LINTAS ATJEH | BANDA ACEH - Pemimpin Darud Donya, Cut Putri mengecam pola pembangunan kawasan bersejarah Peunayong, yang telah menghilangkan sejarah jati diri Bangsa Aceh, dan menghilangkan sejarah Islam di Aceh, padahal Banda Aceh adalah Kota Pusaka.
Pemimpin Darud Donya, Cut Putri melalui rilis yang diterima LintasAtjeh.com, Rabu (30/06/2021) pagi, menyampaikan bahwa Peunayong adalah kawasan bersejarah para Ulama Kesultanan Aceh Darussalam.
Turut dijelaskan oleh Cut Putri, dahulu Peunayong merupakan tempat dakwah dan dayah. Para Ulama dari berbagai negeri di Asia Tenggara, dan dari seluruh dunia datang dan berdiam di daerah ini, yang dulu dikenal dengan nama Kuta Peunayong.
"Pada masa Kesultanan Islam Aceh Darussalam, terkenal ada 4 Benteng atau Kuta utama sebagai pelindung Ibukota Kesultanan Aceh Darussalam. Pertama yaitu Benteng Kuta Rantang di Blang Padang, kedua yaitu Kuta Kuala di Gampong Pande dan Gampong Jawa, kuta ketiga adalah Kuta Peunayong di kawasan Peunayong sekarang, dan terakhir adalah Kuta Gampong Phang," ungkapnya.
Lanjutnya lagi, sejak Kesultanan Islam Aceh Darussalam dibangun oleh Sultan Johan Syah pada 1 Ramadhan 601 Hijriyah, kawasan Peunayong adalah termasuk kawasan ibukota Kesultanan Aceh Darussalam yang memiliki keistimewaan, karena merupakan salah satu kawasan yang berada langsung dibawah otoritas Sultan Aceh.
Dalam sejarah Kesultanan Aceh Darussalam, kawasan tepi sungai dan seberang sungai Aceh (Krueng Aceh) termasuk Peunayong dikuasai oleh Teuku Panglima Masjid Raya, yang merupakan Panglima Dalam (Istana) Darud Donya.
Di Peunayong, Ulama terkenal Aceh Syeikh Abdurrauf Syiah Kuala memiliki murid yang mahsyur, bernama Baba Dawud Ar Rumi yang sangat alim dan cerdas.
Baba Daud Ar Rumi memiliki Dayah Manyang (Dayah Tinggi) di Peunayong bernama Dayah Leupu. Banyak penuntut ilmu yang belajar ke Dayah Peunayong ini, salah satunya adalah Syeikh Nayan, yang merupakan anak dari Syeikh Fairus Al Baghdadi.
Dalam buku sejarah karangan Ali Hasjmy, Syeikh Fairus Al Baghdadi bersama 7 ulama asal Baghdad datang ke Aceh, kemudian ketujuh ulama besar itu menyebar ke seluruh Aceh.
Syeikh Fairus mendirikan Dayah Tanoh Abee, kemudian putranya Syeikh Nayan dikirim oleh ayahandanya untuk menyempurnakan ilmu di dayah Manyang Leupu di Peunayong, yang dipimpin oleh Baba Dawud Ar Rumi yang bergelar Teungku Chik Di Leupu.
Syekh Baba Daud Ar Rumi Peunayong adalah pengarang Kitab yang sangat terkenal dalam dunia Melayu Islam, yaitu Kitab Masailal Muhtadi Li Ikhwanil Mubtadi, yaitu kitab yang sampai sekarang dijadikan rujukan bagi santri seluruh Aceh dan di seantero negara2 dunia melayu, Malaysia, Singapura, Thailand, Kamboja, sampai ke Afrika Selatan.
Syekh Baba Daud Peunayong juga banyak mengarang kitab-kitab lainnya yang sangat terkenal yang telah berperan penting dalam peningkatan pemikiran Islam di Dunia Melayu dan Dunia Islam.
Ia menambahkan, saat Kesultanan Aceh dipimpin oleh Sultan Al Habib Sayed Jamalul Alam (Poteu Jeumaloy), salah satu benteng terkuat Sultan Sayed Jamalul Alam adalah Benteng Kuta Peunayong, yang dijaga langsung oleh Pangeran terkuat dari Dinasti Syarif (keturunan Rasulullah SAW) yang terkenal bernama Wan Di Mulek.
Pada masa Sultan Ibrahim Mansur Syah (1857-1870), karena Teuku Panglima Masjid Raya masih berusia muda, maka kawasan Peunayong diserahkan kedalam pengawasan Teuku Kadhi Malikul Adee.
Di Peunayong juga terdapat jejak Pulo Gajah, yaitu tempat ratusan Pasukan Gajah Kesultanan Aceh Darussalam. Gajah terhebat yang dipakai sebagai kendaraan perang Kesultanan, juga sebagai kendaraan sehari-hari para Raja dan Ratu Aceh. Gajah dari Peunayong juga dijadikan kendaraan penyambutan para tamu Kesultanan.
Sejak zaman Kesultanan Aceh, Peunayong menjadi pusat perdagangan rakyat Aceh, tempat berkumpulnya para saudagar yang datang dari berbagai belahan dunia.
TERIMA KASIH SUDAH MEMBACA LINTASATJEH.COM
Sebagai kawasan kosmopolit, di Penayong juga dibangun kantor-kantor perwakilan dagang dari negara-negara di benua Afrika, Eropa, Asia juga kerajaan melayu Islam lainnya.
Kebanyakan para pedagang luar negeri datang ke Peunayong untuk berdagang, dan untuk menuntut ilmu agama Islam kepada para Ulama Aceh yang mengajar di dayah Peunayong.
Peunayong juga menjadi tempat Syeikh Abdurrauf Syiah Kuala (1615-1693) mengajarkan ilmu agama kepada para Ulama dari berbagai negara. Makna Syiah adalah panggilan untuk Syaikhul ulama atau pemimpin para ulama.
Murid Syiah Kuala lainnya yang bersama Syekh Baba Daud Ar Rumi, kemudian menyebar ke seluruh nusantara untuk menegakkan dakwah Islam.
Diantaranya yang terkenal yaitu Syekh Burhanuddin Ulakan yang menyebarkan Islam ke Minangkabau. Juga ada Syekh Abdul Muhyi Pamijahan yaitu ulama yang menyebarkan Islam ke tanah Jawa. Ada pula Syekh Yusuf Tajul Khalwati Makassari, yaitu ulama yang menyebarkan Islam di Sulawesi. Masih banyak lagi ulama dari Aceh yang menyebarkan Islam ke berbagai penjuru dunia.
Dari zawiyah Peunayong, Islam turut menyebar ke seluruh melayu nusantara dan Asia Tenggara.
Kemudian datanglah penjajah Belanda, yang mengaburkan sejarah dakwah Islam di Aceh. Setelah agresi militer Belanda, karena Bangsa Aceh tidak mau bekerja pada Belanda, maka Belanda mendatangkan ribuan orang Cina diantaranya suku bangsa Khek, untuk membantu Belanda membangun proyek-proyek penjajahan.
Ribuan orang Cina tersebut ditempatkan di kamp Cina di Peunayong untuk bekerja membantu Belanda menjajah Aceh. Kuta Peunayong benteng pertahanan Ulama Kesultanan Islam kemudian dihancurkan dan dibangun pemukiman orang Cina
Pusat Arsip Kesultanan Di Ujong Peunayong juga dihancurkan dan dibakar, sehingga banyak sumber sejarah Aceh yang berharga kemudian hilang.
Sekarang Kompleks Makam Syekh Baba Daud Ar Rumi Tgk Chik Di Leupu beserta para muridnya masih ada di ujung Peunayong.
Sementara situs sejarah makam para Raja dan Ulama lainnya kini telah dimusnahkan oleh proyek-proyek pembangunan. Misalnya makam para Raja dan Ulama yg berada dibelakang kantor Imigrasi lama di Peunayong, yang dimusnahkan di proyek Kuliner River Walk Peunayong.
Nasibnya sama seperti situs sejarah makam para Raja dan Ulama yang ditimbun dan dimusnahkan di proyek pembangunan Kantor Dinas PUPR Kota Banda Aceh, dan proyek pembangunan Pasar Al Mahirah Lamdingin, serta proyek-proyek lainnya.
Kini setiap hari makam para Raja dan Ulama itu diinjak-injak oleh pegawai kantor Dinas PUPR dan aktivitas perdagangan Pasar Al Mahirah.
Maka dari itu, kata Cut Putri, Darud Donya meminta Walikota Banda Aceh untuk belajar menghargai sejarah Islam di Aceh, dan menghormati sejarah Kota Banda Aceh. Supaya pembangunan Kota Pusaka Banda Aceh memiliki konsep yang jelas, bukan cuma kejar proyek.
Seharusnya Baba Daud Ar Rumi, Pulo Gajah, Zawiyah Peunayong, Kuta Peunayong, dan sejarah kegemilangan dakwah Islam Kerajaan Aceh Darussalam yang menjadi Ikon Peunayong.
"Sekali lagi, Darud Donya meminta Walikota Banda Aceh untuk melestarikan pusaka kegemilangan dakwah Islam di kawasan Peunayong, bukan malah mempertahankan sejarah Penjajahan Kafir Belanda, dan menghapus jejak sejarah Islam di Banda Aceh dan Asia Tenggara," tegas Cut Putri.[*/Red]