianati perjuangan yang diamanahkan oleh rakyat, bahkan juga ada yang menganggap bahwa uang itu untuk tutup mulut. Terserah apapun pandangan masyarakat terhadap mereka, namun penulis merasakan bahwa belum ada manfaat yang telah diberikan oleh para BEM itu untuk masyarakat Aceh usai mengambil dana hibah alias uang rakyat itu.
Jika untuk melakukan penanganan Covid-19 saja mereka bisa menghabiskan anggaran sampai 100 juta, maka BEM sudah kalah telak dengan mahasiswa Kuliah Kerja Nyata (KKN). Mahasiswa KKN bisa melakukan sosialisasi, berbagi masker dan mengadakan kegiatan pencegahan Covid-19 tanpa harus menghabiskan uang 'segila' itu. Kita tentu berharap, bahwa semoga uang sebanyak itu tidaklah masuk ke kantong celana Dewan Pengurus Harian (DPH) BEM.
Uang sebanyak itu juga diragukan penggunaannya secara efektif untuk membantu menangani Covid-19. Apalagi usai pemberitaan oleh RRI pada tanggal 10 Juni 2021 yaitu kasus di Aceh naik dan dalam sehari sebanyak 15 orang meninggal. Seperti dilansir dari RRI, hal tersebut disampaikan Juru Bicara Satuan Tugas Penanganan Covid-19 Pemerintah Aceh. Menurutnya, kenaikan jumlah kasus covid-19 ini tidak terlepas dari abainya penerapan protokol kesehatan yang dilakukan masyarakat. Dia menilai, masyarakat masih belum disiplin dalam penerapan protokol covid-19 sehingga jumlah orang yang terpapar kembali meningkat.
Sangat disayangkan jika BEM di Aceh yang masuk dalam daftar penerima dana hibah itu keluar dari garis perjuangan yang sebenarnya. Pada saat KAMI mendukung pemerintah untuk menangani Covid-19, mereka yang mengatasnamakan Aliansi BEM se-Aceh sibuk menggonggong. Kemudian setelah 'diberi' uang, mereka lalu diam seribu bahasa. Peribahasa "Anjing menggonggong, kafilah berlalu" harusnya direvisi menjadi "Anjing menggongong, lempari tulang, kafilah berlalu" agar tepat menggambarkan kondisi mahasiswa saat ini.
Harusnya, BEM tak perlu mengambil dana hibah itu, biarkan eksekutif bekerja sesuai tugas dan fungsi mereka. Jika tidak, lalu untuk apa juga dibentuk "tim sukses" dan berbagai "gerakan" berjilid-jilid oleh pemerintah untuk menangani Covid-19? Bukankah ini membuat "tim sukses" pemerintah seperti terbengkalai dan lari dari tujuan awalnya?
Berbicara soal sikap BEM Aceh yang awalnya yang gencar melakukan demo, sebenarnya ini hanyalah soal waktu dan "kesempatan". Ketika tidak ada kesempatan, malah menyalahkan tindakan orang lain, yakni KAMI yang mendukung program pemerintah. Berbeda halnya ketika sudah mendapat kesempatan, maka segala upaya pembenaran dilakukan untuk melindungi diri sendiri.
Lantas, untuk apa mereka awalnya mengecam KAMI yang "mendukung pemerintah" menangani Covid-19 jika ujung-ujungnya mereka juga ikut mendukung pemerintah? Ini adalah lelucon yang paling parah dalam sejarah perjuangan mahasiswa Aceh sekaligus bentuk kemunafikan Aliansi BEM se-Aceh karena tidak konsisten dengan niat perjuangan sejak awal. Jika mendukung pemerintah, mari bergabung untuk menangani Covid-19. Jika ingin tetap kritis terhadal kebijakan, maka tak perlu menghakimi tindakan orang lain seperti serigala yang sedang kelaparan.
Usai Aceh dihebohkan oleh BEM yang menerima dana hibah, nama "Aliansi Pemuda Peduli Aceh (APPA)" tiba-tiba mencuat di berbagai kalangan. APPA melakukan aksi protes terhadap BEM se-Aceh yang namanya tercantum dalam daftar penerima dana hibah Covid-19. Aksi yang berlangsung berjilid-jilid itu sebenarnya sengaja dibuat untuk mengkritik Aliansi BEM se-Aceh karena dianggap telah melakukan pengkhianatan terhadap perjuangan rakyat Aceh. Otak di balik itu adalah Sulthan Alfaraby, salah satu orang yang paling dicari atau menjadi buronan BEM se-Aceh. Kini, APPA melakukan serangan balik terhadap para pengkhianat yang bertitel "Eksekutif Mahasiswa".
Di lain sisi, timbul persoalan lagi yang dimana terdapat maladministrasi dalam pengambilan dana hibah Covid-19 yang dilakukan oleh pihak BEM. Kemudian, penulis mencoba mengonfirmasi kepada salah satu rektor kampus di Aceh yang bermasalah dengan BEM terkait. Rektor tersebut pun menginfokan, bahwa setiap Rupiah uang yang masuk ke Universitas harus melalui rekening Universitas atau rekening negara. Kalau BEM adalah organisasi dibawah Universitas (yang sedang dipimpinnya), maka setiap uang masuk dan keluar harus tercatat karena uang negara dan akan diaudit.
Akhir kata, apakah ini adalah akhir dari perjuangan mahasiswa Aceh atau malah ini akan menjadi sebuah pembelajaran yang berarti? Mari kita tanyakan kepada rumput yang bergoyang.
Penulis: Sulthan Alfaraby (Buronan BEM se-Aceh)