LINTAS ATJEH | JAKARTA - Sejumlah lembaga mahasiswa yang tergabung dalam gerakan #BersihkanIndonesia menggelar aksi teatrikal di depan Gedung Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Jakarta Selatan, Senin (28/6).
Gerakan itu merupakan rangkaian dimulainya Pekan Melawan (Week of Resistance).
Juru Bicara #BersihkanIndonesia Asep Komarudin mengatakan, aksi itu menyampaikan keluhan rakyat Indonesia yang jengah dengan pemerintahan oligarki.
Bahwa rakyat akan terus lantang menyuarakan korupsi adalah musuh utama bangsa.
Aktivis dari Greenpeace Indonesia itu menyatakan pihaknya juga menjejerkan kasus-kasus korupsi mangkrak yang melibatkan aktor utama di partai politik.
Kasus korupsi itu membentang dari sektor pertambangan (minerba), kehutanan, sumber daya alam, KPK, hingga bantuan sosial Covid19, dan ekspor benur.
“Upaya pelemahan KPK ini, akan makin memperburuk integritas KPK sebagai lembaga antikorupsi di negeri ini. Tidak hanya itu, kerusakan lingkungan khususnya yang berkaitan dengan alih fungsi lahan akan makin menjadi-jadi, karena salah satu celah korupsi adalah saat kepala daerah memberikan atau memperpanjang izin kepada perusahaan untuk membuka lahan, ini merupakan bagian dari praktik state capture corruption,” kata Asep.
Dia juga menilai represi di zaman Presiden Jokowi makin merajalela.
TERIMA KASIH SUDAH MEMBACA LINTASATJEH.COM
Puncak represi itu justru dilakukan pada KPK yang merupakan amanah reformasi dengan merevisi undang-undangnya dan memecat puluhan penyidik.
Meski rakyat, akademisi, mahasiswa, buruh, dan tokoh agama di negara ini telah memperingatkan dengan suara lantang, tetapi Jokowi memilih diam.
"Itu berarti setuju pembunuhan lembaga antirasuah itu," tambah dia.
Pelemahan lembaga antirasuah di era pemerintahan Jokowi sudah terlihat jelas sejak Oktober 2019, ketika revisi UU KPK disahkan.
Kala itu, meskipun memicu sejumlah aksi penolakan masif di berbagai daerah termasuk Jakarta, UU tersebut tetap disahkan.
Usaha pelemahan itu kemudian makin nyata dengan diangkatnya Firli Bahuri sebagai Ketua KPK.
Padahal Firli pernah dinyatakan melanggar kode etik ketika menjabat sebagai Deputi Direktur Penindakan KPK.
Selain itu, survei yang dilakukan oleh Indikator menunjukkan jika mayoritas publik cenderung setuju atau sangat setuju bahwa saat ini warga makin takut menyuarakan pendapat.
Hasil survei tersebut dapat menunjukkan realita yang terjadi saat ini.
Menurut Ketua BEM UI Leon Alvinda Putra, jika menyampaikan pendapat yang mengkritik pemerintah melalui sosial media, maka UU ITE siap mengancam.
Jika menyuarakan pendapat melalui aksi, benturan represif dari aparat kepolisian sulit untuk dihindari.
“Bahkan kini kebebasan berpendapat di kampus kerap diberangus. Pola-pola seperti ini tidak boleh dibiarkan, pembungkaman berekspresi tidak boleh mendapatkan tempat di negara demokrasi," kata Leon.
"Pembungkaman ekspresi yang terjadi di kampus-kampus, sosial media, hingga demonstrasi adalah bentuk penurunan kualitas demokrasi. Jika negara tidak kunjung memperbaiki, maka hanya ada satu kata, lawan!” tegas dia.
Koordinator BEM se-Kalsel Rinaldi menambahkan, pihak berwajib tidak menjunjung tinggi hak warga negara yang menyampaikan aspirasinya.
“Mereka memperlakukan orang yang berdemonstrasi layaknya penjahat, seakan-akan demonstrasi merupakan tindakan terlarang. Jika menyampaikan aspirasi merupakan tindakan kriminal, lalu dengan cara apa penguasa dapat mendengar?” tambah Rinaldi.[JPNN]