-->

Kisah Pilu Baginda Nabi Ketika Melihat Yatim Terlantar di Hari Raya Idul Fitri

09 Mei, 2021, 13.02 WIB Last Updated 2021-05-09T06:02:38Z

Ilustrasi

LintasAtjeh.com - Hari Raya Idul Fitri tinggal menghitung hari saja, tak terasa bulan suci Ramadhan akan segera berakhir.

Lebaran merupakan hari yang penuh dengan kemenangan dan kebahagiaan bagi umat Islam.

Pada hari itu, semua orang menyambut dan merayakan lebaran dengan penuh suka cita.

Namun tidak semua orang menyambut lebaran dengan penuh kebahagiaan.

Ada dari mereka yang merayakan lebaran tanpa seorang ibu atau ayah, bahkan anggota keluarganya.

Ternyata, kisah ini pernah dialami oleh anak yatim ketika zaman Baginda Rasulullah SAW dulu.

Dikutip dari Kitab Durratun Nashihin karya Syekh Usman bin Hasan bin Ahmad Syakir Al-Khubawi, tanpa tahun, Surabaya, Syirkah Ahmad bin Saad bin Nabhan wa Auladuh, halaman 264-265, mengisahkan bahwa:

Di suatu hari raya Baginda Rasulullah SAW keluar rumah untuk melaksanakan shalat Idul Fitri. Sementara anak-anak kecil tengah bermain riang gembira di jalanan. 

Tetapi tampak seorang anak kecil duduk menjauh berseberangan dengan mereka. Dengan pakaian sangat sederhana dan tampak murung, ia menangis tersedu. 

Melihat fenomena ini Rasulullah segera menghampiri anak tersebut. "Mengapa kau menangis nak? Kau tidak bermain bersama mereka?" Rasulullah membuka percakapan. 

Anak kecil yang tidak mengenali bahwa orang dewasa di hadapannya adalah Rasulullah menjawab, "Paman, Ayahku telah wafat. Ia mengikuti Rasulullah dalam menghadapi musuh di sebuah pertempuran. Tetapi ia gugur dalam medan perang tersebut." jawab si anak.

Rasulullah terus mengikuti cerita anak yang murung itu. Sambil meraba ke mana ujung cerita, Nabi mendengarkan dengan seksama rangkaian peristiwa dan nasib malang yang menimpa anak tersebut.

"Ibuku menikah lagi. Ia memakan warisanku, peninggalan ayah. Sedangkan suaminya mengusirku dari rumahku sendiri. Kini aku tak memiliki apa pun. Makanan, minuman, pakaian, dan tempat tinggal. Aku bukan siapa-siapa. Tetapi hari ini, aku melihat teman-teman sebayaku merayakan hari raya bersama ayah mereka. Dan perasaanku dikuasai oleh nasib kehampaan tanpa ayah. Untuk itulah aku menangis," lanjutnya lagi.

Mendengar penuturan ini, batin Rasulullah terenyuh. Ternyata ada anak-anak yatim dari sahabat yang gugur membela agama dan Rasulnya di medan perang mengalami nasib malang begini. Rasulullah segera menguasai diri. 

Rasul yang duduk berhadapan dengan anak ini segera menggenggam lengannya. "Nak, dengarkan baik-baik. Apakah kau sudi bila aku menjadi Ayah, Aisyah menjadi Ibumu, Ali sebagai paman, Hasan dan Husein sebagai saudara, dan Fatimah sebagai saudarimu?" tanya Rasulullah. 

Mendengar tawaran itu, anak ini baru mengerti bahwa orang dewasa di hadapannya tidak lain adalah Nabi Muhammad SAW. 

"Kenapa tak sudi, ya Rasulullah?" jawab anak ini dengan senyum terbuka. Rasulullah kemudian membawa anak angkatnya pulang ke rumah.

Di sana anak ini diberikan pakaian terbaik. Ia dipersilakan makan hingga kenyang. Penampilannya diperhatikan lalu diberikan wangi-wangian. Setelah beres semuanya, ia pun keluar dari rumah Rasulullah dengan senyum dan wajah bahagia. 

Melihat perubahan drastis pada anak ini, para sahabatnya bertanya. "Sebelum ini kau menangis. Tetapi kini kau tampak sangat gembira?" Benar sahabatku jawab si anak lagi.

"Tadinya aku lapar, tetapi lihatlah, sekarang tidak lagi. Aku sudah kenyang. Dulunya aku memang tidak berpakaian, tetapi kini lihatlah. Sekarang aku mengenakan pakaian bagus. Dulu memang aku ini yatim, tetapi sekarang aku memiliki keluarga yang sangat perhatian. Rasulullah SAW Ayahku, Aisyah ibuku, Hasan dan Husein saudaraku, Ali pamanku, dan Fatimah adalah saudariku. Apakah aku tidak bahagia?" Timpal si anak itu pada teman-temannya.

Anak-anak lain lalu berkata, 'Oh! Seandainya Bapak-Bapak kami wafat dalam sebuah peperangan bersama Rasulullah SAW'.

Itulah Selaksa makna yang penting akan kepedulian kita terhadap orang-orang di sekitar kita, termasuk dalam menyayangi orang-orang yang membutuhkan, terutama dari anak yatim sebagai bagian dari pada lantunan do'a yang dibacakan di antara amalan-amalan sunah, seperti do'a dhuha yang kita lakukan setiap harinya. Wallahualam Bissawab.[*/Red]
 

Komentar

Tampilkan

Terkini