LINTAS ATJEH | BANDA ACEH - Penutupan dan penyegelan sejumlah warung dan kafe di Banda Aceh, berawal dari permintaan Kapolda Aceh untuk menutup sejumlah warung dan kafe di Banda Aceh sebelum pukul 23.00 WIB.
"Kita menilai kebijakan Kapolda yang memaksa penutupan warung kopi di Banda Aceh merupakan kebijakan yang ngawur. Jika kebijakan tersebut alasannya karena Covid-19 tentunya hal itu sangat tidak rasional. Pasalnya Covid-19 itu bukan kelelawar ataupun drakula yang beroperasi di malam hari. Bukankah ini namanya lagi-lagi Kapolda sedang ngawur, dulu jelang lebaran persoalan pemberlakuan surat antigen hari ini persoalan penyegelan warung dan kafe. Sebenarnya tugas Kapolda itu apaan sich, koq melulu cuma bisa bikin masyarakat gelisah," ungkap Koordinator Kaukus Peduli Aceh (KPA) Muhammad Hasbar Kuba kepada media, Minggu (23/05/2021).
Hasbar menjelaskan, berdasarkan data pasien positif Covid-19 di Banda Aceh, pasien KTP Banda Aceh 19 orang, KTP Aceh Besar 23 orang dan KTP daerah lain 3 orang.
"Ini menunjukkan bahwa sebenarnya peningkatan Covid-19 di Aceh Besar jauh lebih besar dari Banda Aceh. Lantas kenapa Kapolda malah sewot untuk tutup warung dan kafe yang ada di Banda Aceh," jelasnya.
KPA menilai, pola penanganan Covid-19 di Banda Aceh sebelumnya relatif sudah bagus dan perekonomian masyarakat kembali membaik.
"Jika dilakukan pembatasan yang terlalu lebay justru membuat masyarakat di Ibukota Banda Aceh semakin resah dan berdampak kepada perekonomian masyarakat," tegasnya.
Hasbar menyarankan agar Kapolda lebih fokus kepada indikasi penyelewengan dan tindak pidana korupsi penggunaan anggaran penanganan Covid-19.
"Jika kita lihat hasil audit BPK RI, maka bisa dikatakan banyak pelanggaran yang terjadi dalam penggunaan anggaran penanganan Covid-19 di Aceh, sehingga Kapolda seyogyanya lebih fokus dan serius terkait persoalan ini, ketimbang terus mencari celah menghadirkan kebijakan atau instruksi ngawur yang malah mempersulit dan membuat resah masyarakat," kata Hasbar.
Menurutnya, jika Kapolda terus-terusan menghadirkan kebijakan dan instruksi terkait penanganan Covid-19 secara berlebihan, maka justru akan menghilangkan kepercayaan masyarakat terhadap Kapolda.
"Bisa saja kan, masyarakat menduga adanya potensi bisnis dalam kebijakan penanganan Covid-19 yang juga bisa jadi disinyalir adanya keterlibatan pihak penegak hukum," ujarnya.
Apalagi, lanjut Hasbar, untuk operasi jejaring sosial misalkan, kepolisian sebagai organisasi vertikal juga memiliki andil besar dalam hal ini. Tahun lalu, lebih dari 1 Triliun anggaran refocusing penanganan Covid-19 yang bersumber dari APBA untuk kegiatan operasi jejaring sosial ini. Inikan nilai yang fantastis, sehingga rekayasa kondisi sosial masyarakat di masa Covid-19 melalui kebijakan akan mempengaruhi besaran anggaran yang dikucurkan untuk penanganan ini.
"Ini pula yang membuat masyarakat semakin tidak percaya terhadap persoalan Covid-19 bahkan bisa saja jika terus menerus kebijakan dan instruksi lebay dikeluarkan kepolisian, justru berimbas kepada menurunnya kepercayaan publik terhadap institusi Kepolisian di Aceh. Semoga saja Kapolda lebih bijaksana melihat semua ini," pungkasnya.[*/Red]